[Review] Bloodstained: Ritual of the Night - Memberi Lebih dari yang Dijanjikan

Besarnya beban ekspektasi tak menghalangi Koji Igarashi untuk menciptakan game yang hebat.

Sepanjang sejarah, tidak banyak game yang kemunculannya begitu fenomenal sampai-sampai namanya mendefinisikan sebuah genre. Istilah seperti “DOOM clone” misalnya, walau sempat populer, lama-lama bergeser digantikan oleh nama genre “first-person shooter”. Tapi ketika sebuah game punya karakteristik begitu unik dan sulit dideskripsikan dengan kata-kata generik, judul game itu sendiri akan menjadi nama untuk sebuah genre.

Seri Castlevania, terutama Castlevania: Symphony of the Night adalah salah satu contohnya. Meski bukan game 2D pertama yang menawarkan eksplorasi nonlinier, judul yang muncul di era PS1 itu berhasil menciptakan sebuah formula baru hasil perpaduan eksplorasi di seri Metroid dengan elemen RPG dan estetika gotik. Formula ini kemudian dikenal dengan istilah “Metroidvania”, dan menjadi nama genre yang hingga kini masih banyak digunakan.

Koji Igarashi, otak di balik Castlevania: Symphony of the Night, sempat menelurkan berbagai sekuel dengan formula serupa sepanjang kariernya di Konami. Judul-judul seperti Castlevania: Aria of Sorrow (GBA) dan Castlevania: Order of Ecclesia (NDS) adalah beberapa contoh Metroidvania yang sangat populer dan digemari banyak orang. Akan tetapi pada akhirnya Igarashi memilih untuk berpisah dari Konami, sebab perusahaan tersebut tak lagi mau menciptakan game dengan genre Metroidvania.

“Saya merasa genre 2D action eksploratif masih bisa berevolusi lebih jauh lagi. Karena itu saya mencoba mempresentasikan rencana baru saya kepada para penerbit di seluruh dunia. Tapi mereka berkata bahwa game seperti ini tidak akan sukses terjual. Saya tidak bisa menerima hal itu!” demikian pernyataan Igarashi " target="_blank">dalam videonya ketika ia meluncurkan proyek Bloodstained: Ritual of the Night di Kickstarter.

Dari awal sudah jelas terlihat bahwa latar belakang penciptaan Bloodstained ini adalah untuk membangkitkan kembali genre Metroidvania dan membuktikan bahwa masih ada pasar untuk genre tersebut. Lagi pula, tanpa Igarashi turun tangan pun, judul-judul Metroidvania baru masih terus bermunculan dari developer lain. Dust: An Elysian Tail, Hollow Knight, Dead Cells, hingga Ori and the Blind Forest hanya sebagian kecil contohnya.

Tapi perjalanan Igarashi menciptakan Bloodstained: Ritual of the Night pun tidak mulus. Berada di bawah bayang-bayang kegagalan Mighty No. 9 yang juga diluncurkan lewat Kickstarter, banyak penggemar ragu game ini bisa memuaskan mereka. Sebagian lainnya ragu formula milik Igarashi bisa mengikuti perkembangan zaman, apalagi sudah banyak judul Metroidvania lain yang dipandang lebih inovatif dari seri Castlevania.

Ditambah kontroversi-kontroversi lain seperti kualitas visualnya yang kurang meyakinkan, dibatalkannya versi Wii Uketerlibatan penerbit, dan masih banyak lagi, Bloodstained: Ritual of the Night betul-betul sebuah game yang memikul banyak beban ekspektasi. Sekarang game ini telah dirilis, dan tiba waktunya menjawab pertanyaan: Apakah Bloodstained berhasil memenuhi semua ekspektasi itu?

Tak perlu bermulut manis

Berbicara tentang Bloodstained, saya rasa akan lebih baik bila kita mulai dengan membahas hal yang jelek-jelek dulu. Karena jujur saja, kekurangan dalam game ini sangat gamblang terlihat. Saya tidak bilang bahwa itu adalah kekurangan yang besar, atau kekurangan yang fatal sehingga membuat game ini tak layak dimainkan. Tapi satu hal yang pasti, kekurangan itu adalah hal pertama yang akan ditemui oleh orang yang memainkannya.

Kualitas visual dalam Bloodstained tidak berada dalam level sebuah game AAA. Ini adalah hal yang harus kita akui. Memang Bloodstained versi final sudah mendapatkan banyak perbaikan visual dibandingkan dengan di video-video trailer awal atau versi demonya, akan tetapi tetap saja kualitas visualnya masih kurang sempurna.

Dari segi artistik, sebetulnya game ini sudah sangat ciamik. Nuansa gotik dengan inspirasi desain Inggris era Victorian sangat kental terasa, dan setiap tokoh memiliki penampilan unik yang membuat mereka mudah diingat. Sentuhan fantasi yang disematkan juga terasa cocok sekali dengan tema Bloodstained yang banyak berhubungan dengan ilmu hitam dan dunia iblis. Bila Anda penggemar Castlevania, desain visual dalam game ini akan terasa sangat akrab di mata.

Kristal atau “Shard” adalah salah satu tema sentral dalam Bloodstained. Di sini dikisahkan bahwa manusia dengan bakat tertentu bisa memperoleh kekuatan sihir dengan menanamkan kristal-kristal ke dalam tubuhnya. Namun tentu saja, seperti banyak cerita yang berhubungan dengan alkimia, sebuah eksperimen berbahaya malah membuat dunia jatuh ke dalam bencana. Gerbang dunia iblis terbuka, dan Miriam sebagai seorang Shardbinder harus menghentikan mereka sebelum umat manusia porak poranda.

Corak kristal itu juga banyak dimunculkan dalam berbagai elemen visual Bloodstained: Ritual of the Night. Efek spesial ketika Miriam mengalahkan musuh lalu “menghisap” daya sihir mereka digambarkan dengan adegan kristal yang menghujam tubuh Miriam, sebuah penggambaran yang berada di perbatasan antara sadis dan keren. Tampilan ketika Miriam mengeluarkan berbagai macam sihir juga dihiasi dengan efek-efek spesial bertema kristal atau cahaya, membungkus unsur mistis keseluruhan game dalam satu tema yang konsisten.

Sayangnya, implementasi riilnya dalam bentuk model 3D tidak bisa memfasilitasi desain artistik Bloodstained dengan maksimal. Mungkin karena keterbatasan dana, model-model karakter di game ini tampak memiliki poligon yang kurang detail. Tekstur yang digunakan terkadang terlihat kurang rapi, dan ada beberapa objek yang sebetulnya akan sangat bagus bila dimunculkan sebagai poligon tapi malah jadi tekstur datar saja.

Bila ada orang yang berkata bahwa Bloodstained terlihat seperti game era PS2, itu tidak salah. Tapi saya rasa bisa dimaklumi karena memang Bloodstained dikembangkan dengan bujet terbatas. Lagi pula, bila sudah asyik bermain, lama-lama kekurangan visual itu jadi tidak begitu terasa.

Kekurangan yang lebih signifikan dibandingkan visual justru ada di performa teknis. Saya ingat pernah membaca sebuah artikel wawancara dengan studio developer asli Bloodstained, yaitu Inti Creates, yang menyatakan bahwa mereka sebetulnya kurang suka/kurang berpengalaman membuat game 3D. Hal ini terlihat dalam berbagai aspek Bloodstained yang membuat permainan jadi terasa kurang nyaman. Dalam prosesnya, pengembangan Bloodstained akhirnya berpindah dari Inti Creates ke beberapa studio lain, yaitu ArtPlay (studio milik Koji Igarashi), DICO, dan WayForward. Tapi hasil akhirnya tetap masih kurang terpoles dari segi teknisnya.

Sebagai contoh, cukup sering game ini mengalami stutter (layar berhenti sesaat), misalnya ketika Miriam membunuh musuh atau menghancurkan objek tertentu. Transisi layar menu terasa kurang mulus, dan waktu loading yang diperlukan untuk memulai game juga cukup lama (meski tidak sampai parah seperti Final Fantasy XV). Terkadang teks dialog juga memiliki bug, misalnya tampilan overflow yang aneh atau malah adanya teks yang hilang.

Saya juga sempat mengalami crash sehingga kehilangan progres permainan. Untuk game dengan kualitas visual “seperti PS2”, setidaknya saya berharap performanya bisa lebih mulus dari ini. Saya memainkan Bloodstained di versi PS4, dan kabar yang beredar, sepertinya versi Switch memiliki performa yang lebih buruk. Ini bisa jadi pertimbangan Anda sebelum membeli.

Suksesi dan evolusi

Bila Anda betah menghadapi kualitas visual dan performa teknis yang kurang maksimal, Anda akan menemukan bahwa Bloodstained: Ritual of the Night merupakan sebuah hiburan hebat yang lebih dari sekadar kebangkitan genre lama. Di satu sisi, game ini benar-benar memiliki “feel” mirip dengan judul-judul Castlevania yang telah saya sebutkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, Bloodstained menyimpan banyak sekali pengembangan baru yang menjadikannya layak disebut sebagai sekuel sejati ketimbang nostalgia saja.

Bila Anda mengikuti video-video Development Update yang dirilis oleh tim Bloodstained, mungkin Anda tahu bahwa Igarashi adalah director yang banyak mengambil keputusan berdasarkan feel dari sebuah game, dan paradigma pengembangan seperti itu sangat terasa dalam Bloodstained. Game ini merupakan sebuah game yang “feels great to play” sejak sentuhan pertama.

Pergerakan karakter Miriam sangat responsif, dan saya merasa selalu memiliki kendali penuh atas dirinya—aspek yang sangat krusial dalam sebuah game 2D action. Aksi-aksi dasar seperti melompat, backdash, sliding, serta melakukan serangan, semua terasa cepat dan terkontrol. Tidak pernah sekalipun saya merasa gerakan saya terbatas oleh lambatnya animasi game, dan hal ini terutama sangat penting ketika sedang bertarung melawan bos musuh.

Ketika baru mulai bermain, Anda mungkin akan merasa bahwa animasi serangan Miriam terlihat sangat sederhana. Tapi kesederhanaan itu justru membuat gerakan Miriam terasa efektif. Kita bisa melakukan serangan-serangan beruntun dengan cepat, apalagi bila dikombinasikan dengan teknik " target="_blank">backdash canceling. Menghindar tiba-tiba dari serangan musuh juga mudah dilakukan, baik itu dengan cara backdash ataupun lompatan biasa.

Seiring permainan berjalan, Miriam bisa melengkapi dirinya dengan berbagai jenis senjata berbeda, dan setiap senjata memiliki feel berbeda pula. Contohnya, Dagger memiliki jangkauan serang yang pendek namun sangat cepat dan dapat menimbulkan status effect tertentu. Great Sword lambat dan berat, akan tetapi kekuatan dan jangkauan serangnya sangat besar. Pistol bisa digunakan untuk menyerang dari jauh dan dapat diisi berbagai macam peluru, tapi jumlah peluru itu terbatas dan harus Anda peroleh dari toko atau lewat Crafting.

Masih ada banyak jenis senjata lainnya, seperti Rapier, Katana, Shoes, hingga Whip. Ditambah dengan beberapa senjata unik dengan animasi serangan khusus seperti Flying Sword atau Rhava Bural, Anda benar-benar bebas dalam memilih gaya bermain sesuai keinginan. Serunya lagi, sebagian besar tipe senjata juga memiliki serangan spesial atau Technique tertentu yang bisa Anda pelajari. Serangan-serangan spesial ini bukan hanya membuat Anda merasa keren, tapi juga sangat berguna untuk melawan musuh-musuh di perjalanan.

Variasi permainan Bloodstained dari senjata saja sudah demikian luas, dan kita sama sekali belum membahas aspek Shard di dalamnya. Seperti dalam Castlevania: Order of Ecclesia, Miriam dapat menyerap kekuatan musuh dalam bentuk Shard kemudian menggunakannya sesuka hati. Terdapat enam warna Shard yang bisa Anda gunakan: Red (Conjure), Blue (Manipulative), Purple (Directional), Yellow (Passive), Green (Familiar), dan White (Skill).

Red Shard adalah Shard yang digunakan untuk mengeluarkan sihir serangan, misalnya melempar bola api, menurunkan sambaran petir, atau memanggil pasukan kelelewar. Purple Shard memiliki kegunaan serupa, bedanya sihir ini bisa diarahkan dengan stik analog. Blue Shard adalah sihir manipulasi diri sendiri, seperti meningkatkan stat atau berubah wujud. Yellow Shard memberi beragam efek pasif tertentu, seperti memperkuat serangan atau memberi kekebalan elemen. Green Shard akan memunculkan makhluk gaib untuk membantu Miriam. Dan terakhir, White Shard adalah Shard dengan efek permanen spesial yang umumnya berperan penting dalam eksplorasi (contoh: Double Jump).

Shard yang bisa Anda temukan sepanjang game jumlahnya ada ratusan, dan setiap Shard bisa diperkuat lewat alkimia atau dengan cara mengumpulkan Shard lebih banyak. Grinding mengoleksi Shard ini merupakan kesenangan tersendiri, dan bila Anda mau menginvestasikan waktu untuk memperkuat Shard tertentu, imbalannya terasa setimpal. Kombinasi beberapa Shard juga dapat dieksploitasi bila Anda ingin menciptakan seorang Miriam yang "imba" di suatu aspek.

Elemen RPG dalam sebuah game bergenre Metroidvania biasanya tidak terlalu dalam, tapi tidak demikian dengan Bloodstained. Dengan segala fitur Crafting, Techniques, dan Shard yang ada, Anda bisa menghabiskan waktu sangat lama untuk bersenang-senang dan menciptakan karakter terkuat. Di game ini Anda juga bisa menjalankan berbagai sidequest dari penduduk desa, memasak, hingga bertani. Fitur-fitur tersebut, walau sederhana, cukup menambah panjang daftar hal menarik untuk dikerjakan.

Bila hanya melihat sekilas dari trailer atau mencoba bermain sebentar, Bloodstained: Ritual of the Night akan terasa seperti sebuah Castlevania klasik. Sepertinya biasa saja, tidak inovatif, tidak flashy. Tapi begitu Anda menggali lebih dalam, barulah segala macam fitur yang aneh-aneh terkuak. Semakin makin banyak fitur yang Anda buka, Anda akan semakin sadar bahwa Igarashi dan timnya merancang game ini supaya segala macam “aturan” di dalamnya dapat dilanggar. Hasilnya adalah sebuah game yang sangat menyenangkan!

Taman ria penuh kejutan

Salah satu “penyakit” yang membawa berdampak buruk dalam industri game modern ini adalah bahwa sering kali developer menjanjikan terlalu banyak pada penggemar, tapi janji-janji itu tidak terealisasi dalam produk akhirnya. Tim developer Bloodstained justru melakukan sebaliknya. Mereka tidak banyak gembar-gembor janji, tapi justru memberikan lebih banyak hal dari yang diharapkan orang-orang. Bloodstained: Ritual of the Night penuh dengan kejutan-kejutan yang sebetulnya tidak kita minta dan tak ada pun tak apa-apa, tapi kehadirannya membuat game ini semakin seru.

Saya rasa tidak ada yang berharap sebuah game Metroidvania memiliki fitur kustomisasi penampilan karakter, tapi Bloodstained memberikannya. Di sini kita bisa mengubah warna pakaian Miriam, model rambutnya, juga warna kulit dan matanya. Sejumlah Equipment juga akan mengubah tampilan visual Miriam, seperti scarf, topi, kacamata, topeng, tiara, helm, dan lain-lain. Akan tetapi Equipment ini akan mempengaruhi stat, jadi terkadang Anda harus memilih antara mengorbankan stat terbaik atau mengorbankan penampilan yang Anda inginkan.

Saya rasa tidak ada juga penggemar yang berharap Bloodstained akan dibintangi oleh voice actor ternama karena memang anggarannya terbatas. Tapi kemudian ternyata salah satu karakter penting di dalamnya, yaitu Zangetsu, memiliki suara yang diisi oleh David Hayter (Solid Snake). Pengisi suara Alucard dari Castlevania: Symphony of the Night juga hadir untuk memerankan karakter Orlok Dracule.

Aktor-aktor lainnya pun sudah berpengalaman dan berhasil menghadirkan performa yang menarik dalam adegan-adegan cerita. Menurut saya keterlibatan mereka menunjukkan bahwa Igarashi serius menggarap game ini, namun di sisi lain sebetulnya saya berharap mereka memberikan performa yang lebih “corny” dan “lebay” karena itu termasuk salah satu ciri khas seri Castlevania.

Berbicara tentang ciri khas Castlevania, Bloodstained juga menghadirkan referensi-referensi ke berbagai hal lain yang berkaitan dengan game tersebut. Mungkin Anda ingat bahwa Castlevania: Symphony of the Night memiliki dua ending, dan untuk membuka ending kedua (True Ending) Anda harus memainkan game nyaris dua kali lipat lebih lama. Bloodstained juga memiliki sistem ending yang sama. Tentu tidak saya bahas detailnya di sini karena akan jadi spoiler, tapi yang jelas bila indikator penyelesaian peta belum sampai 100% Anda jangan merasa bahwa permainan telah selesai.

Dengan harga banderol di angka US$39,99, saya memang berharap Bloodstained punya konten lebih banyak dari kebanyakan game indie di pasaran. Tapi ini terlalu banyak! Ditambah fitur New Game+, berbagai optional boss dan optional dungeon, hingga mode sampingan seperti Boss Rush, semuanya membuat saya geleng-geleng kepala. Bila Anda membaca-baca guide tentang fitur rahasia lainnya, mungkin Anda pun akan ikut geleng-geleng atau tertawa, karena banyak sekali hal yang sebetulnya tidak penting tapi menarik. Mungkin ini pertanda bahwa para developer Bloodstained tidak lupa bersenang-senang saat mengembangkan game ini.

Igarashi juga menjanjikan berbagai update gratis di masa depan, termasuk penambahan mode-mode baru seperti Roguelike Mode, local & online multiplayer, hingga kemunculan Zangetsu sebagai karakter playable kedua. Konten-konten itu memang belum bisa kita nikmati sekarang, akan tetapi bila Anda menyukai game ini, ada banyak alasan untuk memainkannya dalam waktu yang lama—baik sekarang ataupun nanti.

Kesimpulan: Penyempurnaan cita rasa asli

Apa yang diinginkan oleh seorang penggemar kopi? Tentunya, kopi yang lebih enak, lebih variatif, dan lebih banyak. Sama seperti makanan, penggemar sebuah game pun saya rasa menginginkan hal serupa. Penggemar Castlevania ingin lebih banyak Castlevania, dan bukan Castlevania versi 3D seperti proyek reboot Konami yang tidak ada mirip-miripnya dengan Castlevania klasik.

Kritikus di luar sana boleh saja berkata bahwa ada game Metroidvania lain yang lebih inovatif atau lebih heboh daripada Bloodstained. Tapi sebagus-bagusnya game lain, mereka tetap bukan Castlevania. Hollow Knight bukan Castlevania. Dead Cells bukan Castlevania. Ori and the Blind Forest, Guacamelee, dan Dust: An Elysian Tail juga bukan Castlevania. Bloodstained inilah Castlevania, dengan segala karakteristiknya yang baik, yang buruk, dan yang nyeleneh dalam satu paket. Bila Anda rindu dengan seri Castlevania, saya yakin game ini akan menjadi penghilang dahaga yang memuaskan.

Apakah Bloodstained merupakan game Metroidvania terbaik di pasaran? Belum tentu. Bagi saya, Bloodstained: Ritual of the Night adalah game keren yang berhasil memenuhi janjinya sambil memberikan lebih banyak dari yang diharapkan penggemar. Sebagai sebuah “spiritual sequel”, game ini berhasil mempertahankan segala hal yang membuat seri Castlevania dicintai banyak orang, dan membawanya ke level yang lebih tinggi. Dilihat dari segi tujuan penciptaannya, Bloodstained sudah sukses besar.

Tapi Bloodstained juga masih memiliki berbagai kekurangan yang membuatnya belum bisa disebut sempurna. Aspek visual yang masih bisa diperbaiki lagi, serta performa teknis yang terkadang mengganggu permainan, adalah beberapa hal yang harus jadi bahan evaluasi bila Igarashi ingin merilis Bloodstained 2 nantinya. Igarashi sendiri memang sudah menyatakan keinginan untuk menjadikan Bloodstained sebuah franchise.

Game yang bagus tetap akan menjadi game yang bagus, tak peduli kapan kita memainkannya. Seperti Igarashi, saya pun percaya bahwa genre 2D action seperti ini masih punya tempat di hati para gamer. Tinggal bagaimana developer mengembangkan dan menyempurnakannya supaya terasa sesuai dengan perkembangan zaman. Entah bagaimana nasib seri Castlevania di tangan Konami nantinya, tapi saya sudah tidak perlu ambil pusing lagi. Sekarang sudah ada Bloodstained.

Sparks:

  • Membangkitkan seluruh ciri khas Castlevania dengan sukses, baik dari segi desain, gameplay, hingga musik
  • Kontrol sangat responsif dan nyaman dimainkan
  • Konten yang padat, bisa makan waktu 20 jam atau 30 jam lebih tergantung dari seberapa banyak Anda ingin menyelesaikannya
  • Alur tingkat kesulitan sangat pas, baik dari segi kesulitan musuh maupun platforming
  • Segudang variasi senjata, jurus, dan sihir memberikan gaya bermain yang luas dan bebas
  • Banyaknya konten rahasia membuat eksplorasi terasa rewarding
  • Desain dungeon yang kreatif dan variatif, mulai dari istana gotik, padang pasir, bawah air, hingga era Jepang kuno
  • Desain bos-bos musuh yang menarik dan seru untuk dilawan

Slack:

  • Kualitas visual biasa-biasa saja
  • Performa teknis kurang baik, cukup banyak terjadi stutter