Editor : Topik hari ini adalah gaming, sebuah industri yang tidak mengenal umur dan terus ada dalam berbagai bentuk mulai dari konsol hingga social mobile gaming. Pertanyaan paling penting bagi gaming startup, bagaimana monetisasinya? Disini Didiet dari OneBit Media akan mencoba berbagi insight mengenai bisnis model gaming di Indonesia.
Ada yang menarik dengan fenomena media sosial akhir-akhir ini di Indonesia. Beberapa platform mulai mendeklarasikan dirinya sebagai platform permainan (game) online. Friendster, seperti yang ditulis dalam blog dailysocial sebuah platform media sosial yang pernah naik daun dan sangat populer di Indonesia, me-relaunch dirinya sebagai online gaming platform. Selain Friendster,mig33 yang mempunyai user puluhan juta di Asia Tenggara mulai merencanakan untuk menjual virtual goods di pasar Asia dan memindahkan kantornya ke Singapura. Bahkan Nokia pun mengadakan Game Developer War yang saya lihat cukup sukses menjaring dan mempublikasi bibit-bibit potensial game developer lokal Indonesia.
Langkah masuk ke industri game, saya cukup logis mengingat suatu website maupun platform sekarang sudah tidak bisa hanya mengandalkan jumlah hit semata. Parameter lain seperti hang time juga menentukan seberapa menariknya suatu website maupun platform di mata user, dan game adalah cara paling jitu untuk menjaga user memakai website/platform tersebut. Salah satu kunci kesuksesan Facebook adalah adanya game-game yang dibuat Zynga di platform tersebut yang berhasil menarik user baru untuk masuk menjadi Facebooker dan juga memberikan nilai tambah pada existing user dengan memberikan media engangement melalui permainan online.
Pada dasarnya online game bukan merupakan hal baru di Indonesia. Publisher-publisher game seperti Lyto yang berhasil mengambil pendapatan milyaran rupiah dari Ragnarok Online, Rising Force Online, dan masih banyak lagi. Ada lagi Megaxus yang sukses dengan Audition Online yang dibranding di Indonesia dengan nama AyoDance, dan yang paling baru yang penulis ketahui adalah Point Blank yang dipublish oleh Gemscool. Mungkin nama-nama mereka kurang populer di dunia startup Indonesia, mengingat sebagian besar startup Indonesia berbasis web, tetapi model monetisasinya merupakan salah satu yang paling sukses di Indonesia. Issue-issue seperti belum adanya online payment system dan rendahnya adopsi kartu kredit tidak menghalangi mereka memonetisasi usernya, selain tentu saja mempunyai komunitas yang mempunyai ribuan anggota.
Cara mereka memonetisasi player adalah menggunakan cara yang paling familiar di masyarakat Indonesia, yaitu penjualan virtual goods. Mereka juga menerbitkan voucher dalam beberapa nominal baik voucher fisik maupun melalui gateway seperti GudangVoucher (GV), IndoMOG dan layanan sejenis. Voucher tersebut dapat ditukarkan dengan cash atau koin untuk nantinya ditukarkan dengan virtual goods yang ada di dalam game mereka. Metode virtual goods ini lebih menarik untuk masyarakat Indonesia daripada berlangganan (subscription). Dengan penjualanvirtual goods mereka bisa menjanjikan game mereka free for lifetime tetapi membutuhkan item-item tertentu untuk memudahkan menaklukkan game tersebut, atau sekedar untuk mempercantik avatar seperti apa yang terjadi dalam Audition/Ayodance. Ya, berbagai macam aksesori yang cantik dan blink-blink akan menaikkan gengsi si pemegang karakter.
Dan untuk diketahui, perusahaan tersebut adalah publisher di mana mereka hanya boleh memasarkan gamenya di wilayah tertentu. Biasanya hanya untuk pasar Indonesia. Ya pasar lokal yang selama ini digaung-gaungkan dalam berbagai developer event maupun business event. Mengapa? Karena mereka adalah publisher, bukan developer. Hampir kesuluruhan game yang mereka publish adalah game yang berasal dari Korea seperti Gravity, CCR Korea dan NCSoft. Publisher harus memegang regional license untuk bisa menjual/mempublish game tersebut. Pilihan mereka terbetas. Misalkan mempunyai regional license Indonesia. Maka, publisher tersebut harus menutup akses ke Singapura dan Malaysia misalnya, dan hanya melayani pasar lokal Indonesia. And they are profitable. Bisa dibayangkan oportunity yang tersedia untuk developer lokal Indonesia untuk memonetisasi gamenya di pasar sendiri. Mentalitas “ah pasar lokal, produknya so-so aja deh, toh pasar lokal ini” tidak berlaku dalam Industri ini. Faktanya player lokal sudah terbiasa dengan game-game impor berkualitas tinggi, baik original maupun bajakan. Mereka tidak ada ampun untuk game yang berkualitas rendah. Walau menggarap pasar lokal, produk yang harus kita bangun adalah produk yang harus punya kualitas yang siap go global.
Dengan mulai banyaknya bermunculan platform game ini, lengkap dengan cara monetisasinya baik voucher maupun potong pulsa. Saya berharap semoga game developer lokal bisa melayani pasarnya sendiri. Tanpa bergantung pada adanya payment gateway yang praktis dan mudah di Indonesia, yang sampai sekarang traksinya masih kurang menurut saya, developer lokal masih bisa membuat produk yang menjadi tuan rumah sendiri dan menghidupi dirinya sendiri.
Muhammad Sumyandityo Noor, lebih dikenal dengan Didiet. CTO Onebitmedia Web & Mobile Agency dan Producer di GuavaGames. Terjun di industri animasi dan game sejak 2006, merupakan Lead Developer di salah satu licensor game online korea di Indonesia dari tahun 2007-2010. Kini tinggal di Yogyakarta. Follow him on twitter @lynxluna
Tertarik menulis guest post di DailySocial? Kirimkan artikel Anda ke [email protected].
nice post
btw, untuk mengembangkan mobile game sendiri pakai softwre/program apa ya ? Apakah sulit menjadi game developer di indonesia ?
Kok judul dan isix kurang nyambung???