Laporan IGDX: Perketat Regulasi, Pemerintah Ingin Developer Game Lokal Jadi Lebih Kompetitif

Salah satu regulasi yang pemerintah perhatikan adalah pemungutan pajak.

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan pasar game paling besar. Sementara di dunia, Indonesia merupakan pasar game terbesar ke-16. Pada 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkap bahwa pemasukan industri game Indonesia mencapai Rp24,88 triliun atau sekitar 2,19% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Sayangnya, walau pasar game Indonesia besar, developer lokal hanya menguasai sekitar 0,4% dari pangsa pasar. Hal itu menunjukkan, pasar game Indonesia memang masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan game asing. Pemerintah Indonesia ingin mengubah hal ini.

Menyeimbangkan Posisi Developer Lokal dan Asing

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI), Cipto Adiguno, mengungkap bahwa pertumbuhan industri game Indonesia sebenarnya sangat besar, yaitu 50% per tahun. Hanya saja, walau industri game lokal Indonesia terus tumbuh 50% per tahun dalam 10 tahun ke depan, pangsa pasar yang dikuasai oleh developer lokal tetap tidak lebih dari 5%. Karena itu, bergandengan dengan berbagai kementerian dari pemerintah, AGI berusaha untuk mengakselerasi pertumbuhan industri game di Indonesia.

"Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan industri adalah menciptakan perusahaan yang besar," kata Cipto ketika ditemui di Indonesia Game Developer Conference (IGDX) yang digelar di Sheraton Kuta, Bali. "Menurut Pareto Principle, 20% perusahaan terbesar akan memberikan efek sebesar 80% pada industri. Di industri game, angkanya sebenarnya di bawah itu. Misalnya, di Kanada, 5% perusahaan terbesar mempekerjakan 80% dari seluruh tenaga kerja. Jadi, sejumlah kecil perusahaan -- tapi berukuran besar -- dapat memberikan efek besar ke industri. Hal ini yang ingin kami lakukan."

Cipto Adiguno, Presiden AGI. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Menurut Cipto, mendorong terciptanya perusahaan game lokal raksasa, hal lain yang bisa mendorong pertumbuhan industri game adalah regulasi yang lebih jelas. "Saat ini, game itu nggak ada peraturan. Kita punya rating system, tapi tidak wajib. Tidak ada penegakannya dan peraturannya tidak terlalu kuat," ujarnya. Dan ketidakjelasan tersebut bisa menciptakan masalah. Misalnya, anak kecil memainkan game yang penuh dengan kekerasan. Dengan adanya regulasi yang lebih jelas dan penegakan sistem rating yang lebih kuat, diharapkan stigma buruk akan game juga bisa memudar.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kementerian Kominfo, I Nyoman Adhiarna mengatakan bahwa salah satu usaha pemerintah untuk membantu developer lokal agar bisa bersaing dengan developer asing adalah menyamaratakan kedudukan keduanya dalam pasar, termasuk dalam hal pembayaran pajak.

"Selama ini, ketika kita bermain game dan membeli item di aplikasi, uang tersebut langsung masuk ke perusahaan game. Dan perusahaan tidak pernah bayar pajak ke kita," ujar Nyoman. "Sementara itu, para pembuat game di Indonesia, mereka punya badan hukum Indonesia, mereka harus bayar PPN, harus bayar PPh. Hal ini tidak adil. Karena itu, kita ingin agar tercipta level playing field. Jadi mungkin, nantinya, perusahaan game asing harus membayar sesuatu ke pemerintah, walau bentuknya mungkin bukan pajak."

Selain soal pajak, Nyoman mengungkap, hal lain yang ingin pemerintah lakukan adalah memastikan game-game buatan perusahaan asing yang diluncurkan di Tanah Air memang punya nilai yang sama dengan budaya Indonesia. Pada saat yang sama, dia berkata, pemerintah juga tidak ingin membuat peraturan yang terlalu ketat. Karena, dikhawatirkan, hal itu justru akan mematikan pertumbuhan industri game di Indonesia.

I Nyoman Adhiarna. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Ketika ditanya apakah rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada perusahaan game asing akan membantu developer Indonesia, Cipto menjawab iya. Dia lalu menjelaskan, selama ini, ketika gamers membeli item dalam game, maka mereka akan menanggung PPN sebesar 10%. "Kalau kita menjual barang digital sebesar Rp100 ribu, sebenarnya, pembeli harus membayar Rp110 ribu. Dari pemasukan Rp100 ribu, App Store dan Play Store akan minta sebagian sebagai komisi. Tapi, mereka tidak memberikan faktur pajak ke kita. Jadi, kita bayar lagi PPN-nya," cerita Cipto.

Cipto juga mengungkap, saat ini, pasar game di Indonesia sangat terbuka. "Perusahaan dari luar bisa jual game seenak hati mereka," katanya. "Tapi, dari sini, untuk bisa keluar, tidak semudah itu." Dia memberikan contoh, terkadang, untuk bisa meluncurkan game di negara-negara tertentu, developer harus memastikan bahwa data pemain disimpan di server yang berada di negara asal pemain. Contoh lainnya, untuk bisa meluncurkan game di Jepang, developer harus mematuhi sistem rating di negara itu. Selain itu, proses penetapan rating itu juga berbayar. Hal yang sama juga berlaku di Korea Selatan.

"Ada juga negara-negara yang melarang game untuk masuk sama sekali kalau kita tidak kerja sama dengan perusahaan lokal," ujarnya. Salah satu negara yang dia maksud adalah Tiongkok. Untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, perusahaan game harus mematuhi banyak peraturan dari Beijing. Salah satunya adalah kerja sama dengan perusahaan lokal.

"Peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah negara-negara lain kan beragam, mulai dari agak mengganggu sampai benar-benar memblokir. Kita akan coba cari regulasi somewhere in-between," kata Cipto. "Karena, kalau ketat memblokir juga pasti banyak backlash. Dan kita sebagai pemain game juga tidak mau kalau game favorit kita tutup. Kita kan juga bagian dari WTO (World Trade Organization), jadi tidak bisa seenaknya memblokir begitu saja."

Meningkatkan Kualitas SDM

Jika dibandingkan dengan Jepang atau Amerika Serikat, industri game di Indonesia masih sangat muda. Alhasil, salah satu masalah yang muncul di industri game Indonesia adalah kurangnnya sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman. Untuk mengatasi masalah itu, Kominfo dan AGI mengadakan IGDX Academy. Program one-on-one mentoring itu diikuti oleh 25 developer game lokal.

Program IGDX Academy sendiri terbagi ke dua kategori: intermediate dan advanced. Cipto menjelaskan, kelas intermediate ditujukan untuk developer yang relatif berumur muda. Mereka akan dipasangkan dengan mentor dari dalam negeri. Sementara itu, kategori advanced ditujukan untuk developer yang sudah menjadi mentor lokal. Mereka akan mendapatkan mentor dari luar negeri. Para mentor yang dipilih untuk membimbing para peserta IGDX Academy ditetapkan oleh AGI.

"Ketika mencari mentor, pertama yang kita cari adalah pengalaman," jawab Cipto ketika ditanya tentang karakteristik dari para mentor IGDX Academy. "Sejak awal, kita tahu bahwa skill yang akan diajari bukan skill teknis, tapi bagaimana cara untuk menjalankan bisnis game. Informasi itu adalah informasi penting yang banyak orang nggak tahu."

Para developer yang menjadi mentee dari IGDX Academy.

"Seorang mentor harus punya posisi strategis. Kalau posisinya adalah technical programmer, dia tidak bisa menjadi mentor. Karena seorang mentor harus pernah mengambil keputusan strategis, seperti kemana tujuan perusahaan,  ketika dihadapkan pada dua pilihan, kenapa perusahaan mengambil keputusan A," ungkap Cipto. Dia lalu menjelaskan alasan mengapa AGI memilih untuk mencari mentor yang mengerti sisi non-teknis.

"Sebagian besar developer game Indonesia memulai karir mereka karena mereka memang suka main game, bukan karena mereka mau dapat uang," kata Cipto. "Kalau seseorang mengerti bisnis dan mau dapat uang, ada banyak pilihan lain yang lebih obvious dari game, seperti membuat startup teknologi, bisa dapat investasi, atau bermain Bitcoin. Tapi, biasanya, developer yang punya produk menjanjikan, mereka memang datang dari latar belakang yang bisa membuat produk yang bagus, tapi mereka biasanya tidak punya pemahaman bisnis yang baik."

Selain pernah menduduki jabatan sebagai co-founder atau C-level, kriteria lain dari mentor IGDX Academy adalah lama pengalaman. AGI berusaha untuk mencari orang-orang yang sudah berkecimpung di dunia game selama setidaknya 10 tahun. Cipto menyebutkan, besar kecil dari perusahaan tempat sang mentor bekerja justru bukan masalah. Kriteria terakhir dari mentor yang AGI cari adalah ketersediaan waktu.

"Orang-orang dengan posisi strategis dan banyak pengalaman pasti sibuk," ujar Cipto. Karena itu, dia menjelaskan, AGI mendesain program mentorship IGDX Academy sedemikian rupa agar para mentor tidak harus menghabiskan banyak waktu mereka. Seorang mentor biasanya bertanggung jawab atas dua mentee. Dan setiap mentor hanya harus menghabiskan waktu dengan masing-masing mentee mereka selama 40 menit seminggu. Artinya, seorang mentor hanya harus menghabiskan waktu selama kurang dari dua jam dalam seminggu.