Tanggal 8 November 2019 telah menjadi momen pembukaan dari salah satu gelaran esports terbesar di Indonesia, Southeast Asia Cyber Arena. Para peserta dari berbagai daerah di Indonesia datang untuk berkompetisi dan beradu gengsi mulai dari 8 sampai 10 November 2019 di Kartika Expo, Balai Kartini, Jakarta.
Mengusung sistem kompetisi terbuka, kompetisi ini berhasil menjaring 10.000 tim peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Semua peserta memberikan usaha terbaiknya demi mendapat tempatnya bertanding di Grand Final UniPin SEACA 2019. Kualifikasi dibagi jadi dua bagian kualifikasi, yang dimulai sejak April 2019 lalu. Untuk kualifikasi Indonesia ada UniPin Indomaret Championship dan UniPin City League. Begitu juga dengan kualifikas tingkat Asia Tenggara yang dibagi menjadi, Unipin KK Mart Championship (UKK Championship yang diselenggarakan di Malaysia dan UniPin SEACA 2019 Phillippine Qualifer.
Setelah pertandingan demi pertandingan berlangsung, kini tersisa 464 peserta saja, yang terbaik ke dalam 66 tim. Total peserta tersebut bertanding terbagi ke dalam 3 cabang game yang dipertandingkan oleh SEACA 2019, yaitu Dota 2, Free Fire, dan PUBG Mobile. Mereka akan memberikan jerih payah terbaiknya untuk memperebutkan total hadiah sebesar Rp2,4 Miliar.
Advokasi Sistem Terbuka dan SEACA 2019 Sebagai Wadah Berkompetisi Amatir/Semi-Pro
Sebelum ini, Hybrid sudah sempat membahas soal sistem liga kompetisi yang umum digunakan di dunia olahraga. Dua sistem ini adalah sistem kompetisi tertutup atau dikenal juga sebagai franchise model, satu lagi sistem terbuka atau dikenal sebagai european sports system.
Keduanya punya kelebihannya masing-masing. Sistem tertutup mungkin lebih untung bagi pemodal besar, karena memastikan sustanability ekosistem bisnis suatu liga. Di Indonesia sistem ini pertama kali dicoba untuk MPL ID Season 4. Sementara sistem terbuka cenderung lebih menguntungkan komunitas, karena semua orang punya kesempatan yang sama untuk bertanding di panggung utama.
Ashadi Ang, CEO dan CoFounder UniPin menekankan bahwa dirinya ingin mendorong sistem kompetisi terbuka yang bisa memunculkan bibit-bibit unggul untuk ekosistem esports, lewat SEACA. “Kami ini menerbangkan juara-juara dari kotanya masing-masing ke Jakarta, dan mereka yang kami terbangkan tersebut adalah pemain tingkat amatir atau semi-pro. Lewat SEACA para pemain jadi bisa menunjukkan bakatnya, dan harapannya mereka nantinya bisa direkrut oleh organisasi esports profesional.”
Saat diwawancarai dalam sesi doorstop oleh awak Media, Ashadi juga mengemukakan sedikit pendapatnya terhadap sistem kompetisi tertutup. “Balik lagi, visi saya adalah agar SEACA bisa menjadi wadah bagi pemain dari berbagai kalangan yang ingin menunjukkan bakatnya, dan membuat kompetisi ini sebagai gerbang menuju tingkat profesional. Contohnya seperti SEACA tahun lalu saat juara SEACA 2018 direkrut oleh tim profesional. Dari saya, SEACA tujuannya adalah untuk mencari bibit-bibit baru di ekosistem esports. Hal ini tentunya tidak mungkin dilakukan jika saya langsung meminta biaya investasi sebesar US$1 juta kepada para peserta. Tapi kalau soal sistem terbuka atau tertutup, nantinya mungkin tergantung dari regulasi PB (Pengurus Bersama) Esports saja. Saya sebagai swasta akan mengikuti regulasi yang ada nantinya.”
Satu kekhawatiran dari sistem kompetisi seperti SEACA mungkin adalah soal para pemain yang nantinya jadi terlalu cepat matang atau ibarat matang dikarbit. Namun demikian, inisiatif seperti tetap menjadi salah satu yang dibutuhkan, sebagai wadah putra daerah untuk unjuk kemampuan mereka di tingkat nasional.