Action RPG dan subgenre dungeon crawler-nya telah banyak mengalami perubahan semenjak Diablo memopulerkannya di tahun 1997. Namun satu hal yang tidak berubah adalah formulanya: basmi musuh, kumpulkan loot, tumpas musuh yang lebih kuat lagi untuk mendapatkan loot yang lebih bagus lagi — begitu terus sampai akhirnya Anda bosan bermain.
Untuk mengobati kebosanan pemain, developer biasanya akan menghadirkan konten baru. Pendekatan ini memang tidak hanya terbatas untuk genre action RPG saja, akan tetapi untuk game yang memang mengandalkan siklus “bunuh musuh dan kumpulkan loot” itu tadi, variasi konten tentu akan menjadi elemen yang amat krusial.
Sejak awal pengerjaannya, Diablo 4 sudah diproyeksikan oleh Blizzard untuk menjadi sebuah live service game. Hal itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan kalau kita melihat sepak terjang pendahulunya. Ya, Diablo 3 sebenarnya sudah menerapkan pendekatan yang sama terkait pembaruan konten, hanya saja istilah live service kala itu masih belum begitu dikenal seperti sekarang.
Biasanya, untuk menilai suatu live service game, kita juga perlu melihat penawarannya secara menyeluruh, termasuk roadmap konten yang akan dirilis ke depannya, jika memang ada. Namun dalam kasus Diablo 4, game ini sudah mampu memberikan impresi yang positif tanpa harus memberi pemain iming-iming pembaruan konten secara rutin.
Diablo 4, dalam kondisinya sekarang, sudah merupakan game yang sangat layak untuk direkomendasikan kepada siapa pun yang menyukai genre action RPG dan dungeon crawler. Konten yang terdapat dalam base game Diablo 4 benar-benar masif, sampai-sampai saya butuh waktu ekstra untuk bisa menuliskan review-nya secara lengkap.
Secara teknis, Diablo 4 memang tidak membawa inovasi atau terobosan baru yang sangat luar biasa yang akan menetapkan standar baru di genre action RPG dalam beberapa tahun ke depan. Namun yang lebih penting adalah, apa yang disajikan sudah bisa membuat pemainnya terus ketagihan bermain.
Begitulah kesimpulan yang saya dapatkan setelah memainkannya selama dua minggu terakhir. Diablo 4 sudah berhasil memberikan kesan pertama yang apik bagi saya, dan semakin saya menghabiskan waktu bermain, kesan apik itu pun juga terus menguat.
Overpowering starts early
Ada satu prinsip yang selalu saya pegang teguh ketika menyentuh game action RPG, khususnya yang masuk kategori dungeon crawler seperti ini: saya ingin selalu bisa mendominasi musuh saya. Berapa banyak pun musuh yang muncul di layar, karakter saya harus sanggup menumpas semuanya dalam beberapa kali tebas saja. Kalau suatu dungeon crawler bisa mewujudkan pengalaman tersebut, besar kemungkinan saya akan betah memainkannya.
Diablo 4 adalah salah satunya — begitu pula Diablo 3, Diablo 2, dan Diablo orisinal sekali pun. Blizzard memang tidak pernah gagal menghadirkan sensasi membasmi banyak musuh sekaligus yang luar biasa memuaskan, dan di Diablo 4, sensasinya seperti diamplifikasi lebih jauh lagi.
Bahkan dari awal bermain, pengalaman mendominasi musuh ini sudah bisa saya dapatkan dengan mudah. Ini bukan berarti Diablo 4 punya tingkat kesulitan atau difficulty yang terlalu gampang. Sebagai informasi, Diablo 4 menerapkan sistem “World Tier” sebagai pengganti mekanik difficulty tradisional. Semakin tinggi World Tier-nya, semakin menantang permainannya.
Saat pertama bermain, Anda akan diberi kesempatan untuk memilih World Tier 1 atau 2 — World Tier 3 dan 4 baru bisa dibuka setelah mencapai titik progres tertentu. Berhubung saya sudah sangat familier dengan genre action RPG dan dungeon crawler, saya pun langsung memilih World Tier 2. Sesuai ekspektasi, musuh-musuh yang saya hadapi memang relatif cukup ganas, namun tidak sampai membuat saya kewalahan.
Sebaliknya, karakter Barbarian saya sudah mulai bisa meladeni keroyokan musuh dengan lebih mudah sejak menginjak level 4. Di titik ini, karakter dalam Diablo 4 mulai bisa mengambil yang namanya Core Skill. Untuk class Barbarian, kebetulan keempat Core Skill yang tersedia semuanya merupakan area-of-effect (AoE) skill, sehingga skill apa pun yang Anda pilih, sudah pasti akan efektif untuk membinasakan musuh dalam jumlah banyak sekaligus.
Semuanya dibuat jadi lebih mengasyikkan lagi berkat adanya destructible environment. Mayoritas objek di Diablo 4 — kecuali yang ada di sekitar area aman dengan titik fast travel — bisa hancur terkena pukulan, tembakan, maupun sihir sang karakter.
Efek ini sepintas kedengarannya memang sepele, akan tetapi saya merasa impact dari tiap serangan yang saya lancarkan jadi terasa semakin mantap setiap kali saya melihat ada gentong, vas, meja, lemari, dan lain sebagainya, yang hancur berkeping-keping bersamaan dengan potongan-potongan tubuh musuh yang berhamburan.
Eksperimen build karakter terasa seru… pada awalnya
Diablo 4 menawarkan lima class yang berbeda: Barbarian, Rogue, Sorcerer, Druid, Necromancer. Masing-masing tentu memiliki playstyle yang berbeda, dan masing-masing juga dapat dibuatkan build karakter yang lebih spesifik lagi. Contoh, untuk class Barbarian, saya melihat setidaknya ada empat variasi build yang berbeda, yang masing-masing bertumpu pada Core Skill yang berbeda.
Setiap build pastinya memiliki plus-minusnya sendiri-sendiri. Saat awal bermain, karena begitu ketagihannya saya menumpas banyak musuh sekaligus, saya pun banyak mengalokasikan poin ke skill-skill yang sifatnya area. Namun konsekuensinya, damage yang saya hasilkan ke musuh single target jadi tidak maksimal.
Saya baru menyadari hal itu ketika berhadapan dengan boss pada dungeon yang pertama saya kunjungi. Berkali-kali saya mencoba, saya selalu gagal mengalahkannya. Namun sebelum menyerah dan keluar dari tempat itu, saya memutuskan untuk meracik ulang build karakter saya dengan lebih berfokus pada damage ke musuh single target. Dan benar saja, misi pun langsung selesai tidak lama kemudian.
Sistem skill tree yang Blizzard rancang menurut saya cukup berhasil mendorong pemain untuk bereksperimen. Skill point yang sudah terlanjur dialokasikan bisa ditarik kembali (respec) tanpa harus mengeluarkan biaya, tapi ini hanya berlaku sampai level 15. Lewat dari itu, biaya yang dibutuhkan pun sebenarnya juga relatif kecil. Hal ini tentu akan memudahkan pemain yang ingin menyesuaikan build karakternya ketika berhasil memperoleh senjata atau equipment baru dengan buff pada skill-skill tertentu.
Sejauh pengalaman saya, sinergi skill dan equipment ini adalah kunci dari meracik build karakter yang efektif di Diablo 4 (atau pada dasarnya di hampir semua action RPG). Untuk mengilustrasikannya, saya akan menjelaskan sedikit tentang keistimewaan build karakter Barbarian yang saya gunakan.
Class Barbarian di Diablo 4 akan mendapatkan bonus spesialisasi ketika sering menggunakan jenis senjata tertentu. Contohnya, karena saya sering memakai jenis senjata two-handed sword, saya pun mendapatkan bonus spesialisasi berupa efek pasif bleeding pada tiap serangan yang saya lancarkan. Semakin sering senjatanya dipakai, bonus spesialisasinya akan semakin signifikan.
Yang menarik, saat meninjau skill tree Barbarian, saya menemukan skill pasif bernama Hamstring, yang berfungsi untuk memberikan efek slow pada musuh yang terkena bleeding. Berhubung setiap serangan saya menghasilkan efek bleeding, maka itu berarti musuh juga akan selalu terkena efek slow secara otomatis dengan mengambil skill Hamstring.
Belum berhenti sampai di situ saja, saya juga bisa menghasilkan damage yang lebih besar terhadap musuh yang terkena efek bleeding maupun slow. Caranya dengan memilih equipment yang memiliki bonus stat “Damage to Bleeding Enemies”, “Damage to Slowed Enemies”, maupun “Damage to Crowd Controlled Enemies”.
Apakah sudah cukup? Tentu tidak, sebab saya juga punya equipment Legendary dengan efek unik berupa chance 30% untuk memberikan efek stun ke musuh yang terkena bleeding. Tambahkan lagi equipment lain dengan bonus stat “Damage to Stunned Enemies”, maka Barbarian saya pun jadi semakin mendominasi.
Dalam konteks eksperimen build ini, yang justru menjadi penghambat menurut saya adalah sistem loot yang Diablo 4 tawarkan. Seperti pendahulu-pendahulunya, berburu loot adalah salah satu daya tarik utama di Diablo 4. Sayangnya, di sini motivasi saya untuk berburu loot jadi sedikit berkurang. Penyebabnya adalah adanya sistem yang bernama “Codex of Power” di Diablo 4.
Codex of Power adalah koleksi Legendary Aspect, alias hadiah yang didapat setelah menyelesaikan dungeon. Legendary Aspect sendiri merupakan efek unik yang bisa disematkan secara manual ke equipment di kelas Rare atau Legendary. Problemnya, tidak ada batasan berapa kali Legendary Aspect ini dapat digunakan, sebab sekali kita mendapatkannya sebagai dungeon reward, maka Legendary Aspect tersebut akan tersimpan di Codex of Power secara permanen.
Sebagai contoh, saya punya Legendary Aspect yang memperbesar cakupan area skill utama yang saya gunakan. Karena sudah tersimpan di Codex of Power, Legendary Aspect yang satu ini dapat saya sematkan ke senjata apa pun yang saya temukan.
Alhasil, sistem ini pun jadinya saya eksploitasi: ketimbang mencari senjata Legendary dengan efek unik lain, setiap kali saya menemukan senjata dengan damage terbesar, saya langsung sematkan saja Legendary Aspect yang saya temukan tadi. Dengan kata lain, saya pada dasarnya terus menggunakan senjata yang sama berulang kali. Kalau sudah begitu, saya pun jadi tidak punya alasan kuat untuk bereksperimen dengan build karakter yang lain.
Kendati demikian, bisa jadi saya merasa seperti ini karena saya belum menemukan banyak Legendary Aspect lain — yang sebenarnya juga bisa didapatkan dengan cara ‘mengekstrak’ suatu equipment Legendary. Satu hal yang pasti, tidak semua Legendary Aspect bisa didapatkan dari dungeon dan disimpan ke Codex of Power. Ada pula Legendary Aspect langka yang cuma bisa diperoleh dengan cara tradisional, yakni dengan membasmi musuh berulang kali dan menanti sentuhan Dewi Fortuna.
Campaign yang berisi sekaligus berkesan
Kalau boleh jujur, waktu bermain saya selama membuat review Diablo 4 ini sangat minimal sekali. Saya hanya sempat menghabiskan sekitar 40 jam, dan dalam kurun waktu tersebut, saya baru berhasil menamatkan campaign Diablo 4 dengan sesekali menjalankan side quest, plus mencicipi sebagian kecil dari konten endgame-nya.
Campaign atau main quest Diablo 4 dibagi menjadi 6 bab. Panjang setiap bab berbeda-beda, dengan bab 3 dan 5 jadi yang paling panjang menurut saya. Kalau bukan karena dikejar-kejar deadline review, mungkin sampai sekarang saya masih belum sempat menamatkan campaign-nya karena terdistraksi oleh side quest dan dungeon yang tersebar di seluruh Sanctuary (nama dunia dalam Diablo 4).
Secara keseluruhan, saya mendapati jalan cerita Diablo 4 cukup menarik — setidaknya jauh lebih menarik ketimbang tiga game sebelumnya, terutama dari sisi penyampaiannya yang terasa amat koheren. Anda pun tidak perlu memainkan game-game sebelumnya untuk bisa mengikuti plot cerita Diablo 4, apalagi mengingat beberapa peristiwa yang terjadi di game-game sebelumnya sempat disinggung kembali di sini.
Saya tahu bahwa jalan cerita merupakan hal kesekian yang dicari dari jenis game macam ini. Pun begitu, cerita yang bagus menurut saya selalu menjadi nilai plus tersendiri, dan Diablo 4 pun cukup berhasil soal itu. Penulisan dialog beserta voice acting-nya patut menuai pujian, dan sedikit guyonan yang diselipkan pun terdengar lucu dan tidak pernah terasa tidak pada tempatnya.
Menjelang momen-momen akhir campaign, Anda akan disuguhi cutscene CGI yang luar biasa, yang tentunya sudah menjadi ciri khas Blizzard sejak lama. Karena campaign-nya berisi, jadi ada kepuasan yang cukup mendalam ketika berhasil menyelesaikannya. Namun ini sama sekali bukan alasan untuk berhenti bermain, sebab ada banyak konten ekstra yang baru bisa dinikmati sesudahnya.
Pada kenyataannya, Blizzard merancang campaign di Diablo 4 sebagai sesuatu yang hanya perlu pemain rasakan satu kali saja. Plot ceritanya cuma mempunyai satu ending saja, dan ketika Anda membuat karakter baru seusai menamatkan campaign-nya, Anda bakal diberi opsi untuk skip campaign dan langsung menikmati semua konten open-world yang ada, termasuk sebagian dari konten endgame-nya.
Endgame, eksplorasi dan presentasi
Seri game Diablo selalu dirancang dengan mengedepankan prinsip replayability, dan itu sering kali dicapai lewat sejumlah konten endgame yang tersedia. Usai menamatkan campaign-nya, ada tiga aktivitas baru yang menanti partisipasi Anda: Whispers of the Dead, Helltide Events, dan Nightmare Dungeons.
Ketiga aktivitas endgame itu cukup seru. Saya pribadi paling suka dengan Helltide Events, yang baru bisa dibuka saat menaikkan difficulty-nya ke World Tier 3. Namun jujur saya belum bisa berbicara banyak karena saya baru sempat mencoba ketiganya selama beberapa saat saja. Lagipula, agenda saya di Diablo 4 masih banyak, mulai dari mencoba class lain, merampungkan sederet side quest yang belum tersentuh, sampai beradu otot dengan pemain lain alias PvP, yang dapat diakses melalui sebuah area tersendiri yang bernama Fields of Hatred.
Bahkan map-nya pun masih belum selesai saya eksplorasi semua. Sejauh ini, saya mungkin baru membuka sekitar dua pertiga dari keseluruhan map Diablo 4. Ya, dunianya memang seluas itu, dan saya pun cukup terdorong untuk terus mengeksplorasi berkat sistem “Renown” yang diterapkan, yang akan memberikan sejumlah bonus seperti skill point maupun peningkatan kapasitas potion untuk berbagai aktivitas open-world yang Anda jalankan.
Faktor lain yang mendorong saya untuk terus bermain adalah cara Blizzard mempresentasikan game-nya. Diablo 4 punya visual dan sound design yang top, terbaik di antara game-game sejenis. Detail visual yang tersaji dari satu tempat ke yang lain benar-benar mengesankan, saya pun sampai sedikit-sedikit selalu mencoba untuk zoom in agar bisa melihatnya dari lebih dekat.
Juga sangat membantu dalam konteks ini adalah desain tampilan antarmuka alias user interface (UI) Diablo 4 yang sangat rapi namun tetap informatif. Anda bahkan memiliki opsi untuk menempatkan elemen UI utamanya ke pojok kiri bawah kalau ingin mendapatkan screen real estate yang lebih luas lagi. Entah Anda menggunakan mouse + keyboard atau controller, Diablo 4 beserta UI-nya sangatlah mudah untuk dinavigasikan.
Satu elemen UI yang sempat membuat saya mengernyitkan dahi adalah map-nya. Diablo 4 tidak punya overlay map, yakni tampilan peta semi-transparan yang dapat dibuka kapan saja selagi pemain menavigasikan karakternya. Overlay map ibaratnya sudah menjadi standar wajib di subgenre dungeon crawler dengan perspektif isometrik, dan tiga game Diablo sebelumnya pun juga punya fitur ini.
Selama beberapa jam pertama memainkan Diablo 4, harus diakui awalnya saya cukup kangen dengan fitur overlay map ini. Namun lambat laun saya mulai sadar bahwa dengan tidak adanya overlay map, saya justru jadi lebih tertarik untuk mengeksplorasi setiap sudut map yang ada.
Mengingat dunia open-world Diablo 4 tidak mengandalkan procedural generation yang bersifat acak (kecuali di dalam dungeon), saya rasa keputusan Blizzard menghapuskan overlay map ini cukup masuk akal. Kalau memang butuh panduan dalam bernavigasi, Anda bisa membuka map dan menandai (pin) suatu objek atau lokasi. Selanjutnya, minimap akan menampilkan rute dalam bentuk garis merah menuju objek atau lokasi yang di-pin.
Presentasi tier atas ini kian disempurnakan oleh performa yang sangat optimal. Saya memainkan Diablo 4 di PC dengan spesifikasi yang mencakup prosesor AMD Ryzen 5 3500X, kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1660 Super, RAM 16 GB, dan SSD NVMe. Seperti yang bisa Anda lihat, PC saya bahkan tidak pantas dijadikan contoh untuk standar gaming PC kelas menengah di tahun 2023 — tahun yang sejauh ini dibanjiri game-game PC dengan performa yang buruk.
Namun yang mengejutkan, Diablo 4 ternyata bisa berjalan dengan sangat mulus di PC saya, bahkan dengan setting grafis yang mayoritas mentok kanan di resolusi 1080p. FPS counter saya tidak jarang menampilkan angka 100, bahkan lebih, dan hanya sesekali turun ke kisaran 60-80 fps di tempat-tempat yang ramai atau selagi cutscene. Stutter ada, tapi relatif jarang dan nyaris tidak mengganggu pengalaman bermain saya secara keseluruhan.
Problem dari segi teknis yang lebih sering saya jumpai justru berkaitan dengan koneksi. Beberapa kali karena ada gangguan di server Blizzard, namun lebih sering lagi akibat jaringan internet di rumah saya yang sering tidak stabil. Andai saja Diablo 4 punya mode offline, saya pasti bakal tambah jatuh cinta. Sayang kenyataannya tidak demikian.
Ya, walaupun saya lebih sering bermain Diablo 4 sendirian, PC saya masih harus selalu terhubung ke internet. Kalau Anda kerap mengalami gangguan koneksi internet, mungkin ini bisa jadi faktor penghambat terbesar dalam menikmati keseruan yang Diablo 4 tawarkan. Sebaliknya, kalau Anda punya koneksi internet yang sehat, mungkin bakal sangat sulit untuk berhenti bermain Diablo 4.
Live service dan potensi ke depan
Sebelum membahas soal potensi Diablo 4 ke depannya, saya harus tekankan satu hal ini: Diablo 4 punya kesan bang for the buck yang sangat kuat. Harganya memang mahal di angka $70 (± Rp1.050.000), tapi apa yang tersaji dalam base game-nya ini sudah cukup untuk menyita setidaknya ratusan jam waktu luang Anda.
Namun kenyataannya Diablo 4 merupakan sebuah live service game, dan itu berarti kontennya akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Sampai artikel ini ditulis saja, Blizzard sudah mulai buka suara tentang seasonal update pertama yang dijadwalkan hadir pada pertengahan sampai akhir Juli mendatang. Kalau Blizzard bisa menepati janjinya, seasonal update untuk Diablo 4 ini akan datang satu kali setiap tiga bulan.
Saya juga belum menyinggung soal expansion pack sama sekali, yang akan membawa banyak konten baru — termasuk jalan cerita baru — dan yang kemungkinan besar bakal dijual secara terpisah nantinya. Sejauh ini, Blizzard rupanya sudah mengerjakan dua expansion sekaligus untuk Diablo 4, dan ini merupakan indikasi kuat bahwa Diablo 4 bakal bisa dimainkan untuk jangka waktu yang sangat lama seperti pendahulunya.
Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, berhubung Diablo 4 mengadopsi beberapa elemen MMORPG, apakah Anda bisa mendapat pengalaman yang memuaskan meski terlambat memainkannya? Diablo 4 dirilis pada awal Juni kemarin, lalu apakah Anda bakal melewatkan sesuatu seandainya baru mulai memainkannya di bulan Juli atau bahkan Agustus nanti?
Saya bisa cukup yakin menjawab tidak, sebab saya sendiri pun bisa dibilang mulai agak terlambat dibanding mayoritas pemain lain. Diablo 4 juga tidak punya event-event yang memberikan bonus experience point atau tambahan drop rate suatu item tertentu selama beberapa hari seperti di kebanyakan MMORPG. Ini berarti progres karakter Anda benar-benar ditentukan oleh Anda sendiri, dan Anda tidak akan melewatkan apa-apa seandainya baru mulai bermain satu atau dua bulan dari sekarang.
Malahan, mulai agak terlambat justru berpeluang untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih optimal, sebab Blizzard akan terus melakukan balancing di berbagai aspek. Contoh sederhananya, saat ini saya melihat ada banyak pemain yang menghindari Nightmare Dungeons karena hadiah yang didapat — khususnya dari segi experience point — tidak sebanding dengan usaha yang dikerahkan. Problem ini kabarnya akan segera dibenahi saat update season pertama Diablo 4 dirilis bulan depan.
Masih soal progres, Blizzard juga sangat berhati-hati agar tidak mengulangi ‘dosanya’ di Diablo Immortal. Sederhananya, Anda tidak bisa mengeluarkan uang demi mempercepat progres karakter Anda di Diablo 4. Item shop yang ada di dalam game hanya menjual item kosmetik saja, begitu pula fitur Battle Pass yang direncanakan hadir nanti. Dengan kata lain, yang akan membedakan pemain ‘sultan’ dan ‘rakyat jelata’ di Diablo 4 hanyalah penampilan karakternya saja.
Kesimpulan
Diablo 4 adalah hasil ‘bermain aman’ Blizzard setelah lebih dari dua dekade mematangkan formula action RPG dungeon crawler. Seperti yang saya katakan di awal, Diablo 4 tidak menghadirkan sesuatu yang benar-benar baru dan inovatif di genrenya. Kalau itu yang Anda cari, game seperti Path of Exile atau bahkan Grim Dawn mungkin lebih bisa memberikan pengalaman bermain yang unik lewat sistem hybrid class-nya yang sangat menarik.
Yang Diablo 4 hadirkan adalah pengalaman bermain action RPG dungeon crawler yang sangat memuaskan dari awal hingga akhir, dan yang masih terus akan berlanjut hingga entah kapan. Namun satu prinsip yang selalu saya ingat dan pegang adalah, jangan membeli sesuatu karena tertarik dengan apa yang dijanjikan ke depannya, melainkan karena tertarik dengan semua yang sudah bisa dinikmati saat itu juga.
Dengan kata lain, jangan beli Diablo 4 sebagai sebuah live service game. Belilah Diablo 4 sebagai sebuah action RPG yang sangat matang yang akan langsung memberikan Anda keseruan yang melimpah mulai dari sekarang. Aspek live service-nya anggap saja sebagai bonus yang tidak terduga.
Entah Anda seorang veteran action RPG dungeon crawler atau Anda baru pertama mengenal genre ini, asalkan Anda suka dengan premis gameplay “bunuh musuh dan kumpulkan loot” serta tertarik mengutak-atik build karakter dengan variasi class yang beragam, Diablo 4 pasti akan membuat Anda ketagihan.