Kata “NFT” (Non-Fungible Token) semakin terasa familiar di telinga sebagian orang Indonesia. Meski pasar belum teredukasi secara merata, antusiasme terhadap teknologi baru ini mulai terlihat, setidaknya dari semakin mudah ditemukannya artikel berbahasa Indonesia dan komunitas-komunitas lokal yang bermunculan.
Bagi kreator konten dan pengusaha konten, NFT telah menjadi topik umum pada tahun ini karena memungkinkan banyak kreator dari semua latar belakang dan genre (seniman, musisi, konten kreator yang biasa memanfaatkan platform media sosial, influencer, petinggi perusahaan, bahkan orang biasa sekalipun) datang untuk berbagi kreativitas mereka, bertemu orang baru, dan mungkin memulai karir.
Di kancah global, seniman seperti Beeple dan Trevor Jones telah menghasilkan jutaan dollar dari penjualan NFT mereka. Musisi seperti 3LAU sedang merancang model bisnis di mana penggemar (dan akhirnya pemilik NFT) dapat mengakses musik eksklusif dan tiket ke acara. Grup musik Kings of Leon menghasilkan jutaan dollar dengan menjual album baru mereka sebagai NFT.
Dengan template yang sama, kesempatan ini tidak ingin dilewatkan oleh kreator di Indonesia dalam menyambut kehadiran NFT. Dalam pantauan DailySocial.id, tidak hanya seniman yang tertarik. Ilustrator, musisi, merek fesyen, rumah produksi, influencer, hingga olahraga sudah menaruh minatnya dengan memanfaatkan platform yang ada.
Ekonomi kreator
NFT mengubah permainan secara keseluruhan, menjadikannya sebagai model bisnis yang benar-benar baru buat kreator. Pada akhirnya, mereka dapat menjual karyanya langsung ke komunitas global atau kini dikenal dengan istilah ekonomi kreator. Model bisnis baru ini memotong sebagian besar distributor (yang biasanya menerima komisi) dan memungkinkan kreator berhubungan dengan kolektor secara langsung dan mudah melalui marketplace seperti OpenSea dan Foundation.
Dapat dibayangkan, saat ini kreator mendapatkan penghasilan melalui konten mereka dengan mempublikasikannya di platform terpusat seperti YouTube, TikTok, dan Instagram. Platform mengambil bagian besar dari pendapatan iklan yang dihasilkan oleh konten mereka dan memberikan sisanya kepada pembuatnya.
Kreator sering kali menghasilkan lebih banyak uang dari kesepakatan brand daripada konten mereka yang sebenarnya. Meskipun demikian, skema tersebut membuat platform tetap hidup dan menghasilkan banyak keterlibatan pengguna.
Dengan NFT, kreator dapat memperoleh penghasilan langsung dari konten mereka. Mereka dapat mengambil momen penting dari unggahan mereka, misalnya unggahan yang paling viral, album perdana dirilis, atau momen penting dalam perjalanan pribadi yang memiliki arti bagi para basis komunitas di kreator tersebut. Tidak hanya itu, kreator dapat membuat konten itu lebih berharga dengan membatasi pasokannya. Plus, mereka dapat memperoleh dari royalti dari konten tidak hanya sekali, tetapi tanpa batas.
Tak hanya itu, kreator juga dapat memilih untuk melampirkan hadiah eksklusif bagi pembeli NFT, seperti tiket VIP ke suatu acara, diskon merchandise, atau akses ke komunitas pribadi sebagai hanya bonus tambahan.
Salah satu contoh yang dilakukan musisi rap Tory Lanez adalah menjual tujuh lagunya sebagai NFT seharga $1. Dalam waktu kurang dari satu menit, ia menjual 1 juta NFT dan menangkap $1 juta penjualan tanpa memberikan sepeser pun kepada label rekaman atau perantara industri.
Para penggemarnya dapat membeli aset supermurah dan dapat menjualnya kembali dengan jumlah uang yang mengubah hidup. Dengan demikian, NFT diklaim menciptakan situasi win-win, ketika kreator dan penggemar menangkap value yang sama.
Kreator Indonesia
Faza Ibnu Ubaydillah Salman atau lebih terkenal dengan Faza Meonk, komikus dibalik karakter Si Juki, mengaku tertarik terjun ke NFT setelah diberitahu temannya yang berprofesi sebagai seniman digital. Temannya telah mendapat penghasilan baru lewat NFT. Hype-nya semakin terasa ketika ia menyaksikan sendiri kuantitas seniman yang masuk ke NFT terus bertambah.
Faza sendiri, sebelum ikut “nyemplung” ke NFT, ia sudah mengenal dunia kripto berkat aktivitas trading yang ia lakoni.
“Jadi saya sudah ngerti kalau ada teknologi yang namanya blockchain yang dipakai untuk NFT. Saya baru nyemplung di Agustus 2021 ke komunitas dan mulai mengonsep personal project yang belum dirilis hingga saat ini,” ujar Faza saat dihubungi DailySocial.id.
Ia berpendapat, secara personal ketertarikannya terjun ke NFT karena di sana membuka kesempatan untuk berkarya secara bebas tanpa harus melihat dari sisi komersil, harus laku atau tidak. Ia pun dapat terus belajar, memperbaiki kualitas karyanya agar semakin baik. Perspektif tersebut ingin ia tularkan kepada para seniman lainnya.
“Nothing to lose saja. Mungkin NFT ini jadi masa depan untuk teman-teman seniman agar bisa berkarya dari proyek pribadinya dan mengomersilkannya, sebab pada akhirnya ini jadi dorongan yang menarik.”
Di samping itu, praktik transaksi jual beli offline karya seni di galeri sebenarnya kurang lebih sama dengan NFT. NFT memiliki kode unik yang di-minting dari jaringan blockcain untuk memberikan kode unik kepada para kolektor. Hal tersebut juga dilakukan galeri yang memberikan sertifikat untuk membuktikan pembeli tersebut adalah pemilik yang sah.
“Jadi NFT itu ke depannya bukan buat seni saja. Memungkinkan lebih banyak hal. Kalau pemerintah terbuka, bisa banget dimanfaatkan lebih masif lagi ke banyak aspek kehidupan.”
Saat ini Faza menerbitkan NFT dengan memanfaatkan dua platform marketplace, di TokoMall dan Objkt. Di TokoMall, ia masuk sebagai mitra eksklusif yang digandeng Tokocrypto, sementara di Objkt ia memilih untuk memamerkan karya-karya pribadinya, sekaligus memperkenalkannya ke target penikmat seni di luar negeri.
“Rencananya saya mau perluas lagi ke OpenSea. Tujuannya ingin jangkau orang luar negeri karena secara natural orang Indonesia itu belum ada kebiasaan untuk mengoleksi karya seni. Sementara orang luar negeri itu lebih appreciate, makanya banyak seniman lokal memanfaatkan platform seperti ini.”
Sementara itu, IBL (Indonesian Basketball League), kompetisi basket terbesar di Indonesia, tertarik masuk ke NFT karena ingin selalu engage dengan para penggemar bola basket dan menarik penggemar baru dari kalangan anak muda melalui tren-tren yang menarik perhatian mereka. IBL mulai mempelajari NFT sejak Februari 2021, sampai akhirnya resmi menjadi mitra perdana Kolektibel di November 2021.
“Kita sebagai IBL selalu merujuk pada beragam inovasi yang ada di market. Kami pun merujuk pada NBA yang punya produk NFT sebagai referensi kami dan masuk melalui Kolektibel karena mereka punya approach yang sesuai dengan apa yang kami harapkan, sama seperti NBA Top Shot,” terang Brand Marketing IBL Raihanda Rafi.
Raihan menuturkan, pihaknya memaknai NFT sebagai produk yang memiliki daya tarik tersendiri karena dapat mendekatkan penggemar dengan atlet basket melalui momen-momen (foto, video durasi pendek, gif). Serta, dapat lebih dekat karena tiap NFT yang dikoleksi memiliki utilitas (kegunaan) yang bersifat eksklusif. Tentunya hal tersebut akan menjadi nilai tambah bagi atlet itu sendiri, membuat mereka jadi lebih percaya diri.
“Karena ini industri yang baru, jadi saat ini masih cenderung mempelajari bagaimana NFT itu bekerja. Tugas dari kami, bersama Kolektibel, adalah mengedukasi pasar, mengedukasi mereka bahwa NFT itu di masa depan akan menjadi status sosial yang baru. Sebab barang yang bernilai itu sekarang sudah bukan lagi barang fisik, tapi juga digital.”
Saat ini IBL berhasil menjual 700 pack NFT yang diterbitkan melalui Kolektibel. Setiap pack berisi video momen-momen terbaik dengan level rarity yang berbeda. Di Kolektibel ada tiga level rarity, yakni Common, Rare, dan Epic, masing-masingnya memberikan tingkat keunikan dan nilai pada setiap produk NFT tergantung tipe rarity yang dimiliki.
Dari data IBL, para pembeli NFT-nya adalah para penggemar setia basket, NFT enthusiast, trader, dan investor. “Kita akan terus cari collectibles yang bagus dan bisa dikoleksi, sebab para kolektor ini masih dalam fase mencari tahu dan mengumpulkan collectibles-nya belum ada yang trading di secondary market. Ini jadi menarik karena kami masih banyak aset yang bisa di-NFT-kan.”
Koleksi NFT yang sudah dibeli ini masih berfokus pada momen-momen dari pertandingan di musim 2021. Aset-aset dari pertandingan di 2017 sudah masuk daftar berikutnya yang sudah disiapkan untuk di-NFT-kan. IBL sendiri memiliki kumpulan aset dari tahun 2000-an dengan atlet-atlet legendaris yang tentunya akan menarik untuk dikoleksi para penggemar basket.
“Saya dan tim terus meningkatkan kualitas gambar dari aset lama kami. Banyak aset nostaligia yang masih perlu kami standarisasi kualitasnya agar nantinya lebih enak saat dinikmati para penggemar.”
Ada kekhawatiran
Penawaran yang paling menarik di NFT adalah bagian non-fungible, memberikan verifikasi yang tak terbantahkan soal kepemilikan terhadap sebuah aset digital yang transparan. Ketertarikan dunia ke NFT, sejalan dengan penolakannya, semakin meninggi belakangan ini.
Sama seperti pisau, yang dapat melukai orang atau malah membuat masakan jadi terasa lezat. Penggunaan NFT dapat menjadi celah kejahatan, meski teknologi blockchain diklaim sudah canggih dan mumpuni.
Faza sering menemui praktik mencuri karya seniman yang belum terjun ke NFT. Karyanya di-minting tanpa seizin pemiliknya di platform marketplace. Kejadian ini sering membuat seniman kewalahan dalam mengatasinya.
“Ini semacam dampak dari adanya sistem NFT. Saya percaya teknologi akan terus berkembang. Harapannya, ke depan ada sistem autentikasi untuk membuktikan bahwa karya yang di-minting itu benar pemilknya. Teman-teman di [sektor] IT perlu antisipasi ini.”
Kekhawatiran tersebut diharapkan juga menjadi perhatian dari para platform marketplace NFT lokal selagi industri ini masih sangat baru di Indonesia. Di samping itu, komitmen serius dari pemain platform untuk mempromosikan karya NFT perlu digalakkan kembali. Banyak seniman yang memanfaatkan platform luar negeri, karena tujuan utamanya adalah menjangkau penikmat karya seni secara lebih luas.
Mayoritas orang Indonesia itu belum terbiasa mengoleksi karya seni sebagai bentuk menghargai suatu karya dengan membeli karya itu sendiri. “Jadi kalau hanya dikasih tempat untuk berjualan, tapi tidak dipromosikan juga ya akan percuma karena habit orang Indonesia untuk menghargai suatu karya seni dengan spending itu masih rendah. Jadi lebih mudah untuk ajak orang luar negeri untuk mengoleksi karya kita.”
Sebagai catatan, blockchain Tezos yang digunakan Objkt dan Hit et Nunc (sebelum tutup) banyak dilirik oleh kreator lokal untuk mencicipi dunia NFT pada tahap awal karena lebih ramah lingkungan dan hemat biaya minting. Pula hadirnya jaringan komunitas yang sudah kuat terbangun karena anggota dapat berkomunikasi dengan erat dengan kreator.
“Kreator sekarang dituntut untuk punya kemampuan berkomunikasi yang baik dengan calon pembeli. Makanya banyak muncul pekerjaan baru, manager artist, yang bekerja dengan ruang lingkup seperti kurator, menghubungkan artist dengan kolektornya.”
Membangun komunikasi ini penting, lanjut dia, pasalnya kolektor itu perlu diyakinkan bahwa seniman atau kreator tersebut dapat terus berkarya hingga pada masa mendatang. “Bebas kalau tujuannya ada yang mau investasi, ada juga yang suka karyanya tapi ini persentasenya pasti kecil. Jadi yang paling utama itu harus komunikasi agar mereka percaya kita ini punya value, punya masa depan, yang mungkin membuat nilai jual karya akan lebih baik.”
“Value sebuah karya seni bisa mahal itu karena banyak yang percaya. Sama seperti emas yang bentuknya batu tapi banyak orang yag percaya itu bernilai. Ketika komunitas semakin besar, maka karya seniman tersebut akan semakin mahal, makanya komunitas pegang peranan penting,” tutup Faza.