Jika berbicara soal Razer Blackwidow, saya jadi teringat beberapa tahun silam saat saya mereview Blackwidow generasi pertama, Razer Blackwidow Ultimate. Razer Blackwidow Ultimate, yang dirilis tahun 2010, adalah keyboard mekanikal pertama dari Razer. Keyboard tersebut juga jadi keyboard mekanikal pertama yang saya review. Kala itu, saya sungguh terkagum-kagum dibuatnya.
11 tahun berselang, dengan begitu banyak varian mekanikal keyboard yang ada di pasaran saat ini, sayangnya Blackwidow V3 tak mampu membuat saya berdecak kagum seperti dulu kala.
Tanpa banyak basa-basi, mari kita langsung masuk ke review Razer Blackwidow V3 kali ini. Satu hal yang penting dicatat, Blackwidow V3 yang saya beli adalah yang versi kabel alias wired. Jadi review kita kali ini adalah spesifik untuk Blackwidow V3 wired — bukan wireless.
Bodi dan Fisik
Saya membeli Razer Blackwidow V3 wired ini di harga Rp2,3 juta. Untuk harga yang cukup tinggi itu, jujur saja, kualitas bodinya kurang memuaskan. Berhubung saya memang langsung berganti ke keyboard ini dari SteelSeries Apex 7, saya merasa ada banyak kekurangan yang tak mampu ditawarkan oleh produk Razer yang satu ini.
Pertama, bodi utamanya, Razer Blackwidow V3 terasa lebih kopong ketimbang Apex 7. Sedangkan Apex 7 menggunakan bodi yang terasa lebih solid dan berat.
Selain itu, stabilizer yang digunakan oleh Razer (untuk tuts yang panjang-panjang seperti spasi, enter, shift, dkk.) sungguh menyedihkan. Selain membuat keycap-nya goyang-goyang, dudukan keycap stabilizer-nya tercabut saat saya mengganti keycap-nya. Demikian juga dengan keycaps yang digunakan. Keycaps yang digunakan SteelSeries Apex 7, meski sama-sama ABS, terasa lebih solid ketimbang yang ditawarkan oleh Blackwidow V3. Sebenarnya kualitas bodi dan fisik yang ditawarkan oleh Blackwidow V3 ini tidak bisa dibilang buruk juga. Hanya saja, jika disandingkan dengan Apex 7, Blackwidow V3 jadi sedikit mengecewakan — mengingat saya dulu beli Apex 7 di harga Rp2,7 juta (sekitar Rp400 ribuan lebih mahal). Belum lagi, jika Blackwidow V3 ini dibandingkan dengan Dareu EK840 yang punya build quality super istimewa meski dibanderol dengan harga Rp1,2 jutaan.
Dari 4 keyboard yang saya miliki saat ini, SteelSeries Apex 7, Blackwidow V3, Dareu EK840, dan Tecware Phantom Elite, sayangnya, Blackwidow V3 memiliki kualitas bodi di peringkat bontot. Hal ini sungguh patut disayangkan. Pasalnya, saat ini saya juga memiliki 2 mouse Razer, yaitu Basilisk V2 dan Naga Pro. Kedua mouse tersebut memiliki bodi dan build quality terbaik dari 6 mouse yang saya miliki (Razer Basilisk V2, Logitech G703, SteelSeries Rival 500, ROG Strix Claw, Razer Naga Pro, Dareu EM 901). Oh iya, satu lagi. Blackwidow V3 juga dilengkapi dengan wrist rest dalam paket penjualannya. Sayangnya, seperti build quality bagian lainnya, wrist rest-nya pun juga menggunakan bahan plastik yang kurang solid dan kurang nyaman di pergelangan tangan karena tanpa lapisan apapun. Jika dibandingkan dengan wrist rest yang disertakan di Razer Ornata, wrist rest-nya jauh lebih nyaman digunakan karena menggunakan busa dan ditutupi kulit sintetis. Sayangnya, wrist rest semacam itu memang pasti akan berkurang kenyamanannya seiring waktu — entah kulit sintetisnya yang mengelupas ataupun busanya yang kempes. Wrist rest plastik Blackwidow mungkin memang harusnya lebih awet tapi jadi kalah nyaman.
Menurut saya, wrist rest yang disertakan oleh SteelSeries Apex 7 adalah yang ideal digunakan. Wrist restnya menggunakan bahan keras namun dilapisi karet sehingga masih terasa sangat nyaman di genggaman tangan. Saat ini, saya juga memiliki 3 wrist rest, dari Apex 7, Blackwidow V3, dan wrist rest besutan Tecware yang dijual terpisah. Dari ketiga wrist rest tadi, lagi-lagi, wrist rest bawaan Blackwidow V3 yang paling tidak enak digunakan. Semoga saja Razer menyadari hal ini dan menerapkan build quality yang sama antara keyboard dan mouse nya di waktu mendatang.
Kenyamanan dan Kecepatan Tombol
Karena bodi dan keycaps-nya, plus Blackwidow V3 menggunakan switch Razer Green, suara keyboard ini begitu nyaring — suara klik dan ‘tok’-nya. Meski menggunakan Blue switch, suara Apex 7 kalah nyaring dibanding Blackwidow V3.
Untuk suara switch-nya, Blackwidow V3 sebenarnya masih dalam batasan selera pribadi saya. Namun karena bahan bodi dan keycaps-nya, suara ‘tok’-nya terlalu kencang untuk saya. Karena itu, saya menambahkan O-ring agar suara ‘tok’-nya tadi hilang dan tak mengganggu. Saya bukan tipe pengguna yang anti dengan suara ‘tok’ tadi namun saya kurang suka jika terlalu kencang. Dari 4 keyboard yang saya miliki, Blackwidow V3 juga mengeluarkan suara (keycaps) yang paling keras.
Meski demikian, saya tahu persoalan suara ini sangat tergantung dengan selera Anda. Jadi, jika Anda seperti saya yang sedikit terganggu dengan suara keyboard mekanikal yang terlalu nyaring, Anda bisa menjauhi Blackwidow V3 atau menyediakan anggaran tambahan untuk membeli O-ring yang berkualitas (sekitar Rp100 ribuan). Sebaliknya, jika suara nyaring justru yang Anda cari, Blackwidow V3 bisa jadi kesayangan baru Anda.
Lalu bagaimana soal Green switch yang digunakan? Feel yang saya rasakan tidak berbeda jauh dengan Blue switch yang disuguhkan oleh SteelSeries Apex 7 ataupun Cherry MX Blue. Namun Blue switch dari Apex 7 terasa sedikit lebih smooth ketimbang Green switch dari Razer. Switch-nya sungguh nyaman digunakan buat para pengguna switch tactile dan clicky untuk bermain game ataupun mengetik.
Saat saya menggunakan Blackwidow V3, saya sedang bermain AC: Valhalla dan Watch Dogs: Legion. Dilema yang saya rasakan adalah, karena saya menggunakan O-rings, kadang tuts ‘W’-nya terlepas tanpa terasa — jadi saya tiba-tiba berhenti berjalan — karena resistensi yang lebih tinggi. Namun saat saya melepas O-rings tadi, saya tidak menemukan masalah apapun dengan Blackwidow V3 namun saya jadi kembali berhadapan dengan masalah suara yang terlalu nyaring.
Jika berbicara soal kenyamanan, saya sedikit dilema menilai Blackwidow V3. Razer Green switch yang digunakan sebenarnya sudah sangat nyaman untuk saya — berhubung saya memang suka MX Cherry Blue dan MX Cherry Red. Ia menawarkan feel yang pas untuk selera saya. Resistensinya cukup mantap namun tidak terlalu berat sehingga tidak melelahkan untuk jari jemari saya. Sayangnya, bodi dan keycaps yang digunakan membuat suaranya terlalu berisik dan menggunakan O-rings membuat resistensinya terlalu tinggi untuk bermain game.
Jika hanya menilai switch-nya, Razer switch juga diklaim mampu bertahan sampai dengan 80 juta pencetan — sedangkan Blue switch dari SteelSeries hanya mampu bertahan pada 50 juta pencetan. Bahkan, seperti review Apex 7 yang sudah saya update beberapa waktu lalu, salah satu switch di keyboard yang saya gunakan itu sudah stuck meski belum sampai satu tahun digunakan. Semoga saja switch dari Razer ini bisa bertahan lebih lama. Saya akan mengupdate artikel ini jika saya menemukan masalah dengan switch-nya.
Fitur Razer Blackwidow V3
Akhirnya kita sampai ke bagian akhir dari review Razer Blackwidow V3 kali ini. Jika berbicara soal fitur tambahan, keyboard full-sized ini menawarkan satu tombol dan satu dial di bagian atas numpad.
Asiknya, berkat Razer Synapse, Anda bisa menggunakan dial tersebut (default-nya untuk kontrol volume) jadi fungsi lainnya seperti tombol lain atau malah fungsi makro. Saya menemukan beberapa review dari luar yang tidak suka dengan Razer Synapse namun saya pribadi merasa Razer Synapse adalah yang paling lengkap fiturnya dari semua software lain yang pernah saya coba (SteelSeries Engine, Corsair iCue, ataupun Logitech G Hub).
Razer Synapse memungkinkan saya membuat kombinasi tombol bahkan tanpa harus membuat entri makro baru (asalkan kombinasinya dengan modifier: Shift, CTRL, atau ALT) ataupun fungsi Turbo juga tanpa membuat entri makro baru. Bagi saya, hal tersebut adalah sebuah anugrah karena saya sebelumnya sampai punya 50an entri makro — yang tentunya sangat merepotkan saat harus mengecek lagi entri makro apa saja yang sudah saya simpan.
Razer Synapse juga memungkinkan Anda menyimpan segala macam settingan (termasuk koleksi entri makro tadi) di cloud. Jadi, jika Anda pindah PC ataupun install ulang sistem operasi baru, Anda tak perlu repot-repot lagi (apalagi seperti saya yang punya kebanyakan makro).
Sayangnya, saya sendiri juga merasa fitur online ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi fungsinya sangat berguna bagi saya. Namun di sisi lain, ia akan sedikit merepotkan jika koneksi rumah Anda putus nyambung — berhubung kita ada di Indonesia yang didominasi oleh internet rumah yang-tak-perlu-saya-sebutkan-namanya. Jika koneksi di PC Anda menggunakan provider yang itu, Razer Synapse bisa jadi sangat merepotkan.
Jika Anda punya produk Razer yang sudah mendukung Razer Synapse 3.0, saran saya, cobalah bermain-main dengan software tersebut. Anda akan menemukan banyak fungsi di sana yang akan membuat hidup Anda semakin mudah.
Kesimpulan
Akhirnya, meski dibanderol dengan harga yang premium, sayangnya saya kurang merasakan hal tersebut di banyak aspek build quality Blackwidow V3. Menurut saya, hal tersebut sangat disayangkan karena saya sangat menyukai Green switch besutan Razer dan saya sungguh sudah begitu nyaman menggunakan Razer Synapse 3.0. Namun karena bodinya berasa kopong, suara keyboardnya rasanya jadi bisa membangunkan seisi kelurahan. Apalagi jika kita berbicara soal stabilizer dan wrist rest-nya yang sangat menyedihkan.
Semoga saja Blackwidow V4 nanti bisa membuat saya kembali lagi terkagum-kagum seperti dulu kala — seperti saat saya menggunakan Razer Naga Pro, yang akan saya review berikutnya.