19 September 2022

by Glenn Kaonang

Pasca The Merge, Ethereum Cenderung Kurang Terdesentralisasi

Dampak The Merge dan transisi ke proof-of-stake, jaringan Ethereum kini cenderung banyak bergantung pada beberapa entitas yang memegang stake terbesar saja

Per 15 September 2022, Ethereum sudah resmi menjadi blockchain proof-of-stake. Proses transisi yang dikenal dengan istilah The Merge tersebut terbukti berhasil mengurangi konsumsi energi jaringan Ethereum secara drastis. Namun sayangnya, meski satu masalah sudah terselesaikan berkat The Merge, sekarang malah muncul problem baru, yakni berkurangnya elemen desentralisasi pada jaringan Ethereum.

Berdasarkan laporan CoinDesk, hanya beberapa jam setelah The Merge rampung, lebih dari 40% blok di jaringan Ethereum ditambahkan oleh dua entitas saja, yaitu Coinbase dan Lido. Ini terjadi karena keduanya memang memegang porsi staking yang cukup besar di jaringan Ethereum: Lido sebesar 27,5%, sementara Coinbase sebesar 14,5%.

Sebagai informasi, penggunaan mekanisme konsensus proof-of-stake berarti Ethereum sekarang tidak lagi memerlukan partisipasi para penambang (miner) dalam memvalidasi transaksi. Sebagai gantinya, setiap transaksi di jaringan Ethereum sekarang divalidasi oleh individu atau entitas yang mengunci (staking) setidaknya 32 ETH, atau kurang lebih sekitar 620 juta rupiah saat artikel ini ditulis.

Angka tersebut jelas terkesan terlalu besar untuk sebagian besar individu. Itulah mengapa platform yang menawarkan layanan staking seperti Lido dan Coinbase kerap menjadi pilihan, terutama bagi yang ingin mendapatkan pendapatan pasif dari aset ETH yang dimilikinya.

Data dari platform analitik Dune menunjukkan bahwa jaringan Ethereum memiliki lebih dari 431 ribu validator. Total aset yang dikunci sejauh ini sudah menembus angka 13,8 juta ETH, namun lebih dari 30%-nya ternyata berasal dari sekitar 130 ribu validator yang menggunakan platform milik Lido, dan inilah yang pada akhirnya memicu kekhawatiran di sejumlah pihak. Andai persentase tersebut terus naik sampai melebihi 66%, maka akan sangat sulit bagi entitas lain untuk memvalidasi transaksi di jaringan Ethereum.

Martin Köppelmann, cofounder dari Gnosis (perusahaan penyedia infrastruktur DeFi di jaringan Ethereum),

">menyebutkan sejauh ini cuma ada 7 entitas yang mengontrol lebih dari dua pertiga dari total aset ETH yang dikunci. Hal ini jelas terdengar sangat mengecewakan bagi blockchain yang dulunya terkenal begitu menjagokan aspek desentralisasi.

Problem desentralisasi di blockchain proof-of-stake lain

Apakah problem ini bisa diperbaiki? Tentu saja, dan itu sudah dibuktikan oleh Solana, blockchain populer lain yang juga menggunakan mekanisme proof-of-stake. Agustus lalu, Solana diklaim memiliki skor Nakamoto Coefficient sebesar 31. Buat yang tidak tahu, Nakamoto Coefficient adalah satuan yang kerap digunakan untuk menggambarkan seberapa terdesentralisasi suatu blockchain.

Secara umum, semakin tinggi angka Nakamoto Coefficient, berarti semakin terdesentralisasi jaringan suatu blockchain. Pasalnya, Nakamoto Coefficient menggambarkan jumlah minimum validator yang dibutuhkan untuk merepresentasikan 33,4% dari total aset yang di-stake dalam suatu blockchain.

Sumber: Nakaflow

Kalau mengacu pada definisi ini, berarti skor Nakamoto Coefficient Ethereum saat ini tidak lebih dari 2, sebab Lido dan Coinbase tadi bahkan sudah bisa mewakili lebih dari 40%. Blockchain lain seperti Polygon maupun Near juga mempunyai skor Nakamoto Efficient yang relatif rendah.

Namun tidak selamanya harus seperti itu. Dalam kasus Solana, angka Nakamoto Coefficient-nya terus bertambah semenjak jaringannya resmi beroperasi pada Maret 2020. Dengan kata lain, jaringan Solana kian terdesentralisasi seiring berjalannya waktu, dan ini semestinya juga bisa terjadi di Ethereum.