Dark
Light

Oleh-Oleh TechCrunch Disrupt London 2014 (Bagian Pertama)

4 mins read
October 31, 2014

Editorial Notes: Robin Malau memperoleh kesempatan mengikuti TechCrunch Disrupt Europe 2014:London dan membagikan pengalamannya di sini. Ini adalah tulisan bagian pertama.

Setelah mengikuti TechCrunch sejak feed subscriber mereka masih di bawah 100 ribu orang. Akhirnya saya bisa datang ke flagship event mereka, yaitu TechCrunch Disrupt (TC Disrupt).

Latar belakang mengapa saya bisa ke event ini juga layak diceritakan. Jadi saya memang berencana ke London untuk mengikuti konferensi industri dan meeting dengan beberapa pelaku industri live music di UK. Untuk memanfaatkan kunjungan, saya melihat-lihat ada event apa saja. Kebetulan ada TC Disrupt. Saya melihat harga tiket dan berpikir, hm… lumayan juga. Untuk early bird saja harga dipatok £650 (sekitar Rp 12,5 juta), sementara itu harga tiket normalnya £800-an (lebih dari Rp 15 juta).

Sebagai orang yang biasanya tidak mendapat dampak signifikan dari acara ini, saya jadi berpikir ulang. Apakah saya butuh banget sampai harus mengeluarkan uang yang bisa beli tiket pesawat bolak-balik Indonesia-Eropa? Tapi saya ingin tahu, benar-benar ingin tahu, apa sih yang membuat TC Disrupt menjadi acara yang begitu berpengaruh di industri teknologi.

Di halaman utama event, ada formulir untuk Press Request. Saya coba kontak Rama, bertanya apakah saya boleh menggunakan nama DailySocial untuk mendapat akses ke TC Disrupt. Rama memberi izin, dan saya pun mendaftar. Beberapa hari kemudian, di hari keberangkatan, saya mendapat kabar dari Rama bahwa permintaan akses pers dikabulkan oleh TechCrunch. Yay!

Tentang TechCrunch Disrupt London

Event ini berlangsung dari tanggal 18-21 Oktober, dua hari pertama adalah Hackathon. Untuk masuk TC Disrupt, orang harus membeli tiket. Tapi jika kamu developer, ada cara lain untuk mendapat akses yaitu lewat Hackathon, seperti Adhi, satu-satunya developer Indonesia yang menjadi bagian dari projek Seeusoon yang berhasil masuk 3 besar TC Disrupt Hackathon.

Event dilaksanakan di Old Billingsgate, London. Selain merupakan gedung klasik yang masuk ke listed building, setingkat dengan lokasi personil The Beatles menyeberang di Abbey Road, gedung ini berada di wilayah yang dinamakan City Of London. Yaitu distrik dengan kegiatan industri finansial paling sibuk di dunia. Menurut rekan BBC yang saya kenal di sana, setidaknya ada dua juta orang memenuhi wilayah seluas hanya dua mil persegi tersebut setiap pagi. Sebagai perspektif, penduduk London ada 8 juta orang. Melihat lokasinya, TC Disrupt adalah event yang sangat bergengsi dan pelaksanaannya sangat serius.

Pintu masuk dibuka jam 7 pagi, saya datang sekitar jam 7:15 karena harus mendaftar dulu. Setelah dapat badge bertanda Press, saya masuk ke wilayah event yang terdiri dari 2 wilayah: Conference dan Exhibition. Udara yang sejuk membuat orang berjalan dan bergerak dengan cepat. Saya melihat-lihat dulu agar familiar dengan keadaan. Karpet dan meja di semua ruangan berlatar belakang hitam, memberi kesan angker sekaligus elegan. Warna gelap juga membuat apapun yang ada di atasnya menjadi terang. Tampak di wilayah exhibition, startup sedang bersiap menyiapkan booth-nya masing-masing. Di wilayah conference, tim teknis produksi video dan audio juga tengah bersiap.

Di atas panggung conference, terlihat screen yang sangat besar dan beberapa kursi putih di atas panggung selebar kurang lebih 20 meter. Iya, besar banget, the massive Techcrunch Disrupt Stage! Deretan panjang kursi untuk penonton yang dapat ditempati oleh siapapun yang ada di event terbagi menjadi 2 bagian, yaitu wilayah dengan meja dan charger, dan wilayah yang hanya ada kursi. Saya memilih wilayah yang ada meja karena lebih dekat dengan panggung.

Event ini juga media magnet. Saya melihat media mainstream seperti CNBC, AOL (tentunya), BBC, Reuters, Time Evening Standard, Financial Times, Huffington Post, Bloomberg, hingga The Independent berkeliaran. Ada juga media teknologi dan lifestyle seperti Venture Beat, The Next Web, Wired, Mashable, dan Daily Dot.

Disrupt D-Day

Acara hari pertama dimulai tepat jam 9 pagi, dibuka oleh tim Editor TechCrunch: Alexia Tsotsis, Matthew Panzarino, dan Mike Butcher. Panel pertama adalah panel yang sangat besar, yaitu dari Google Ventures Europe. Mereka membicarakan program di Eropa. Dana yang mereka dapatkan adalah $100 juta per tahun untuk berinvestasi di wilayah Eropa. Ada tiga industri yang kerap kali dibicarakan oleh panel, yaitu Keuangan, Kesehatan dan Pendidikan. Tampaknya industri teknologi di Eropa ingin benar-benar mendorong perubahan di ketiga industri tersebut.

Panel demi panel pun naik ke atas panggung, pembicara paling berkesan buat saya di hari pertama adalah Uri Levine, co-founder dan ex-CEO Waze yang diakuisisi Google. Ketika ditanya kenapa Uri meninggalkan perusahaan yang didirikannya padahal ada kesempatan untuk bergabung dengan Google, Uri menjawab bahwa dia tidak cocok kerja di perusahaan besar. “Saya orang revolusioner, suka membuat hal baru,” tegasnya.

Dalam merangkai cerita tentang Waze sejak awal didirikan hingga diakuisisi, Uri sangat fokus pada produk Waze, yaitu memecahkan masalah lalu lintas. Saran agar bisa fokus pada pengembangan produk adalah: “Falling in love with problem, not solution.

Jadi entrepreneur atau Product Manager harus terus fokus untuk mencoba memecahkan masalah.

Sekarang Uri fokus membangun perusahaan barunya, Feex, yaitu perusahaan yang membandingkan fee investasi. Menurutnya hingga kini, fee investasi bisa mencapai 4% dari GDP Amerika atau 2x total industri entertainment. Feex ingin menjadi Robin Hood of Fees, dengan membuat pemilik uang bisa mengurangi fee yang dibayarkan ketika berinvestasi.

Sementara panggung Disrupt diisi oleh debat yang panas, udara terasa cukup dingin karena terpengaruh sisa badai yang menghantam Skotlandia. Saya tidak mau lama-lama duduk dan mencoba berjalan-jalan di area Startup Alley untuk menghangatkan badan sambil menunggu Startup Battlefield. Hari sudah siang dan Startup Alley sudah dipenuhi oleh booth startup yang menyewa tempat.

Selagi saya mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, kebanyakan CEO dan Product Manager perusahaan-perusahaan tersebut tidak membiarkan orang-orang yang lewat, termasuk saya, lolos tanpa di-pitch. Gila. Tiap berjalan kurang lebih satu meter, langkah saya pasti sudah dihentikan dan biasanya dimulai dengan melihat ke arah tanda pengenal yang digantung di leher saya dan bertanya, “What is DailySocial?” Saya jawab, “We cover Indonesia technology industry.” Kemudian, “Do you have one minute? I’d like to introduce my company to you.

Saya perhatikan pitch mereka tidak pernah lewat dari 1-2 menit dan sudah mencakup nama perusahaan dan problem apa yang dipecahkan lewat aplikasi yang mereka buat. Jika saya tertarik dan mengajukan pertanyaan yang biasanya agak teknis, baru mereka memberikan penjelasan lebih panjang. Hati saya jadi ikut girang melihat antusiasme, semangat, dan kegigihan mereka. Nama-nama agresif yang dipilih Techcrunch (Disrupt dan Battlefield) sangat cocok dengan keadaan siang itu. Panas dan penuh dengan agresi.

Saya kembali ke area conference setelah makan siang dan sempat melihat highlight hackathon dan interview dengan CEO AOL, yang mengakuisisi Techcrunch, Tim Armstrong. Tidak banyak yang menarik dari wawancara kecuali pertanyaan, “Mengapa Michael Arrington dipecat?”

Pertanyaan ini lucu, sekaligus ironis.

[Sumber foto: Flickr/TechCrunch]


Robin Malau adalah Managing Director Cerahati Digital Media dan Founder & CEO Musikator. Robin bisa dikontak melalui akun Twitter-nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Palang Merah Indonesia Luncurkan Aplikasi Android Mass Rapid Assessment

Next Story

Perlukah Zalora Buka “Offline Store” di Indonesia?

Latest from Blog

Don't Miss

Web3 penulis

Kepenulisan dan Penulis dalam Blockchain

Nawala dan portal informasi tertulis kian menjadi sarana distribusi informasi

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri