Baru 2 hari lalu saya posting mengenai tips dan trik untuk mengurangi jeratan UU ITE, bukan untuk meghindari tapi untuk mengurangi tuntutan. Belum genap seminggu sejak posting itu, sekarang UU ITE sudah menelan korban keduanya.
Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga di Tangerang di Kejaksaan Negeri Tangerang karena mengeluhkan pelayanan RS Omni Internasional di sebuah milis. Ibu 2 anak ini terjerat hukuman pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Anggara, seorang aktivis hukum yang beberapa hari lalu sempat berbicara di acara Obrolan Langsat mengenai UU-ITE mengungkapkan bahwa keluhan Prita ini dilindungi oleh undang – undang perlindungan konsumen. Namun ternyata Pengadilan Negeri Tangerang justru memenangkan pihak RS Omni Internasional dan menyebabkan Prita harus ditahan.
Sangat disayangkan memang ketika anda mengajukan keluhan di internet, ternyata justru berakhir di penjara. Sedangkan kalau dipikir-pikir di koran-koran terkemuka hampir setiap hari ada saja keluhan terhadap perusahaan ini dan itu dan belum pernah saya dengar ada yang dipenjara karenanya. Mungkin sebaiknya kita lebih baik mengeluh di koran daripada lewat online? Memang sih ada juga kasus penulis surat pembaca yang dipenjara, namun yang ternyata keluhan tersebut diforward dari internet (anonim).
Fakta yang menarik bagaimana orang Indonesia tidak mampu menerima kritik bahkan dari pengguna yang katanya adalah raja. Apapun keluhan anda terhadap instansi apapun, silahkan keluhkan langsung di koran saja dan jangan melalui media online. Keluhan di koran pasti diperhatikan dan dicarikan solusi, keluhan via online akan membawa anda ke penjara.
Apakah ini namanya kebebasan berekspresi? Demokrasi? Sungguh menyedihkan.
sumber:PrimaAir
update : baca isi email Prita disini.
sulit memang menerima kritik, namun ya memang kekuatan online lebih besar dari pada media cetak. bahkan Boediono pun memohon untuk tidak ‘banyak bersuara’ di Blog ataupun social media tentang hal yang ‘buruk2’, karena mengakibatkan persebaran viral perspective dan cara pandang orang banyak yang justru lebih terpercaya.
Dan , kekalnya ( mengingat ada Googel yang mencatat setiap content )
sulit memang menerima kritik, namun ya memang kekuatan online lebih besar dari pada media cetak. bahkan Boediono pun memohon untuk tidak ‘banyak bersuara’ di Blog ataupun social media tentang hal yang ‘buruk2’, karena mengakibatkan persebaran viral perspective dan cara pandang orang banyak yang justru lebih terpercaya.
Dan , kekalnya ( mengingat ada Googel yang mencatat setiap content )
Jangan sampai kita kembali ke masa orde baru lagi
Jangan sampai kita kembali ke masa orde baru lagi
ya bgtlah. Wong skrg rumah sakit bny yg bisnis oriented drpd social oriented. Krn kapitalisme global. Di dunia ini tdk pernah ada yg namanya demokrasi dlm arti yg sebenarnya,itu hny alat pr kapitalis u mengeruk keuntungan
ya bgtlah. Wong skrg rumah sakit bny yg bisnis oriented drpd social oriented. Krn kapitalisme global. Di dunia ini tdk pernah ada yg namanya demokrasi dlm arti yg sebenarnya,itu hny alat pr kapitalis u mengeruk keuntungan
RS Omni seharusnya juga mengadukan SELURUH blogger dan komentator yang dirasa menghina institusi nya.
Banyak tuh yang bahasanya jauh lebih kasar sampai mencaci maki RS Omni.
Lumayan kan, dari 1 orang bisa dituntut 1 milyar.
10 orang aja udah 10 milyar, 100 orang 100 milyar.
Padahal yang bisa dituntut bisa lebih dari ribuan orang.
Pasti nutup tuh buat biaya operasional.
Jadi ga perlu lagi cari-cari cara biat pasien lebih lama rawat inap nya.
Hayoo berani ga, Om??
RS Omni seharusnya juga mengadukan SELURUH blogger dan komentator yang dirasa menghina institusi nya.
Banyak tuh yang bahasanya jauh lebih kasar sampai mencaci maki RS Omni.
Lumayan kan, dari 1 orang bisa dituntut 1 milyar.
10 orang aja udah 10 milyar, 100 orang 100 milyar.
Padahal yang bisa dituntut bisa lebih dari ribuan orang.
Pasti nutup tuh buat biaya operasional.
Jadi ga perlu lagi cari-cari cara biat pasien lebih lama rawat inap nya.
Hayoo berani ga, Om??