[Review] Valthirian Arc: Hero School Story - Lulus dengan Nilai Cukup

Tidak usah percaya review, bila Anda tertarik dengan game ini, langsung beli saja

Saya memiliki sebuah kebiasaan buruk ketika menulis review alias ulasan game. Menulis ulasan untuk game yang sudah jelas keren itu mudah. Begitu pula dengan menulis ulasan game yang memang sudah jelas jelek. Tapi ada sebuah ruang menyebalkan di antara “keren” dan “jelek” yang selalu membuat saya frustrasi, yaitu ketika sebuah game punya potensi besar untuk jadi keren namun tersandung beberapa hal sehingga gagal mencapai status keren secara utuh. Saya mengelompokkan game semacam ini ke dalam sebuah kategori khusus, yaitu game hampir keren”.

Valthirian Arc: Hero School Story masuk ke dalam kategori tersebut. Ketika memainkan Valthirian Arc, saya sering menemukan momen-momen yang menurut saya bagus sekali. Baik dari segi cerita maupun gameplay, Valthirian Arc menggoda kita dengan janji-janji manis nan mendebarkan, namun setelah ditunggu lama ternyata tidak kunjung terealisasi. Lalu ketika saya sudah hampir bosan, putus asa, dan ingin game ini cepat tamat saja, tiba-tiba muncul momen-momen keren secara tak terduga. Saya jadi batal sebal. Tapi kemudian sebal lagi. Begitu terus-menerus. Perasaan saya seperti dipermainkan.

Ketika mengulas sebuah game yang hampir keren, biasanya gaya bahasa saya akan menjadi sedikit kasar. Sebetulnya mungkin bukan kasar sih, tapi lebih tepat disebut geregetan. Bagaimana pun juga saya ingin agar di dunia ini tidak ada game jelek, jadi ketika ada game yang punya potensi besar namun tidak tercapai maksimal, gemas sekali rasanya. Mungkinkah ini yang dinamakan tough love?

Narasi: Sampul Depan Sebuah Epos

Valthirian Arc: Hero School Story dibuka dengan adegan-adegan yang menurut saya sangat exciting (maaf, saya tak menemukan padanan kata bahasa Indonesia yang tepat). Beragam ilustrasi indah menghiasi adegan demi adegan cerita yang memperkenalkan Anda pada kondisi dan tatanan pemerintahan keraton Valthiria. Setelah menerima jabatan sebagai kepala akademi pahlawan dan bertemu para staf yang akan bekerja bersama Anda, Anda melihat tingkah laku para bangsawan dari seluruh penjuru negeri, masing-masing tampak punya agenda tersendiri.

Kemudian cerita bergerak cepat. Bencana tak dinyana tiba, dan mendadak keraton Valthiria jatuh ke dalam suatu kondisi kekosongan kekuasaan. Seorang putri yang seharusnya menjadi pewaris takhta, keberadaannya entah di mana. Lima ratu vasal Valthiria tergiur nafsu untuk merebut kuasa, dan Anda, sebagai kepala akademi yang punya pengaruh militer, tak luput dari ketertarikan mereka.

Kekacauan di Valthiria semakin buncah ketika datang masalah dari luar. Sebuah sekte misterius muncul melakukan pemberontakan, dan beredar desas-desus akan suatu kekuatan jahat yang mengancam keberlangsungan keraton Valthiria. Sebagai kepala akademi, Anda mengemban tanggung jawab melatih para siswa untuk menjadi kader-kader pahlawan penjaga kesatuan negara. Jelas bukan tugas yang mudah.

Sampai di sini cerita Valthirian Arc: Hero School Story terasa cukup mendebarkan. Saya tidak berharap akan ada konflik sedalam Game of Thrones atau Final Fantasy Tactics, namun premisnya yang serupa membuat saya sangat berminat mengetahui kelanjutan ceritanya. Dan betapa kecewanya saya ketika mendapati bahwa cerita dalam game ini tiba-tiba berhenti maju, seperti mobil yang direm mendadak tanpa peringatan.

Alih-alih menggali motivasi terselubung di balik para bangsawan di Valthiria, game ini malah sibuk menyuguhkan beragam quest dengan skenario yang begitu miskin faedah. Bukannya berisi intrik politik, quest yang dari deskripsinya terlihat penting ternyata hanya membuat siswa-siswi akademi saya jadi pekerja kasar. Mengumpulkan jamur, memburu babi, serta menambang mineral adalah sebagian contohnya.

Struktur quest yang mengecewakan mungkin masih bisa dimaafkan bila setidaknya cerita di dalamnya seru. Akan tetapi ternyata tidak. Kontras dengan nuansa cerita utamanya yang serius, semua quest ini malah sarat akan dialog-dialog jayus. Saya jadi curiga, jangan-jangan naskah cerita utama dan naskah quest ditulis oleh orang-orang yang berbeda.

Quest dengan cerita “ringan” sebetulnya bukan barang baru di dunia RPG. Banyak game lain juga melakukannya. Tetapi ini jadi masalah ketika cerita “ringan” mengisi sekitar 90% dari game keseluruhan, bahkan termasuk di misi-misi yang seharusnya merupakan bagian dari cerita utama. Diingat-ingat lagi, cerita Valthirian Arc: Hero School Story yang saya sukai hanyalah bagian pembuka dan penutupnya saja. Sisanya betul-betul membosankan dan terasa seperti filler.

Saya juga heran, perancang quest Valthirian Arc: Hero School Story sepertinya suka sekali dengan turnamen. Bila dalam game ada satu cerita atau misi turnamen, itu sudah biasa. Tapi di sini setidaknya ada tiga deretan quest yang isinya hanya turnamen saja. Satu deret tantangan dari para ratu, satu deret misi Trials of Valthiria, dan satu deret lagi misi dari suku Kawiya. Mengapa? Mengapa harus turnamen terus? Tidak adakah alasan lain yang lebih menarik untuk turun ke dungeon dan menghajar monster?

Nantinya, ketika Anda sudah sampai mendekati akhir game, Anda akan bertemu dengan beberapa quest spesial untuk mendapatkan senjata-senjata legendaris. Dan salah satu quest senjata legendaris itu betul-betul membuat saya emosi jiwa. Bagaimana tidak? Sebelum masuk ke misi utama, saya terlebih dahulu harus:

  • Mencari kapten kapal untuk membawa saya menyeberang laut
  • Menjalankan tuas-tuas untuk membuka gerbang menuju pelabuhan
  • Kapal diserang! Bertarung melawan monster
  • Kapal diserang lagi! Bertarung lagi
  • Mencari anak untuk menjadi pemandu di pulau, ternyata si anak terperangkap
  • Mencari pelumas untuk membuka pintu perangkap
  • Melewati beberapa dungeon lainnya tanpa ada kejadian penting

Percayalah, bila daftar ini terdengar membosankan, memainkannya langsung lebih membosankan lagi. Padahal deretan quest ini harus kita lakukan untuk mendapatkan Crescent Edge, pedang legendaris dengan kekuatan terkutuk yang dapat menciptakan malam abadi. Benda sekeren itu, tapi proses mendapatkannya "receh" begini? Imbalan yang kita dapat keren sih, tapi bagaimana bisa puas bila isi quest itu sendiri tidak menarik?

Quest dalam game ini yang begitu banyak namun tidak berkesan adalah contoh kasus ketika kuantitas mengalahkan kualitas. Pada akhirnya berjibun quest itu hanya jadi wadah untuk bertarung dan grinding, termasuk juga quest cerita utamanya. Sungguh hal yang patut disayangkan, padahal premis cerita di awal punya banyak ruang untuk berkembang.

Untungnya, Valthirian Arc: Hero School Story berhasil mencapai titik yang tinggi ketika cerita sampai di klimaks. Adanya plot twist yang cukup keren (walau mungkin agak mudah ditebak), alasan untuk berempati terhadap motivasi tindakan musuh, serta perkembangan diri beberapa karakter penting sudah cukup untuk menghasilkan ketegangan yang memikat. Setidaknya setelah tamat, saya bisa berkata dengan yakin bahwa game ini punya ending yang memuaskan.

Tata Permainan: Kemudi Semiotomatis

Sama seperti cerita, aspek gameplay dalam Valthirian Arc: Hero School Story juga digerogoti keputusan-keputusan aneh yang menghalangi game ini dari status keren sempurna. Pada dasarnya inti permainan Valthirian Arc: Hero School Story cukup sederhana. Sebagai kepala akademi, Anda akan merekrut siswa-siswi baru, menjalankan quest untuk meningkatkan level mereka, melengkapi mereka dengan berbagai macam senjata, dan setelah level mencukupi, mengubah mereka menjadi class tertentu. Terdapat tiga class dasar dan enam class lanjutan dalam game ini, variasinya cukup luas juga asyik untuk diulik-ulik.

Bagi Anda yang menyukai game dengan fokus pada character building semacam Ragnarok Online atau Diablo, Valthirian Arc: Hero School Story akan terasa familier dengan cepat. Ada kesenangan yang muncul dari memilih siswa untuk “dibesarkan”, karena tiap siswa punya atribut dasar berbeda-beda. Satu siswa mungkin cocok untuk dijadikan class Paladin, sementara siswa lainnya lebih cocok menjadi Arquebusier. Terdapat banyak kombinasi untuk dicoba-coba, termasuk kombinasi hura-hura misalnya party berisi empat orang Scholarsage untuk pengalaman framerate drop maksimal.

Senjata-senjata langka dapat Anda peroleh lewat item drop di dungeon, membeli di pedagang keliling, atau crafting di Armory. Cara mana pun yang Anda pilih, berhasil mendapatkan senjata keren selalu terasa menyenangkan. Dengan senjata yang tepat, seorang siswa bisa tampil sangat menonjol di medan pertarungan.

Sayangnya Valthirian Arc: Hero School Story punya masalah yang aneh di perihal balancing. Secara garis besar, pertarungan dalam game ini hanya punya dua kemungkinan: Anda membunuh semua musuh dengan satu serangan, atau Anda mati dengan satu serangan. Mungkin frase “dengan satu serangan” agak berlebihan sih, tapi memang rasanya seperti itu. Bila Anda bertemu musuh yang levelnya terlalu tinggi sedikit saja, Anda akan sangat cepat mati. Sebaliknya, bila level Anda lebih tinggi dari musuh sedikit saja, musuh pun akan sangat cepat mati, termasuk musuh-musuh bos sekalipun.

Balance yang aneh itu mengingatkan saya pada game Pikmin atau Little King’s Story, yang mana sebetulnya kedua game tersebut bukanlah game action murni tapi lebih menyerupai real-time strategy (RTS). Saya menemukan bahwa taktik terbaik dalam pertarungan adalah berlari saja berputar-putar, karena biasanya musuh akan berusaha mengincar karakter yang Anda kendalikan. Sementara si musuh sibuk mengejar Anda, teman-teman Anda (yang dikendalikan komputer) dapat menghajarnya leluasa hingga ia mati tanpa perlawanan berarti.

Setelah main cukup lama, persoalan balance tak lagi terasa signifikan. Saya cukup menganggap bahwa Valthirian Arc: Hero School Story adalah game dengan genre yang tak biasa, dan masalah itu sudah bisa saya abaikan. Tapi kemudian muncul satu hal lagi yang sebenarnya mungkin minor, tapi membuat saya bertanya-tanya, “Mengapa?!” Masalah itu, saudara-saudara sekalian, adalah fitur bernama Trigger Skill.

Jadi begini. Tiap class dalam Valthirian Arc: Hero School Story dapat mempelajari berbagai macam skill yang terbagi ke dalam tiga jenis: Active Skill, Permanent Skill, dan Trigger Skill. Active Skill pertama akan langsung Anda dapatkan ketika memilih class, namun untuk mendapatkan Active Skill berikutnya, Anda harus berganti ke salah satu class lanjutan dan mencapai level 25. Permanent Skill, di sisi lain, adalah skill pasif yang dapat meningkatkan atribut-atribut karakter Anda, seperti daya serang atau jumlah HP.

Dua jenis skill di atas tidak ada masalah. Yang saya permasalahkan adalah jenis skill ketiga, Trigger Skill, yaitu skill yang akan muncul secara random di tengah pertarungan. Trigger Skill ini ada banyak jumlahnya, beberapa bahkan lebih keren dan bermanfaat daripada Active Skill.

Class Arc Draconus misalnya, memiliki Trigger Skill bernama Dragon Dance. Karakter Anda akan melompat sambil menebas musuh dengan gerakan spiral, lalu menghempaskan pedang ke arah lantai, menghasilkan damage yang luar biasa. Class Magi dan Medica memiliki Trigger Skill bernama Freeze, ilmu sihir yang sangat berguna untuk menghentikan gerakan lawan. Harlequin memiliki Trigger Skill bernama Poison Flask yang dapat meracuni musuh dalam area yang besar. Dan masih banyak lagi lainnya.

Pertanyaan saya: Mengapa skill yang keren-keren seperti ini malah hanya bisa dilakukan secara random? Mengapa tidak membuat semuanya jadi Active Skill saja, agar pemain dapat mengeluarkan potensi keren karakter mereka hingga batas maksimal? Mengapa saya tidak boleh spamming semua skill terus-menerus seperti Fayt Leingod di Star Ocean: Till the End of Time?

Kembali ke persoalan balance tadi, mungkin jawabannya adalah karena Valthirian Arc: Hero School Story memang bukan game action murni, melainkan semi-RTS. Bila semua skill dijadikan Active Skill, pertarungan mungkin akan jadi terlalu rusuh. Tapi saya tetap merasa sebal, sebab game ini tidak memberi kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur aksi karakter-karakter saya.

Terlepas dari keluhan-keluhan di atas, gameplay Valthirian Arc: Hero School Story secara keseluruhan menurut saya menyenangkan. Bahkan, sangat menyenangkan! Selain membawa para siswa bertarung, Anda juga harus mengatur wujud akademi Anda. Memilih ruangan dan bangunan untuk didirikan rasanya begitu menghibur, apalagi tidak ada penalti besar untuk menghancurkan ruangan/bangunan lalu memindah-mindahnya ke lokasi lain.

Setiap akhir semester, Anda harus memilih minimal satu siswa untuk diluluskan. Unsur pemilihan ini pun begitu asyik, sebab selalu ada dilema antara usaha dan imbalan yang diberikan. Bila Anda meluluskan karakter dengan level pas-pasan, uang serta poin akreditasi yang Anda dapat akan lebih sedikit. Tapi bila harus meluluskan karakter yang sudah Anda tempa hingga sangat jago, kira-kira apakah Anda rela?

Semakin sayang Anda pada siswa-siswi Anda, semakin lama waktu yang Anda butuhkan untuk meningkatkan level akreditasi sekolah. Padahal level akreditasi ini berpengaruh sangat besar. Dengan akreditasi lebih tinggi, Anda dapat mendirikan bangunan lebih banyak, melakukan upgrade fasilitas lebih jauh, termasuk juga membuka class karakter baru. Melihat akademi tumbuh dari bangunan kecil tak beratap menjadi institusi pendidikan megah lengkap dengan peternakan naga, rasanya sungguh membuat hati gembira.

Audio Visual: Bernas Walau Sumber Daya Terbatas

Aspek paling saya sukai dari Valthirian Arc: Hero School Story, sudah pasti, adalah ilustrasi-ilustrasinya yang begitu menawan. Karakter-karakter dalam game ini didesain begitu ekspresif, masing-masing dengan pose yang samar namun memancarkan kepribadian dengan begitu kuat. Melihat Isabel sekilas, saya bisa merasakan bahwa ia adalah gadis yang elegan namun berjiwa bebas. Sementara melihat Mirza, langsung terasa bahwa meski terlihat urakan, diam-diam ia menyimpan karisma.

Desain karakter Valthirian Arc terinspirasi dari berbagai latar kebudayaan berbeda. Sebagian besar memang menyerupai desain Eropa era Victoria, tapi ada juga karakter-karakter dengan inspirasi dari Timur Tengah dan Indonesia. Suku Kawiya, yang desainnya menyerupai pakaian adat Bali, terlihat indah dan eksotik. Desain favorit saya sendiri adalah Shilekka, si pedagang keliling yang mengingatkan saya pada komik berjudul Otoyomegatari.

Keindahan itu terus berlanjut hingga game tamat, bahkan saat credit roll pun rasanya saya gatal ingin mengambil screenshot terus-menerus. Sayangnya, meski Valthirian Arc: Hero School Story bersinar di unsur visual 2D, desain model 3D di dalamnya justru meninggalkan nilai minus.

Jangan salah sangka, bukan berarti tampilan 3D game ini jelek. Malah menurut saya sudah bagus. Penerapan gaya visual chibi di dalamnya imut namun tetap ekspresif, dan setiap class memiliki penampilan yang cukup istimewa. Para karakter, baik manusia ataupun monster, dianimasikan dengan halus, dan efek-efek yang muncul ketika mengeluarkan skill cukup layak untuk masuk standar game tahun 2018. Bangunan-bangunan di akademi pun didesain menarik dan enak dipandang mata.

Nilai minus yang saya maksud semata-mata hanya masalah kurang variasi. Mungkin Agate Studio butuh anggaran lebih besar, atau kru 3D modeler lebih banyak, agar tampilan dungeon dalam game ini tidak melulu begitu-begitu saja. Bosan sekali rasanya melihat tampilan rerumputan dan gua bawah tanah yang tak jauh berubah dari awal hingga akhir. Memang ada beberapa misi yang menempatkan kita di lokasi unik, tapi misi-misi itu jumlahnya sangat sedikit.

Sisi audio Valthirian Arc: Hero School Story juga memberikan perasaan agak campur aduk. Musik dalam game ini sebetulnya bagus, tapi sayangnya background music (BGM) yang muncul terikat pada jenis dungeon yang sedang kita jelajahi. Dan karena sebagian besar dungeon punya desain monoton, BGM yang muncul juga itu lagi itu lagi. Sebagus apa pun musiknya, bila diputar terus-menerus lama-lama bikin kesal juga.

Semua keluhan saya dari sisi audio visual sepertinya berakar pada persoalan yang sama, yaitu anggaran. Memang Valthirian Arc: Hero School Story bukan game AAA dengan bujet puluhan juta dolar, jadi saya rasa hal-hal tersebut bisa dimaklumi. Semoga saja game ini sukses, dan Agate Studio bisa menelurkan sekuel dengan anggaran yang lebih besar dan lebih efisien.

Kesimpulan: Hati Tak Dapat Berbohong

Jadi, apakah Valthirian Arc: Hero School Story layak dibeli atau tidak? Bila ditanya seperti itu, saya akan sulit untuk menjawab. Seperti sudah saya katakan, game ini masuk dalam kategori khusus yang dilematis, yaitu “game hampir keren”. Mungkin alih-alih menjawab, saya justru akan bertanya balik, apa yang Anda harapkan dari Valthirian Arc: Hero School Story?

Bila Anda mengharap sebuah masterpiece yang sejajar dengan game buatan para developer JRPG senior di luar sana, itu tak akan Anda temukan. Tapi bila Anda ingin melihat sejauh mana pencapaian developer Indonesia, dan siap menerima segala keunggulan beserta keterbatasannya, Valthirian Arc: Hero School Story wajib Anda miliki. Dari kacamata gamer Indonesia, menurut saya Valthirian Arc: Hero School Story akan dinikmati oleh mereka yang menghargai usaha, namun akan mengecewakan mereka yang menilai dari hasil saja.

Tugas saya sebagai reviewer hanya memberi gambaran tentang isi game ini, bukan menentukan apakah Anda harus membelinya atau tidak. Lagi pula, selera setiap orang bisa berbeda-beda. Sama seperti keputusan untuk membeli game secara umum, daripada bergantung pada ulasan atau rekomendasi orang lain, lebih baik dengarkan kata hati sendiri. Hati saya sih berkata “Yes”. Bagaimana dengan Anda?

Sparks:

  • Ilustrasi dan desain karakter sangat menawan
  • Cerita utama cukup menarik, dengan ending yang memuaskan
  • Lagu ending indah dengan vokal yang menyentuh hati
  • Model 3D para karakter cukup keren dan dianimasikan dengan baik
  • Proses menyejahterakan akademi terasa begitu menyenangkan
  • Variasi class dan skill yang luas, seru untuk diulik
  • Banyak referensi menarik ke budaya dan kultur pop Indonesia

Slacks:

  • Desain dungeon kurang variatif
  • Skenario quest sangat membosankan, termasuk quest cerita
  • Grinding yang mungkin terlalu repetitif bagi sebagian orang
  • Musik latar terlalu sering diulang-ulang
  • Sistem Trigger Skill dan balance yang aneh membuat aksi kurang maksimal
  • Framerate drop di beberapa tempat