Angel investor saat ini menjadi salah satu tipe penanam modal yang banyak membantu startup digital di Indonesia untuk berkembang, terutama di fase awal. Dari sisi kuantitas, minat pemodal dengan gaya yang terkesan lebih “personal” ini pun terpantau terus bertambah. Tak mengherankan, karena sektor digital kini tampak sexy untuk menjadi perhatian pebisnis. Mengulas tentang sejauh mana pandangan seorang angel investor terhadap startup di Indonesia, DailySocial mencoba mendiskusikannya bersama Michael Tampi.
Selain berinvestasi secara personal, Michael saat ini juga tergabung dalam Kinara Indonesia, lembaga investasi yang memfokuskan pada pendanaan sektor UMKM.
Mengawali perbincangan kami mencoba menggali pendapat pribadinya sebagai angel investor terkait dengan perkembangan lanskap startup digital tanah air yang ada saat ini.
“Melihat perkembangan selama 5 tahun ini, percepatan perkembangan startup digital di Indonesia terjadi begitu signifikan dalam 3 tahun terakhir. Success story Kaskus, Tokopedia, dan Go-Jek menurut saya menjadi trigger terbesar. Potensi market yang selalu didengungkan karena besarnya jumlah penduduk Indonesia pun menjadi daya tarik startup lokal maupun luar negeri masuk di Indonesia,” ujar Michael.
Tak luput Michael juga mengomentari pertumbuhan startup lokal dari sisi kualitas. Kendati dari sisi jumlah berkembang sangat pesat, menurutnya harus diakui bahwa dari kualitas masih sangat kurang. Masih banyak ide startup yang mengadopsi dari kreativitas yang ada di luar negeri, padahal tidak semua konsep tersebut siap terap di Indonesia. Fokus untuk membuat sebuah startup digital yang benar-benar menjadi problem solver dari masalah yang ada di Indonesia perlu ditekankan kembali.
Pendekatan investasi dan mekanisme pendanaan oleh angel investor
Sedikit berbeda dengan venture capital atau jenis pemodal lain yang berbentuk lembaga, angel investor umumnya memiliki mekanisme yang lebih personal, tidak begitu bersifat struktural atau birokratif. Bagi Michael faktor kepercayaan kepada founder menjadi kunci dari keputusan berinvestasi. Beberapa hal yang dilihat oleh angel investor dalam menilai tim pendiri meliputi (1) apakah memiliki passion dan pengalaman di bidang terkait, (2) apakah memiliki komposisi yang tepat dalam membentuk tim, dan (3) bagaimana visi mereka terhadap bisnis yang dibuat.
Poin lain yang turut menjadi perhatian adalah bagaimana skabilitas dari bisnis yang dikembangkan tersebut. Dan yang tak kalah penting adalah penilaian terhadap perencanaan bisnisnya, apakah masuk akal atau tidak. Berbagai konsep tersebut menjadi pertimbangan penting, karena kebanyakan angel investor mendukung startup di tahap early stage. Nama besar seperti Facebook atau Tokopedia di tahap awal pendirian bisnisnya juga didukung oleh pendanaan angel investor untuk akselerasi bisnis.
“Baik di dunia maupun di Indonesia, peran angel investor sangat penting di ekosistem startup digital. Khusus di Indonesia, menurut saya diperlukan pula upgrade bagi angel investor yang selama ini terbentuk sebagai investor konvensional di sektor real, untuk bisa mendapatkan sharing knowledge mengenai risiko, ekosistem digital, dan juga pengalaman berinvestasi di early stage startup digital,” ungkap Michael.
Di tahap awal, startup sering terlalu berlebihan memfokuskan pada ide
Dari perjalanan Michael dalam berkolaborasi dengan startup dalam berbagai kesempatan, termasuk pitching, sering ia temui antusiasme pada ide produk. Menurutnya hal tersebut baik, namun seringkali terlalu berlebihan, sehingga tidak tervalidasi dengan target konsumen. Sejatinya para pelaku bisnis di early stage perlu untuk bisa fokus pada customer behaviour.
“Kita bisa belajar dari Alibaba mengalahkan eBay di Tiongkok, di mana Jack Ma sangat fokus dengan local customer insight, dan meyakini bahwa konsep Silicon Valley yang dibawa eBay belum tentu cocok dengan behaviour dan keinginan customer lokal di Tiongkok. Untuk di Indonesia yang potensinya sangat besar, kita bisa melihat local hero seperti Go-Jek yang bahkan pesaing terdekatnya dari luar yaitu Grab,” ungkap Michael.
Selain terkait dengan validasi dan customer behaviour, ada hal lain yang menurut Michael perlu ditingkatkan, yakni terkait dengan data. Startup di early stage kebanyakan belum memanfaatkan big data untuk melakukan analisis konsumen mereka. Analisis tersebut dibutuhkan untuk bisa mendapatkan insight bagi produk yang fit untuk pangsa pasar. Bagi Michael, pemanfaatan big data di startup akan sangat membantu menggerakkan bisnis dan investasi ke arah yang benar.
Industri startup digital kini semakin terlihat menjanjikan. Potensinya dalam menumbuhkan perekonomian nasional tak diragukan lagi. Sejalan dengan itu, banyak hal yang harus diteruskan, diperbaiki dan diselaraskan. Seperti yang menjadi harapan Michael terhadap ekosistem startup yang ada di Indonesia saat ini.
“Saya berharap kolaborasi seluruh stakeholder untuk membangun ekosistem dunia digital, berfokus pada peningkatan kualitas engineer, mentorship, dan menghasilkan produk-produk yang menjawab permasalahan lokal untuk kemudian dapat diduplikasi bahkan menembus regional serta dunia,” pungkas Michael.