Regulasi PSE dari Kominfo memang masih mengundang banyak tanda tanya dan ambiguitas. Mari kita menyelam lebih dalam.
Steam mungkin memang sudah bisa diakses kembali. PayPal juga akhirnya sudah terdaftar. Origin dan Amazon juga sudah tercatat. Meski begitu, daftar yang ada di laman milik Kominfo sayangnya tidak selalu up-to-date.
Karena semua orang bisa mendaftarkan perusahaan apapun, sesukanya. Misalnya, di hari Sabtu pagi 30 Juli 2022 kemarin, nama PayPal sudah tercatat di daftar tersebut namun layanan tersebut masih diblokir. Ternyata, nama PayPal muncul di sana karena didaftarkan oleh sembarang orang.
Sebaliknya, Steam yang sudah dibuka dari hari Selasa, 2 Agustus 2022, kemarin masih juga belum saya lihat di daftar Kominfo — setidaknya saat saya menulis artikel ini.
Itu tadi salah satu dari regulasi PSE yang membuat banyak orang kebingungan. Kali ini, kita akan melihat lebih jauh lagi regulasi itu dari sudut pandang industri game.
Pengaruh Regulasi PSE Kominfo ke Game Developer
Saya pun berbincang dengan Kris Antoni, CEO dan Founder Toge Production kali ini. Buat yang belum tahu, Kris adalah salah satu orang paling berpengaruh di industri game Indonesia, dari kalangan game developer.
Saat Kris diwawancarai oleh Liputan6, ia mengatakan jika developer lokal menjadi semakin sulit untuk menggunakan tools atau menerbitkan game mereka di platform seperti Steam, Epic Games Store, ataupun Origin.
Kris pun mengatakan, “Tentu gamedev Indonesia jadi kehilangan tempat untuk menjual karya orisinal mereka dan meng-export game-game ke luar negeri karena Steam diblokir. Steam adalah marketplace PC game terbesar di dunia.”
“Developer jadi tidak dapat menggunakan Unreal Engine karena harus login menggunakan akun Epic Games. Ada banyak gamedev indonesia yang menggunakan Unreal Engine, contohnya DreadOut dan Parakacuk (Troublemaker),” kata Kris.
Selain itu, Kris juga menambahkan jika Unity, salah satu game engine yang paling populer, juga belum terdaftar di PSE Kominfo. “Saat ini belum diblokir tapi ada kemungkinan akan diblokir. Apabila terjadi, ini bisa sangat merugikan atau bahkan mematikan gamedev Indonesia.” Tutur Kris.
Di jejaring media sosial, saya juga menemukan sejumlah game developer yang mengeluhkan pemblokiran tersebut. Salah satu game developer yang terkena dampaknya adalah Lentera Studio yang batal menjalankan strategi pemasaran untuk game mereka, Ghost Parade, karena juga dijual di Steam. BBC Indonesia sempat menuliskan cerita mereka di sini.
Namun di sisi lain, saat saya mewawancarai Presiden AGI, Cipto Adiguno mengatakan jika pemblokiran kedua platform (Steam dan Epic Games Store) dampaknya relatif minor untuk game developer Indonesia.
Lalu bagaimana menurut tanggapan Kris?
“Sebenernya relatif, tergantung developernya. Tapi bisa dibilang minor karena developer tetap bisa akses via VPN atau alternate-DNS dan, karena market kita 99% internasional, orang luar tetap bisa beli game kita di Steam. Akan beda cerita kalau VPN dan DNS juga ditutup.” Katanya.
Relatif yang ia maksud adalah terkait variasi game developer yang ada di Indonesia. Ada game developer di Indonesia yang memang lebih fokus menggarap platform mobile yang mungkin tidak merasakan dampaknya sama sekali. Namun ada juga game developer di tanah air yang memang fokus pada pasar internasional, lewat Steam dan Epic Games Store.
Kris pun lebih lanjut menjelaskan mengenai perbedaan dampak yang dirasakan oleh game developer yang berbeda-beda.
“Kebanyakan developer Indonesia lebih memasarkan game-nya untuk pasar internasional. Salah satunya adalah Toge Production yang 99% revenue-nya dari hasil export game ke luar negri melalui Steam dan EGS. Tapi ada juga developer yang lebih mengincar pasar lokal, seperti Tahu Bulat, Tebak Gambar, yang revenue-nya dari pasar lokal melalui Google Play Store dan digital ads.”
Bisakah ‘Karya Anak Bangsa’ Menjadi Alternatif?
Salah satu hal yang dijadikan pembelaan oleh Kominfo terkait regulasi ini adalah Indonesia harusnya bisa membuat alternatif dari produk-produk luar yang diblokir tadi. Namun bagaimana fakta dan relevansinya?
Dalam status Facebook-nya, Kris sempat menuliskan seperti ini, “Adakah yang mau gelontorin dana US$1B atau sekitar Rp15T saja untuk bikin platform Steam versi anak bangsa? Lalu bakar duit biayain operasionalnya beberapa ratus juta Dollar per tahun untuk minimal 10 tahun? Oh satu lagi, dan tidak ada jaminan investasi akan return, malah kemungkinan besar akan rugi?”
Itu tadi perhitungan kasarnya jika misalnya ada ‘karya anak bangsa’ yang ingin dirujuk untuk pengganti Steam.
Lalu bagaimana dengan game engine, seperti Unreal Engine atau Unity?
“Wah, untuk mengembangkan engine sendiri butuh dana ratusan juta sampai miliaran dollar dengan rentang waktu bertahun-tahun atau sampai berdekade. Contohnya, Unity engine umurnya 17 tahun lebih. Unreal sudah dari tahun 90an pengembangannya, bahkan engine open-source seperti Godot yang relatif baru pun sudah berumur 8 tahun dan hasil kolaborasi ratusan atau ribuan orang dari seluruh dunia. Jadi sangat tidak realistis klo harus bangun sendiri dari nol dan berharap jadi dalam 1-2 tahun,” Kris menjelaskan.
Ambiguitas dan Ketidakjelasan Regulasi PSE Kominfo
Menurut Presiden AGI, “sudah ada diskusi antara Kominfo dan AGI mengenai peraturan PSE. Namun sayangnya, Steam dan Epic Games Store belum juga mendaftar hingga waktu yang telah ditentukan. Kris, yang bahkan berada di luar Kominfo, pun harus menjadi mediator terkait komunikasi regulasi PSE ke Steam.
Berarti, ada komunikasi yang tidak sampai dari Kominfo ke Steam dan Epic Games Store. Ini kita berbicara soal Steam yang sebenarnya sudah menjadi pemungut dan penyetor pajak di Indonesia sejak 2020, menurut rilis dari Kementerian Keuangan. Artinya, sebenarnya pemerintah Indonesia harusnya sudah terhubung dengan Valve.
Lalu bagaimana dengan Nintendo dan PlayStation, yang sebenarnya menurut definisinya juga harus terdaftar di PSE? Apakah nanti prosesnya bisa lebih lama lagi? “Bisa jadi.” Jawab Kris Singkat.
Satu hal yang membuat saya masih kebingungan adalah definisi layanan-layanan dan game apa saja yang harus mendaftarkan diri. Jawaban Cipto dan Kris sebenarnya sama soal ini.
“Hanya game yang membutuhkan pertukaran informasi/data dari usernya, biasanya game online multiplayer. Jadi game offline single-player tidak perlu daftar PSE. Kalau butuh koneksi internet untuk jalan, dia butuh daftar PSE. Jadi selama game yg kita buat itu offline, aman-aman aja. Contohnya, Coffee Talk. Gamenya offline single-player tapi didistribusikan melalui Steam. Dalam konteks ini, Coffee Talk tidak perlu didaftarkan PSE karena game-nya sendiri tidak perlu koneksi internet, tapi Steam harus daftar PSE karena membutuhkan koneksi internet dan ada pertukaran data.” Terang Kris.
Sayangnya, permasalahannya, ada pada definisi offline dan online yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Monster Hunter: World atau Borderlands 3, misalnya. Ia bisa dimainkan single-player tapi juga bisa dimainkan multiplayer secara online. Lalu, ada juga game-game single-player yang pakai Denuvo (DRM). Game-nya memang single-player dan tidak butuh koneksi internet tapi sistem Denuvo butuh koneksi internet secara berkala untuk melakukan autentikasi.
Bagaimana dengan game-game seperti itu tadi?
Masuknya kategori game ke dalam layanan yang harus terdaftar di PSE Kominfo saja sebenarnya masih sangat ambigu dan memicu banyak pertanyaan.
Kenapa hanya CS:GO dan Dota 2 saja game yang disebutkan untuk harus mendaftar? Bagaimana dengan game-game multiplayer online lainnya? Menurut catatan di daftar PSE Kominfo, Mobile Legends juga sudah terdaftar di sana. Namun masih banyak game-game online multiplayer di Android yang belum terdaftar.
Menteri Kominfo, Johnny G. Plate, di dalam podcast bersama Deddy Corbuzier mengatakan jika sudah hampir 9000 layanan yang sudah terdaftar dan hanya tersisa 7 yang belum (di menit 34).
Padahal, jumlah game di Steam saja ada lebih dari 50 ribu. Sedangkan game di Google PlayStore ada sekitar 440 ribu. Ini kita belum menghitung game-game yang ada di iOS, Nintendo, PlayStation, Epic Games Store, dan segudang toko online ataupun platform lain. Anggaplah, hanya 50% saja game-game dari 2 platform tadi yang online, berarti harusnya ada lebih dari 200 ribu game.
Plus, saya kira jumlah hampir 9 ribu yang disebut tadi juga sebenarnya meliputi layanan online di luar game seperti WhatsApp, Facebook, dan kawan-kawannya. Jadi, apakah memang pendaftaran ini hanya dikhususkan ke layanan-layanan tertentu? Saya yakin layanan online di luar game itu sebenarnya juga lebih banyak dari pada jumlah game yang ada di dunia maya.
Kris pun memberikan komentarnya. “Ya kalau menurut gua sebenernya kurang realistis mengharapkan semuanya mendaftar. Dan saat ini memang lebih kayak tebang pilih. Tapi klo dari pengamatan gua, PSE ini lebih ditujukan sebagai alat untuk menegakkan kedaulatan pemerintah Indonesia atas platform elektronik. (Regulasi ini) sebagai landasan untuk memberikan sanksi kalau ada platform yang “nakal”. Jadi saat ini pemerintah Indonesia lagi nunjukkin klo mereka tidak “bluffing” dan beneran serius. Sayangnya eksekusinya mungkin tidak sebaik yang diharapkan.”
Dalam satu rilisnya, Kominfo menuliskan keterangan seperti ini, “Isu mengenai Pendaftaran PSE mengancam hak-hak sipil masyarakat adalah tidak tepat. Kebijakan pendaftaran PSE ini merupakan upaya awal dalam menghadirkan ekosistem digital yang lebih akuntabel. Melalui kewajiban pendaftaran PSE, Pemerintah berupaya untuk semakin melindungi hak-hak masyarakat sebagai pengguna sistem elektronik.”
Terkait fungsi tadi, saya pun bertanya kepada Kris. Saya yakin developer seperti Toge Production sudah punya rencana atau jalan yang harus ditempuh jika harus menyelesaikan dispute dengan toko/platform game jika terjadi sengketa — terkait angka penjualan game mereka misalnya.
Nah, jika tujuan PSE tadi adalah untuk melindungi hak masyarakat sebagai pengguna sistem elektronik, apakah ada kemudahan baru bagi developer/publisher Indonesia jika misalnya ada sengketa dengan toko/layanan yang sudah terdaftar di PSE?
“Ngga ada kemudahan apa-apa…” Jawab Kris menutup obrolan kami…
Feat image credit: Yaroslav Shuraev/Pexels