Grab hari ini mengumumkan hadirnya mantan Kapolri Badrodin Haiti sebagai komisaris utama Grab Indonesia. Dengan peran barunya ini, Kapolri periode 2015-2016 tersebut akan memantau dan menjaga tata kelola serta kelangsungan jangka panjang perusahaan melalui peran pengawasan terhadap kinerja dewan direksi. Managing Director Ridzki Kramadibrata menyampaikan, bahwa pemilihan Badrodin dilatarbelakangi pengalaman yang luas dalam bekerja bersama pemangku kepentingan, untuk menyelaraskan kepentingan yang beragam.
“Seiring dengan evolusi yang terjadi di sektor teknologi dalam platform pemesanan kendaraan di Indonesia, Pak Badrodin akan memandu dan memastikan Grab Indonesia berkontribusi secara konstruktif terhadap pelaksanaan dari sejumlah kebijakan transportasi dan aturan keselamatan yang baru,” ujar Ridzki.
Seperti diketahui dalam berbagai pemberitaan populer beberapa waktu belakang, bahwa penolakan terhadap layanan ride-hiling, masalah terkait dengan kontrak mitra kerja, upah dan sebagainya sering muncul ke permukaan. Tak hanya terjadi pada Grab, tapi juga pemain lain seperti Go-Jek atau Uber. Dan masalah tersebut tentu akan selalu dihubungkan kepada regulasi. Seperti layaknya sebuah sistem komputer, “back-end” dalam bisnis diperlukan sebagai salah satu strategi, menjadi konsultan dalam menyelaraskan tujuan bisnis dengan kebijakan yang berlaku.
“Saya sangat senang bergabung dengan Grab Indonesia, sebuah organisasi yang berpegang teguh pada misinya dengan rekam jejak yang telah terbukti dalam meningkatkan taraf hidup di Indonesia dan memberikan solusi atas permasalahan lokal. Nilai-nilai tersebut sejalan dengan nilai-nilai yang juga saya pegang teguh, dan saya akan memastikan bahwa Grab akan terus menjadi panutan sebagai perusahaan yang memiliki akuntabilitas dan citizenship. Saya juga akan menggunakan pengalaman saya bekerja di sejumlah daerah di Indonesia untuk memberi masukan sejalan dengan kegiatan ekspansi Grab di Indonesia,” kata Badrodin Haiti.
Tentang manuver Grab di Indonesia
Di Indonesia, dengan brand awalnya GrabTaxi, meluncur pada pertengahan tahun 2014. Sesuai namanya, pada fase awal kehadiran mereka berfokus pada layanan pemesanan taksi (mobil) untuk warga Jakarta. Setahun setelahnya layanan GrabBike meluncur menantang pemain lokal yang waktu itu sudah ada Go-Jek. Persaingan pun mulai memanas, saat terjadi perekrutan besar-besaran pengemudi di ibukota. Kini keduanya fokus melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Indonesia. Kini Grab memiliki 580.000 mitra pengemudi aktif dalam jaringannya dan telah diunduh di 30 juta perangkat.
Ekosistem pengguna sendiri telah berhasil terbentuk, sehingga perusahaan mulai menggencarkan fokus bisnis lain. Beberapa improvisasi layanan turut dihadirkan, belum lama ini Grab menghadirkan layanan loyalitas pelanggan yang disebut dengan GrabReward, sebuah sistem poin yang akan diberikan kepada setiap transaksi yang dilakukan oleh konsumen. Sebelumnya juga ada layanan “nebeng” GrabHitch dan GrabChat untuk komunikasi antara mitra pengemudi dengan pelanggannya.
Kendati demikian, salah satu yang paling digencarkan tahun ini ialah pemanfaatan GrabPay, sebuah layanan e-money yang didedikasikan untuk melakukan transaksi layanan Grab. Hal serupa turut dilakukan pesaingnya Go-Jek kepada ekosistem pelanggan yang sudah dimiliki.
Inovasi ride hailing di Indonesia, penolakan kian sirna
Permasalahan tentang penolakan nyaris berhasil diselesaikan, walaupun di daerah masih ada beberapa kejadian kecil berbuah dari penolakan layanan, namun sudah tidak semasif dulu. Transportasi adalah kebutuhan setiap orang, sehingga banyak yang berkepentingan untuk menjadi yang terdepan dalam memenuhi kebutuhan ini. Inovasi selalu akan menjadi pemimpin dari segala kemajuan yang ada, akan tetapi ada satu hal yang harus turut diimbangi, yakni kultur.
Pendekatan kultural ini meliputi banyak aspek, mulai dari edukasi masyarakat, penataan regulasi hingga bagaimana bisnis memberikan value kepada bangsa secara keseluruhan. Dengan potensi besar, dibuktikan dengan Grab bervaluasi $1.43 miliar dan Go-Jek menjadi unicorn pertama di Indonesia), bisnis transportasi menjadi ladang sekaligus medan perang yang masih akan terus memanas, seiring dengan makin sadarnya pemain konvensional untuk beralih ke digital.