E3 dan Event Gaming: Sejarah, Perkembangan, Sampai Masa Depannya

Membahas evolusi E3 dan event gaming lainnya dari awal tahun 90-an sampai prediksi ke depannya

Untuk kali kedua dalam sejarah, tahun ini sama sekali tidak ada event E3 yang digelar, baik secara fisik maupun online. Entertainment Software Association (ESA) selaku pihak penyelenggaranya tidak memberikan penjelasan terkait keputusannya membatalkan E3 2022, akan tetapi mereka mengatakan bahwa E3 akan kembali di musim panas tahun 2023 dalam bentuk event fisik dan digital sekaligus.

E3 tentu bukan satu-satunya pameran dagang atau konvensi tahunan yang selalu dinanti kehadirannya di industri video game. Acara lain seperti Gamescom, PAX, dan Tokyo Game Show juga sudah eksis sejak lama. Namun tidak bisa dipungkiri, E3 adalah yang paling populer dan yang paling mengundang sorotan media. Alhasil, ketika acaranya batal digelar, banyak yang merasa seperti kehilangan.

Anggapan tersebut bukanlah tanpa alasan, dan di artikel ini, kita akan membahas mengenai banyak hal seputar event gaming — khususnya E3 — mulai dari sejarahnya, evolusinya, sampai masa depannya.

Sejarah E3

Electronic Entertainment Expo, atau lebih dikenal dengan nama E3, pada awalnya bermula dari kontroversi seputar game Mortal Kombat yang pertama, serta kekesalan para pelaku industri video game terhadap event Consumer Electronics Show (CES). Ya, di awal tahun 1990-an, produsen konsol dan video game seperti Atari, Sega, maupun Nintendo memanfaatkan CES untuk mempromosikan produk-produk barunya di hadapan para peritel.

Problemnya, pihak penyelenggara CES kala itu terkesan mengesampingkan perusahaan-perusahaan game. Bukannya ditempatkan di area yang sama seperti produsen kamera, TV dan berbagai perangkat elektronik lainnya, booth perusaahan game justru berada di lokasi yang sangat tidak strategis di CES, persisnya di sebuah tenda di lahan parkir.

Suatu ketika, hujan turun deras, dan tendanya bocor hingga mengenai deretan konsol Sega Genesis yang dipamerkan. Tom Kalinske, CEO Sega of America kala itu, murka dan memutuskan untuk tidak berpartisipasi di CES lagi ke depannya, seperti dilaporkan oleh Polygon. Sebagai gantinya, Sega menggelar pamerannya sendiri di tahun 1992. Acara tersebut sukses, dan di tahun 1993, Sega menggelar acara serupa dengan skala yang lebih besar lagi.

Pada tahun yang sama, industri video game sedang mendapat pengawasan ketat akibat kontroversi yang dituai game pertama Mortal Kombat, yang dinilai mempromosikan kekerasan kepada anak-anak, seperti diberitakan oleh Engadget. Buntut kontroversinya, kongres Amerika Serikat memberikan ultimatum kepada industri video game untuk membuat sistem rating game. Gagal memenuhi permintaan itu, maka pemerintah yang akan turun tangan.

Mendapat ancaman seperti ini, dua rival abadi saat itu — Sega dan Nintendo — memutuskan untuk berdamai sejenak demi menyelesaikan masalah tersebut. Bersama dengan perusahaan-perusahaan game besar lain macam Atari, 3DO, Philips, dan EA, Sega dan Nintendo sepakat untuk mendirikan Interactive Digital Software Assocation (IDSA) — yang sekarang kita kenal sebagai ESA — yang kemudian berujung pada lahirnya Entertainment Software Rating Board (ESRB).

Sebagai asosiasi, IDSA tentu butuh pendanaan. Berdasarkan laporan MCV, IDSA pada awalnya menerima pinjaman dana dari Sega dan Nintendo masing-masing sebesar $300.000. Pimpinan IDSA kemudian sepakat bahwa menggelar pameran dagang adalah cara yang tepat bagi mereka untuk mencari sumber pendanaan yang sustainable.

Dari situ datanglah Paul Ferrel, bos majalah GamePro yang menggagaskan ide mengenai E3 ke IDSA. Di saat yang hampir bersamaan, pihak penyelenggara CES sebenarnya juga sempat mengajukan ide seputar pameran dagang terpisah ke IDSA. Namun gagasan Paul Ferrel dinilai lebih menarik karena IDSA akan mendapat hak kepemilikan atas E3 sebesar 5% di tahun pertamanya.

Tidak semua perusahaan game setuju dengan rencana tersebut. Microsoft dan Nintendo pada awalnya menolak berpartisipasi di E3 dan lebih memilih acara baru yang digagaskan oleh penyelenggara CES. Namun setelah melihat banyak perusahaan game besar yang mendaftarkan diri di E3, keduanya pun akhirnya berubah pikiran dan memutuskan untuk ikut bergabung sebagai exhibitor di E3.

Di luar dugaan, debut perdana E3 di tahun 1995 sukses besar, dengan total jumlah pengunjung berkisar 50.000 orang, salah satunya Michael Jackson. Acara tersebut menjadi saksi atas peluncuran dua konsol legendaris, yakni Sega Saturn dan Sony PlayStation generasi pertama, tidak ketinggalan pula pengumuman game-game legendaris seperti Resident Evil, Rayman, Earthbound, Virtua Fighter, Ridge Racer, dan Chrono Trigger.

Selepas acara perdananya ini, IDSA langsung menegosiasi ulang perjanjiannya dengan International Data Group (IDG), induk perusahaan GamePro yang bertindak sebagai penyelenggara E3. Berdasarkan kesepakatan barunya, E3 sepenuhnya menjadi properti milik IDSA, namun IDG tetap berperan sebagai kontraktor yang menyelenggarakan acara.

Jatuh-bangun E3 dan kemunculan event-event gaming alternatif

Dari tahun ke tahun, E3 selalu menjadi tempat diumumkannya kabar-kabar terbesar di industri video game. Namun penyelenggaraan E3 tidak selamanya berjalan mulus. Di tahun 1997, Los Angeles Convention Center yang menjadi venue langganan E3 sedang menjalani renovasi, sehingga perhelatan E3 di tahun tersebut dan di tahun berikutnya terpaksa dipindah ke Georgia World Congress Center di kota Atlanta. Terlepas dari game-game legendaris seperti Half-Life dan Metal Gear Solid yang dipertontonkan kala itu, tidak ketinggalan pula pengumuman Sega Dreamcast, pengunjung mengeluhkan pengalaman yang lebih buruk, dan E3 pun kembali digelar di kota Los Angeles setelah proses renovasinya selesai di tahun 1999, seperti dilaporkan Washington Post.

Satu dekade berlalu dan setelah 11 event E3 berturut-turut, pada tahun 2006 beberapa perusahaan game menyampaikan keluhannya kepada ESA terkait tingginya biaya yang harus mereka keluarkan setiap kali mereka berpartisipasi di E3, yang terkadang bisa mencapai 5 sampai 10 juta dolar. Hal itu memicu ESA untuk merombak E3 menjadi event dengan skala yang lebih kecil. Lokasinya dipindah ke kota Santa Monica, dan jumlah maksimum pengunjungnya pun dibatasi hanya beberapa ribu orang saja; E3 2007 dan E3 2008 masing-masing hanya dihadiri oleh 10.000 dan 5.000 pengunjung yang minim antusiasme.

Di saat yang hampir bersamaan, beberapa event gaming alternatif mulai bermunculan. Blizzard menggelar konvensi tahunan BlizzCon yang pertama di tahun 2005, dan mereka sempat absen dari E3 sebanyak lima kali berturut-turut dari 2008-2012. Di Jerman, pameran dagang tahunan Gamescom memulai debutnya pada tahun 2009. Tidak seperti E3 yang kala itu hanya bisa dihadiri oleh pelaku industri, peritel, dan media, Gamescom sepenuhnya membuka diri ke publik secara luas. Di tahun pertamanya, Gamescom berhasil mendatangkan sebanyak 245.000 pengunjung.

Gamescom bukan satu-satunya event gaming yang menarget kalangan industri sekaligus publik. Di Jepang, ada Tokyo Game Show (TGS) yang bahkan sudah konsisten digelar setiap tahun sejak 1996. TGS memang tidak mendapat sorotan semeriah E3 di mata media internasional, akan tetapi jumlah pengunjungnya terus membengkak dari tahun ke tahun. Sejak 2010, total pengunjung TGS selalu menembus angka 200.000 orang.

Gamescom / Cologne Tourism

Bicara soal konvensi game yang digelar di Jepang, E3 sendiri sebenarnya juga sempat diadakan di sana. Berdasarkan laporan Kotaku, kesuksesan debut perdana E3 membuat penyelenggaranya punya rencana besar, salah satunya rencana untuk menggelar hajatan serupa di negara-negara lain. Sebagai pusat industri video game, Jepang pun langsung menjadi pilihan pertama.

Kalau Anda tidak pernah mendengar soal E3 yang digelar di Jepang ini, itu sangat wajar karena acaranya memang cuma sempat diadakan satu kali saja di tahun 1996, hanya beberapa bulan setelah TGS yang pertama dihelat. Venue yang dipakai pun sama persis seperti TGS, yaitu Makuhari Messe. Sayang acaranya tidak berjalan sesuai rencana. Sony awalnya setuju menjadi sponsor utama, akan tetapi mereka pada akhirnya malah batal menghadiri E3 Tokyo '96 sepenuhnya, dan justru menggelar acara sendiri bertajuk PlayStation Expo yang lebih banyak mendapat sorotan. Ini merupakan pertama dan terakhir kalinya E3 pernah diselenggarakan di luar Amerika Serikat.

E3 kembali ke format awal dan venue aslinya di Los Angeles Convention Center pada tahun 2009. Namun formatnya mulai menunjukkan pergeseran pada tahun 2013, tepatnya ketika Microsoft dan Sony menggelar acara peluncuran Xbox One dan PlayStation 4 secara terpisah dari E3, dengan pertimbangan supaya E3 bisa lebih berfokus memamerkan game-game baru yang disiapkan untuk kedua konsol tersebut. Masih di tahun 2013, Nintendo memutuskan untuk tidak lagi menggelar sesi konferensi pers di E3. Sebagai gantinya, mereka menyampaikan pengumuman-pengumuman barunya lewat livestream bertajuk Nintendo Direct.

Di tahun 2017, E3 untuk pertama kalinya membuka diri dan menerima pengunjung dari kalangan publik. Jumlah pengunjungnya pun semakin membeludak, dan kesannya E3 jelas bertambah meriah. Namun di tahun 2019, Sony mengejutkan semua orang dengan mengumumkan bahwa mereka tidak akan menghadiri E3 di tahun tersebut, setelah selama lebih dari dua dekade tidak pernah absen.

E3 2019 sepertinya bakal selamanya menjadi momok bagi ESA. Pasalnya, selain kehilangan salah satu exhibitor andalannya, ESA kala itu juga menuai kritik keras setelah data pribadi lebih dari 2.000 jurnalis dan influencer yang disimpannya bocor ke publik. Relevansi ESA dan E3 mulai dipertanyakan, namun puncak jatuhnya E3 baru terjadi di tahun berikutnya.

Pandemi COVID-19 dan absennya E3 untuk pertama kali

Seperti halnya semua event tatap muka yang semestinya bakal digelar di tahun 2020, E3 pun terpaksa dibatalkan akibat pandemi COVID-19. Awalnya, ESA berniat untuk menggelar E3 secara virtual di tahun tersebut, namun rencana tersebut akhirnya batal, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, tidak ada event E3 yang berlangsung. Namun dibatalkannya E3 bukan berarti event-event gaming yang lain juga harus mengikuti jejaknya.

Guna mengisi kekosongan, penggagas acara tahunan The Game Awards, Geoff Keighley, menghelat event virtual Summer Game Fest, yang sebenarnya terdiri dari beberapa acara digital yang diproduksi dan ditayangkan secara terpisah. Secara keseluruhan, Summer Game Fest berlangsung dari Mei hingga Agustus 2020. Selang sehari setelah Summer Game Fest berakhir, Gamescom 2020 digelar secara online. Pada bulan September, giliran Tokyo Game Show 2020 yang juga berlangsung secara virtual.

E3 2020 boleh batal, namun ESA masih optimistis untuk mengadakan E3 2021. Rencana awalnya adalah memadukan event tatap muka dan virtual, tapi seperti yang kita tahu, E3 2021 pada akhirnya cuma berlangsung secara virtual saja, dan yang meninggalkan kesan buruk di kalangan media. 'Sihir' E3 yang selama ini dirasakan para pengunjung seakan sirna begitu saja ketika acaranya terpaksa dikemas dalam wujud virtual. Mungkin inilah mengapa ESA akhirnya memutuskan untuk membatalkan E3 2022 sepenuhnya. Kalau cuma bisa online, lebih baik tidak usah sama sekali daripada mengulangi kesalahan tahun sebelumnya; kira-kira begitu mungkin pandangan mereka.

Masa depan E3 dan event gaming secara umum

Dibatalkannya E3 untuk yang kedua kali tentu memicu pertanyaan terkait masa depannya: Apakah E3 akhirnya bakal mati seperti yang sudah berkali-kali diprediksi kalangan media selama ini? Kalaupun E3 pada akhirnya bisa kembali digelar sebagai event tatap muka, apakah keberadaannya masih bisa dibilang relevan?

Dahulu, eksistensi E3 sangatlah relevan karena kita masih membeli konsol dan game melalui toko ritel fisik. Pameran dagang seperti E3 merupakan kesempatan bagi pihak peritel untuk bernegosiasi dan menstok produk-produk baru yang dipamerkan, yang pada akhirnya bakal berpindah tangan ke konsumen. Sekarang, sebagian besar transaksi kita di dunia game berlangsung secara online, dari membeli perangkat sampai konten game-nya itu sendiri.

Cara kita mendapatkan informasi mengenai game-game baru pun juga sudah berubah drastis. Dahulu, sumber utama kita adalah media yang datang langsung ke E3 dan melaporkan tentang game-game baru yang diumumkan. Sekarang, media bukan lagi suatu keharusan, sebab developer dan publisher bisa langsung menggapai konsumen via media sosial, dan sesi live demo pun mudah sekali disajikan lewat Twitch maupun platform lainnya. Bahkan acara seperti Steam Next Fest malah mempersilakan kita untuk langsung menjajal demo dari segudang game baru secara cuma-cuma.

Pandemi selama dua tahun terakhir pada dasarnya menunjukkan bahwa industri video game masih bisa menjaga animonya tanpa harus bergantung pada acara tunggal seakbar E3. Meski begitu, event gaming yang mempertemukan banyak developer dan publisher sekaligus — macam Summer Game Fest misalnya — masih akan terus berlanjut ke depannya, terlepas dari formatnya sebagai acara fisik maupun digital. Daripada saling berebut atensi publik, akan lebih bijak bagi developer dan publisher untuk bersatu di bawah payung event-event gaming seperti ini, sebab tidak semua punya reputasi dan portofolio semasif Nintendo, Sony, maupun Microsoft.