Sesekali, satu dalam beberapa lusin purnama, dunia punya kesempatan untuk menerima kunjungan dari sebuah game yang sulit dijadikan bahan review. Tiap orang bisa punya alasan masing-masing mengapa game yang dimaksud menyandang status demikian. Mungkin karena ulasan, seringkas dan segenerik apa pun akan menghilangkan unsur kejutan di dalamnya sehingga merusak pengalaman bermain. Atau sebab game itu terlalu divisive, hanya bisa diapresiasi kalangan tertentu sehingga penilaian dari seorang pengulas akan sulit diterima penggemar.
She and the Light Bearer, bagi saya, termasuk dalam kelompok karya dengan karakteristik di atas—sulit untuk diulas. Namun dengan alasan berbeda. Memainkan She and the Light Bearer, saya merasa seperti sedang berhadapan dengan seorang manusia, atau katakanlah, seorang wanita. Di dalam hati saya bisa saja menyimpan penilaian, bahwa dia memiliki kelebihan, apakah itu dari kecantikan, sikap, dan cara berpikir, namun juga karakteristik lain yang dapat kita sebut sebagai kekurangan.
Tapi memangnya siapa saya, sampai bisa menghakimi seseorang berdasarkan hitung-hitungan karakteristiknya? Siapa saya, sampai merasa berhak melabelinya dengan angka-angka, lalu merasa seolah angka-angka itu menjadi penentu nasib sesuatu yang berada di luar kekuasaan saya? Lagi pula apa yang saya perhatikan dan nilai, semuanya hanyalah terdiri dari hal-hal yang terlihat. Padahal nilai seorang manusia lebih banyak ditentukan oleh apa yang ada di dalamnya.
Seperti halnya kekurangan yang ada di diri manusia tidak membuatnya kurang sebagai seorang manusia karena ciptaan Tuhan begitu agung, kekurangan dalam She and the Light Bearer tidak membuatnya kurang sebagai sebuah karya karena karya ini adalah karya yang agung. Karya yang membuat saya bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran penciptanya, mengapa dan bagaimana ia membayangkan, merancang, lalu mengejawantahkan angan-angannya dari alam imajinasi menjadi kata-kata dan ilustrasi. Yang mana, mungkin bila saya bertanya langsung ke si pencipta pun, ia tidak akan bisa mendeskripsikan dan membuat saya merasakan seluruh hal yang menjadi inspirasinya.
Hal terbaik yang bisa saya coba adalah menerka-nerka.
Mengintip lubuk di balik lalang
Ketika saya pertama kali meluncurkan aplikasi She and the Light Bearer, saya langsung disambut sebuah kalimat yang sepertinya sengaja diletakkan di depan untuk membentuk atau mengontrol ekspektasi pemain. “Sebuah cerita dari Mojiken Studio diterbitkan oleh Toge Productions,” katanya. Sebuah cerita. Bukan sebuah game. Walaupun secara teknis ini memang berwujud game, dan bukan hal aneh bila sebuah game punya bobot yang dominan di sisi cerita, kalimat itu membuat saya paham bahwa She and the Light Bearer, lebih penting dari identitasnya sebagai sebuah game, adalah sebuah cerita.
Alih-alih mencari-cari unsur permainan interaktif atau aksi mendebarkan, She and the Light akan lebih menyenangkan bila Anda memainkannya sambil membayangkan sebuah pop-up book berisi dongeng anak-anak. Lepaskan sejenak masa dewasa, lalu ingat kembali perasaan gembira yang muncul ketika kita melihat gambar warna-warni muncul mencuat dari atas lembar-lembar kertas, biasanya tak lebih dari sebuah bidang datar tapi ternyata bisa mengambil wujud lebih nyata.
Selaras dengan kisahnya tentang seekor Kunang-Kunang yang harus pergi ke dalam hutan dan mencari sosok “Ibu”, sebagian besar objek yang akan Anda lihat dalam tiap adegan She and the Light Bearer terdiri dari makhluk-makhluk hidup. Memang ada juga batu, tanah, serta benda-benda diam lainnya, namun lebih banyak dari itu adalah rumput, dedaunan, ranting, serta sulur-sulur yang memenuhi lingkungan rimba.
Yang dilakukan Mojiken Studio terhadap makhluk-makhluk hidup tadi adalah membuat mereka tampil selayaknya diri mereka di dunia nyata: hidup dan bergerak. Objek-objek di layar, yang wujudnya sudah seperti lembaran-lembaran pop-up book tadi, nyaris seluruhnya dianimasikan dengan begitu rajin. Satu helai rumput dengan helai lainnya punya bentuk dan goyangan yang berbeda-beda. Kabut, cahaya matahari, yang menerobos sela-sela kanopi seolah bisa Anda rasakan langsung sejuk dan hangatnya.
Bila berbicara tentang kualitas visual suatu karya, sering kita mewakili gambaran keseluruhannya dengan satu kata saja. Bagus. Atau mungkin dua kata, bagus banget. Tapi sepatah dua patah kata itu tak cukup untuk menjabarkan hal-hal kecil seperti di atas. Hal-hal yang biasanya taken for granted padahal penting untuk membuat dunia jadi lebih hidup, tak hanya di dalam karya tapi di kehidupan nyata juga.
Sementara desain dekoratif keseluruhan dalam game ini lekat akan nuansa etnik, yang sungguh sayang saya tak tahu terinspirasi dari kebudayaan mana karena saya bukan pakarnya. Warna-warna pastel yang digunakan menghadirkan nuansa ceria, namun tidak berarti keseluruhan ceritanya berisi ceria saja. Di saatnya, Anda juga akan menemukan si Kunang-Kunang berada dalam posisi berbahaya, sedih, suram, mencekam. Sebagaimana sudah seharusnya kisah petualangan seorang pahlawan.
Kepingan-kepingan cermin hati
She and the Light Bearer adalah cerita yang singkat. Dengan bermain secara santai, Anda bisa menyelesaikannya dalam lebih kurang empat jam saja. Tapi singkat bukan berarti tak mengesankan. Selama perjalanan singkat itu, Kunang-Kunang akan bertemu para penghuni belantara yang, mungkin beda dari bayangan Anda, eksentrik dan istimewa dengan kejenakaannya masing-masing. Berpisah dengan makhluk-makhluk ini seiring tamatnya cerita agak menyedihkan, karena rasanya saya masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercengkerama bersama mereka.
Yang mengherankan, meski dengan waktu yang singkat dan gaya penceritaan yang cenderung berkelakar, tokoh-tokoh penghuni hutan itu bisa terasa hidup, bukan sekadar pemeran anekdot satu dimensi. Maka dari itu ketika berlangsung adegan penting yang melibatkan mereka, empati juga emosi yang dibangkitkan cukup terasa. “Jangan nilai buku dari sampulnya,” ungkapan demikian cocok sekali untuk menggambarkan para penghuni hutan. Lebih dari sekali saya dibuat terkejut oleh bagaimana mereka berperan dalam petualangan si Kunang-Kunang.
Kekuatan para tokoh She and the Light Bearer semakin dipertegas oleh penyulihan suara yang sama eksentriknya dengan karakter mereka. Padahal semua percakapan menggunakan ucapan racau serupa bahasa Simlish, tapi penyulihan suaranya tetap dilakukan dengan akting yang serius. Terkadang di tengah cerita saya berhenti lalu bertanya-tanya, seberapa banyak kerja keras yang dibutuhkan Mojiken untuk menciptakan produk seni seperti ini. Juga seberapa banyak kesenangan yang mereka rasakan selama prosesnya.
She and the Light Bearer dapat dimainkan dalam berbagai bahasa. Secara pribadi sih, saya berpendapat bahwa Anda sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia sedari awal. Setelah itu bila berminat baru cobalah versi bahasa Inggrisnya (atau bahasa lain sesuai kemampuan). Alasannya, karena nuansa yang ditimbulkan oleh naskah versi Indonesia dengan versi Inggris cukup jauh berbeda.
Mana yang lebih bagus itu jelas subjektif. Tapi mengingat para kreator game ini adalah orang-orang Indonesia, ada rasa autentik di naskah Indonesia yang tidak akan Anda dapatkan di versi Inggris. Selera humor asli sang penulis, muatan-muatan dan referensi lokal, juga gaya bahasa yang mungkin akan familier bagi penikmat buku-buku cergam terjemahan, baru akan muncul seluruhnya di pilihan bahasa ini. Pun dalam personalitas tokoh-tokoh, ada selisih yang lumayan memengaruhi nuansa cerita.
Satu saja kritik/masukan yang ingin saya sampaikan dari seluruh ulasan, saya pikir Mojiken Studio perlu editor naskah lebih ketat lagi. Tidak terlalu mengganggu pengalaman keseluruhan sebetulnya, tapi naskah versi Indonesianya mengandung kesalahan ketik yang jumlahnya cukup terasa, juga kurang konsisten dalam tata penulisan ejaan dan tanda baca. Mengingat She and the Light Bearer sebagian besarnya adalah cerita, alangkah sempurna apabila standar penulisan mendapat perhatian sama besarnya dengan unsur audio visual.
Melankolia
Mampirlah ke halaman Steam game ini, niscaya Anda melihat tulisan bahwa She and the Light Bearer dipersembahkan oleh Mojiken Studio, Toge Productions, dan Pathetic Experience. Nama yang disebut terakhir adalah grup musik akustik asal Surabaya, terdiri atas dua gitaris yaitu Dhimas Zoso dan Bagussatya. Tidak umum bukan, penyebutan nama grup musik sebagai salah satu kreator utama dalam deskripsi sebuah game? Akan tetapi setelah Anda memainkan She and the Light Bearer, pencantuman itu sangat dapat dimengerti, musik mereka merupakan salah satu faktor sentral dalam game ini.
Tanpa mengecilkan peran kru lainnya seperti produser, pemrogram, atau pemasar, hasil jadi She and the Light Bearer adalah suguhan lengkap yang memanjakan indera-indera kita lewat kata-kata, gambar, dan suara sekaligus secara kontinu. Lantunan dawai kental akan melodi tanah air, disandingkan beberapa instrumen lain yang sebagian modern tapi sebagiannya lagi masih tradisional, membuat telinga terasa teduh. Saya tak ingat sudah berapa kali saya tertidur ketika memainkannya! Bukan sebab bosan, tapi tak kuat menahan buaian nada bak ninabobo nan begitu damai.
Yang teramat menarik, semakin cerita mendekati titik puncak kontribusi segi suara terhadapnya justru semakin besar. Termasuk integrasinya ke dalam aspek interaktif permainan yang buat saya tidak tertebak, bahkan hingga layar kredit selesai bergulir. Dan penggambaran adegan di detik-detik klimaks dirancang begitu apik sehingga membuat kita merasa sedang terlibat dalam sesuatu yang besar. Mengingatkan bahwa di dunia ini ada hal-hal lain di luar diri kita, hal-hal yang lebih besar, atau bisa jadi lebih penting, daripada egoisme individu-individu.
Saya tidak tahu She and the Light Bearer ini metafora tentang apa, juga tidak mau berkontemplasi tentang apa pesan moral yang ingin si penciptanya sampaikan. Hal-hal seperti itu mungkin lebih baik kita biarkan menjadi ide yang bebas berkembang dalam kepala masing-masing. Saya hanya tahu bahwa kisah si Kunang-Kunang Pembawa Cahaya, Tuan Jamur Yang Maha Agung, Kembang Kelam, Jenderal Kentang, serta penghuni-penghuni hutan lainnya, adalah kisah yang layak diingat dan disampaikan kepada sebanyak-banyaknya insan. Seperti Nenek Putih yang mendongengkan cerita ini pada anak-anak kecil di awal cerita, kini saya pun menjadi pengantar pesan yang merekomendasikan game ini kepada Anda.
Melewati kaki langit
Perjalanan si Kunang-Kunang mengemban misi mulia telah selesai. Cerita She and the Light Bearer sudah berakhir. Selanjutnya apa? Apa yang akan dibuat oleh Mojiken Studio berikutnya, dan akan ke arah mana perkembangan industri game Indonesia di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan demikian adalah hal yang muncul di kepala saya selepas selesai bermain.
Seiring nama-nama para kreator muncul bergantian di layar, saya tidak bisa tidak berpikir bahwa orang-orang ini akan menjadi tokoh industri game lokal yang penting di masa depan. Saya membayangkan bahwa suatu hari nanti para gamer Indonesia akan merasakan hype bersama-sama ketika mendengar adanya game baru yang di dalamnya tercantum nama Brigitta Rena, Elwin Lysander, Masdito Bachtiar, dan kawan-kawan. Sama seperti kita bersemangat menyambut sebuah judul baru hanya gara-gara di sampulnya ada tulisan “A Hideo Kojima Game”. Malah kalau bisa, tidak hanya gamer Indonesia tapi juga di seluruh dunia.
Tidak banyak studio game bervisi seperti Mojiken Studio, yang ingin mendorong medium interaktif ini ke cakrawala baru sebagai sarana penyampaian cerita. Dan hal itu sepenuhnya wajar, sebab menciptakan sesuatu yang baru jelas punya risiko lebih tinggi daripada mengikuti selera pasar arus utama. Tapi justru studio seperti inilah yang membuat industri game menjadi menarik.
Saya tak sabar menunggu karya besar keluaran Mojiken Studio berikutnya. Hingga saat itu tiba, saya akan coba mengajak orang-orang—termasuk Anda—untuk mencicipi She and the Light Bearer terlebih dahulu. Pengalaman di dalamnya tidak cukup sekadar diceritakan lewat ulasan, harus dirasakan sendiri. Bila tulisan ini berhasil membuat Anda mencobanya, akan saya hitung sebagai satu catatan kesuksesan kecil dalam hidup.
Selamat bertualang, Pembawa Cahaya. Titip salam untuk Ibu.
Sparks:
- Desain visual bergaya etnik dengan tampilan menyerupai pop-up book, benar-benar serasa membuka lembaran-lembaran buku cerita
- Cerita singkat bermakna, sering kali humoris namun juga berhasil membuat kita merenung
- Musik nuansa folk yang kental akan melodi nusantara, teduh di telinga dan dramatis pada waktunya
- Karakterisasi para penghuni hutan mengesankan, mereka bukan hanya tokoh tapi juga terasa seperti teman
- Adegan ending yang indah luar biasa
Slack:
- Standar penulisan naskah versi bahasa Indonesia kurang konsisten