Dark
Light

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

3 mins read
August 10, 2020
Pemerintah kerap menyebut pajak digital untuk menyetarakan arena kompetisi pemain lokal dan asing. Hal itu dianggap belum selama belum ada insentif
Pemerintah kerap menyebut pajak digital untuk menyetarakan arena kompetisi pemain lokal dan asing. Hal itu dianggap belum selama belum ada insentif

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.

Previous Story

HIS ERHA, dari ERHA Group, Bercerita tentang Ketertarikannya ke Esports

hiper kasual
Next Story

Tren Akuisisi Pengguna pada Game Hiper Kasual

Latest from Blog

Don't Miss

TCL Smart TV G9 Vidio

TCL Luncurkan Smart TV G9 dengan Dedicated Button Vidio

Dalam upaya menyediakan koleksi tontonan yang lengkap, Vidio menjalin kerja

Daya Tarik Model Bisnis Iklan Bagi Platform Streaming Video

Dalam 10 tahun terakhir, industri film mengalami disrupsi. Keberadaan platform