Cloud gaming merupakan salah satu tren yang muncul di industri game beberapa tahun belakangan. Berbagai perusahaan besar — baik perusahaan game maupun perusahaan teknologi — mencoba untuk menawarkan platform cloud gaming mereka sendiri. Contohnya, Microsoft dengan Game Pass, Sony dengan PlayStation Now, atau NVIDIA dengan GeForce Now. Perusahaan streaming video Netflix bahkan dikabarkan juga tertarik untuk menjajaki cloud gaming.
Tentu saja, Google juga tidak mau ketinggalan. Meskipun Google lebih dikenal dengan search engine-nya, mereka tidak segan untuk mengucurkan uang demi membuat platform cloud gaming mereka sendiri, yang dinamai Stadia. Sayangnya, pada akhir September 2022 lalu, Google mengumumkan bahwa Stadia akan tutup pada awal 2023.
Awal Mula Stadia
Pada Februari 2018, Google dikabarkan akan mengembangkan layanan cloud gaming, yang memungkinkan pemain untuk memainkan game via streaming. Beberapa bulan kemudian, di Oktober 2018, Google mengumumkan kerja sama dengan Ubisoft. Melalui kolaborasi ini, sejumlah gamers di Amerika Serikat akan bisa memainkan Assassin’s Creed Odyssey melalui Project Stream milik Google secara gratis. Project Stream tidak mengharuskan gamers untuk membeli hardware atau teknologi khusus. Untuk bisa melakukan streaming game melalui proyek tersebut, seseorang hanya perlu memiliki koneksi internet stabil dengan kecepatan minilam 25MBs dan versi terbaru dari Google Chrome.
Kolaborasi Google dengan Ubisoft memunculkan spekulasi bahwa Google memang sedang membuat layanan untuk streaming game. Pada Maret 2019, Google mengungkap keberadaan Stadia. Pada dasarnya, Google menjanjikan Stadia sebagai layanan yang memungkinkan gamers untuk memainkan game dengan perangkat apapun via cloud. Dengan begitu, gamers tidak lagi perlu membeli konsol atau PC gaming. Pengumuman Stadia oleh Google mendapatkan pujian dan juga kritik.
Pada awalnya, Google percaya diri dengan kemampuan Stadia. Mereka membanggakan processing power dari layanan tersebut, yang mencapai 10,7 teraflops, lebih tinggi dari processing power dari konsol yang ada saat itu. Sebagai perbandingan, processing power dari Xbox One hanyalah 6 teraflops dan PlayStation 4 Pro, 4,2 teraflops. Stadia bisa memiliki processing power yang lebih tinggi berkat jaringan data center yang Google miliki serta GPU khusus buatan AMD. Selain processing power tersebut, melalui Stadia, Google juga menjanjikan, gamers akan bisa memainkan game dengan resolusi 4K dan 60 fps.
Untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam membuat Stadia, Google bahkan membuat studio game internal sendiri. Ialah Stadia Games and Entertainment, yang dipimpin oleh Jade Raymond. Raymond dikenal dalam perannya untuk menciptakan franchise Assassin’s Creed dan Watch Dogs.
“Selama 40 tahun terakhir, industri game sangat fokus pada perangkat yang digunakan gamers,” kata Phil Harrison, Vice President and General Manager, Google pada GamesIndustry di 2019. Dia menjelaskan, ketika membuat game, developer akan mempertimbangkan platform tempat game itu diluncurkan. Namun, dengan keberadaan Stadia, developer akan bisa memanfaatkan “data center” sebagai platform mereka.
“Saya rasa, industri game telah memasuki era yang sangat menarik, sekarang,” ujar Harrison. Dia sadar, keberadaan Stadia tidak akan serta-merta membuat gamers mengubah cara mereka memainkan game. “Kami membutuhkan waktu untuk merealisasikan janji kami,” ungkapnya. Tapi, dia percaya, cloud gaming adalah teknologi yang sangat penting dan akan menjadi tren baru dari industri game di masa depan.
Peluncuran Stadia dan Sambutan Awal
Google meluncurkan Stadia pada November 2019. Namun, pada Juni 2019, mereka sudah memberikan informasi tentang model bisnis dari Stadia. Untuk bisa menggunakan Stadia, gamers punya dua opsi. Pertama, mereka membeli Stadia Founder’s Edition seharga US$130. Kedua, mereka berlangganan Stadia Pro, yang dihargai US$10 per bulan. Masalahnya, untuk bisa bermain game di Stadia, pemain tidak hanya harus membayar biaya langganan, mereka juga masih harus membeli game yang mereka inginkan. Model bisnis inilah yang membuat Stadia milik menuai kritik.
Saat meluncurkan Stadia, Google juga mengumumkan daftar game yang akan tersedia di layanan cloud gaming itu. Beberapa game tersebut antara lain Doom Eternal, Assassin’s Creed: Odyssey, Destiny 2, dan trilogi dari Tomb Raider reboot buatan Square Enix. Ya, saat diluncurkan, Stadia tidak memiliki game eksklusif yang hanya tersedia di layanan tersebut. Keputusan Google untuk tidak menawarkan game eksklusif membuat para analis game skeptis. Namun, Technical Account Manager, Google, Sam Corcoran mengklaim, minat developer untuk merilis game di Stadia tetap tinggi. Dikabarkan, jumlah developer yang mendaftarkan diri untuk meluncurkan game di Stadia mencapai lebih dari empat ribu studio.
Tingginya minat developer untuk merilis game di Stadia bukan jaminan bahwa gamers akan tertarik untuk menggunakan layanan cloud gaming tersebut. Pasalnya, gamers juga punya kekhawatiran tersendiri saat menggunakan Stadia. Salah satunya, mereka khawatir mereka akan kehilangan game yang sudah mereka beli di Stadia jika pihak publisher memutuskan untuk berhenti menjual game tersebut di platform milik Google tersebut. Untuk menenangkan kekhawatiran para gamers, Harrison meyakinkan, gamers akan tetap bisa memainkan semua game yang mereka beli di Stadia.
Sementara itu, Director of Product, Stadia, Andrey Doronichev percaya, walau pada awalnya gamers enggan untuk menggunakan layanan cloud gaming seperti Stadia, mereka akan berubah pikiran seiring dengan berjalannya waktu. “Mulai pindah untuk menggunakan cloud adalah sesuatu yang menakutkan,” katanya. “Saya merasakan ketakutan yang sama ketika industri musik mulai berubah dari menggunakan file menjadi streaming.”
Doronichev mengatakan, di masa depan, semua game akan tersimpan di cloud. Dia percaya, hal ini justru akan memudahkan para gamers untuk mencari atau memainkan game yang mereka inginkan. “Kami sudah menghabiskan banyak uang untuk menanamkan investasi di bidang teknologi, infrastruktur, dan kerja sama dengan pihak ketiga dalam beberapa tahun belakangan,” katanya. “Tidak ada yang pasti dalam hidup. Tapi, kami punya komitmen untuk membuat Stadia sukses.”
Menurut data dari Sensor tower, aplikasi mobile dari Stadia mendapatkan 175 ribu downloads. Dari total downloads tersebut, sebanyak 90% berasal dari pengguna Android. Dan, Amerika Serikat merupakan pasar terbesar untuk Stadia. AS menguasai sekitar 41% pangsa pasar Stadia.
Perselisihan Antara Tim Gaming dan Tim Teknis di Stadia
Para eksekutif Google tampak percaya diri dengan Stadia. Tapi, sebagian tim yang bertanggung jawab atas Stadia itu mulai meragukan sebagian keputusan Google, bahkan saat Stadia baru saja diluncurkan. Mereka merasa, Google mengacuhkan sejumlah masalah penting, yang bisa membuat Stadia tidak menarik di mata para gamers. Salah satu masalah yang dikhawatirkan adalah fakta bahwa gamers memerlukan koneksi yang stabil untuk bisa menggunakan Stadia. Kekhawatiran lain yang ada adalah ketiadaan game eksklusif untuk Stadia. Terakhir, model bisnis yang Google gunakan membuat Stadia hanya bisa digunakan oleh sebagian orang.
Masalah-masalah ini disadari oleh tim Stadia, khususnya orang-orang yang punya pengalaman bekerja di industri game. Sayangnya, kekhawatiran mereka tidak diacuhkan oleh orang-orang yang fokus pada pengembangan teknologi Stadia. Menurut sejumlah karyawan dan mantan pegawai di Stadia, tim yang fokus pada sisi teknologi tidak selalu mengerti kekhawatiran yang diungkapkan oleh para pekerja yang berasal dari industri game.
“Kami sering diacuhkan,” kata mantan pegawai yang pernah bekerja untuk Stadia, dikutip dari IGN. Dia menyebutkan, orang-orang yang pernah bekerja di industri game merasa, proyek Stadia dikembangkan dengan metode “a la Google”. Sayangnya, teknik itu tidak selalu efektif untuk digunakan dalam pengembangan game. “Kami mencoba untuk mencari jalan tengah. Tapi, tim Google justru sering menjadi penghalang,” ungkapnya. Dia menjelaskan, ketika keputusan terkait Stadia diambil, banyak orang yang akan mengungkapkan opini mereka, walau mereka bukan ahli di bidang game.
Tak hanya tim internal Stadia, sejumlah reviewers Stadia dari media teknologi juga menemukan sejumlah masalah pada layanan cloud gaming tersebut. Jess Grey dari Wired mengatakan, memainkan game di Stadia terasa seperti “menonton video gameplay dengan resolusi ultra-high dan bukannya memainkan game“. Sementara Sean Hollister dari The Verge menyebutkan bahwa model bisnis yang Google gunakan membuat Stadia tidak menarik. Alasannya, untuk bisa bermain game di Stadia, seseorang harus membayar tiga kali, yaitu untuk membeli hardware, untuk menggunakan layanan Stadia, dan untuk membeli game yang hendak dimainkan.
Google tidak sepenuhnya mengacuhkan saran dari tim gaming Stadia. Buktinya, mereka terus berusaha untuk menambahkan game yang tersedia di library Stadia. Tujuan Google adalah untuk mempertahankan pelanggan Stadia Pro. Dua game baru yang Google tambahkan ke Stadia ketika itu adalah Farming Simulator 19 dan Tomb Raider: Definitive Edition. Namun, sekali lagi, Google membuat kesalahan. Pasalnya, mereka memasukkan dua game baru itu ke Stadia dalam waktu kurang dari satu bulan sejak game-game tersebut diluncurkan.
Tutupnya Studio Internal Stadia
Sebagai perusahaan, Google punya kecenderungan untuk membuat teknologi baru dan memasang target yang tidak realistis. Meskipun begitu, biasanya, Google tidak mempermasalahkan jika target tersebut tidak terpenuhi. Hanya saja, budaya perusahaan di Google mulai berubah. Pada awal 2021, Stadia gagal untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Dan hal ini mendorong Google untuk menutup studio game internal yang masih seumur jagung.
Penutupan studio game internal Stadia memaksa Google untuk merumahkan sekitar 150 karyawan. Ironisnya, hal ini juga yang mendorong sejumlah talenta penting di Google Stadia memutuskan untuk keluar secara bersamaan. Selain Jade Raymond yang keluar pada 2021, Google juga kelihangan John Justice. Seolah hal itu tidak cukup buruk, Studio baru Raymond, Haven Entertainment, juga membajak enam karyawan Stadia lainnya.
Banyaknya karyawan yang memutuskan untuk keluar dari Stadia memunculkan kekhawatiran bagi sejumlah pihak. Namun, pada Mei 2021, Google masih meyakinkan masyarakat umum bahwa Stadia masih baik-baik saja. Memang, di 2021, Google merilis lebih dari 100 game untuk Stadia. Angka ini sama seperti total peluncuran game untuk Stadia di 2020.
Menariknya, meskipun Google menutup studio internal Stadia, hubungan mereka dengan developer pihak ketiga tetap baik. Pada 2019, Gwen Frey, developer dari Kine, mengungkap bahwa Google memberikan bayaran yang memuaskan pada developer yang bersedia untuk merilis game-nya secara eksklusif di Stadia. Dia menambahkan, selain uang, timnya juga mendapatkan pengalaman berharga dalam membuat game dengan teknologi cloud. Satu tahun kemudian, di 2020, Creative Director Gylt, Raul Rubio mengungkap bahwa proses produksi Gylt berjalan dengan sangat mulus berkat penggunaan teknologi cloud milik Google.
Tutupnya Stadia
Pada Februari 2022, satu tahun setelah Google menutup studio internal Stadia, muncul kabar bahwa proyek Stadia tidak lagi menjadi prioritas Google. Sebagai gantinya, perusahaan asal Amerika Serikat itu akan fokus pada teknologi streaming game mereka, yang dinamai Immersive Stream for Games. Untungnya, setelah pengumuman akan Immersive Stream pun, Google masih memberikan informasi tentang Stadia pada para pengguna. Hal ini membuat orang-orang percaya bahwa Google tidak akan membuang Stadia begitu saja.
Namun, pada pertengahan Oktober 2022, Google resmi mengumumkan penutupan Stadia. Mereka menginformasikan, para pengguna Stadia masih akan bisa mengakses library game mereka hingga 18 Januari 2023. Setelah itu, Google akan mengembalikan uang dari para gamers yang telah membeli game di layanan cloud gaming itu. Menariknya, para publisher game justru tidak tahu akan keputusan Google untuk menutup Stadia. Mereka mendengar rencana Google untuk menutup Stadia dari berita. Alhasil, publisher besar seperti Ubisoft, Bungie, dan IO Interactive kelabakan untuk menawarkan perpindahan kepemilikan game dari Stadia ke platform lain.
Sayangnya, alasan Google untuk menutup Stadia masih tidak diketahui pasti. Google mengatakan, mereka memutuskan untuk menutup Stadia karena rendahnya minat konsumen akan layanan cloud gaming tersebut. Meskipun begitu, IGN menduga, berdasarkan wawancara dengan seorang karyawan, alasan Google menutup Stadia adalah karena tren merger dan akuisisi di industri game.
Pada akhirnya, Google memutuskan untuk menggunakan model bisnis Business-to-Business (B2B) untuk Stadia. Hal ini berarti, mereka memerlukan ekosistem publisher mandiri yang tidak terkait dengan kreator dari platform tertentu, seperti Xbox atau Sony. Banyaknya perusahaan game kecil dan menengah yang dicaplok oleh perusahaan game besar — seperti Microsoft atau Embracer — maka Google akan kesulitan untuk menonjolkan daya tarik Stadia.