Awal tahun ini, Netflix memutuskan ekspansi ke pasar Indonesia. Meski disambut antusiasme dan respon positif, beberapa pihak turut mengantisipasi intervensi dari perusahaan kompetitor lokal, maupun kebijakan pemerintah. Benar saja, sejurus kemudian, Telkom Group melangkahi pemerintah sebagai regulator untuk memblokir Netflix yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat kepada keputusan perusahaan telekomunikasi berpelat merah itu.
Jalan Netflix menguasai pasar yang belum matang di Asia memang tidak mudah. Forbes, mengutip Executive Director of Media Netflix Asia Vivek Couto, mengungkapkan bahwa keputusan pihaknya untuk menghadapi pasar Asia yang memiliki beragam kultur merupakan tantangan tersendiri, salah satu langkahnya bisa ditempuh dengan lokalisasi, dan kreasi original konten. Solusi ini yang setidaknya dapat menginisiasi serangkaian dampak positif seperti: terciptanya ekosistem kreatif baru, lapangan pekerjaan baru, dan pemahaman hak cipta [yang harapannya mampu menekan angka pembajakan konten].
Perihal pemblokiran, sebagai individu yang turut terlibat aktif dalam lanskap digital dan teknologi di Indonesia, Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li turut menyayangkan langkah preventif yang kurang elegan.
“Perkembangan teknologi memberikan pengalaman baru pada produk dan layanan yang lebih baik pada konsumen sehingga mampu menciptakan nilai lebhi bagi perekonomian secara keseluruhan. Namun terkadang, seperti Uber dan AirBnB, perusahaan yang beroperasi di wilayah yang regulasinya telah usang memperoleh keuntungan [dari belum update-nya regulasinya tersebut],” papar Adrian.
Daripada memblokir atau mencegah penciptaan dan kemajuan bagi surplus konsumen dan suplai konten, Adrian percaya sebaiknya pemerintah harus berpikir ke depan dan terlibat secara aktif bersama para pemegang kepentingan untuk merumuskan regulasi yang menguntungkan bagi seluruh pihak.
Layanan lokal serupa, seperti Nonton, Vidio, dan Genflix sebenarnya dapat menjadi second follower di saat Netflix memiliki kapabilitas dan resource untuk mengedukasi pasar sebagai pionir. Apakah kita melewatkan kesempatan baik?
“Ada diskusi penting tentang cara kerja layanan OTT yang harus diatur dan dioperasikan di manapun [mereka berada, dan itu merupakan hal yang lumrah]. Bahwa hal tersebut diperlukan bagi pemerintah untuk menyediakan kerangka kerja yang jelas dan adil agar bisnis tersebut dapat beroperasi. Sementara ini, kesempatan tersebut masih akan tetap ada […],” pungkasnya.
Hingga saat itu tiba, Menkominfo Rudiantara menjanjikan akan menyelesaikan rancangan peraturan yang kabarnya akan terbit pada bulan Maret, berdasarkan pemberitaan Kompas (29/1). Rudiantara akan merumuskannya bersama Kementerian lain. Dalam kesempatan yang sama, Komisi 1 DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional Budi Youyastri juga berharap Telkom membuka pemblokiran.
“Aturannya Insya Allah Maret. Setelah selesai dirancang nanti akan dikonsultasikan dulu dengan publik, tapi ini bukan uji publik ya,” kata Rudiantara, seperti dikutip dari Kompas.
Infrastruktur (kualitas akses Internet) seharusnya tidak lagi menjadi permasalahan yang signifikan. Lihat saja bagaimana YouTube berhasil memiliki basis pengguna yang besar di sini. Konsumsi data (mengingat 4G telah ada) dipastikan telah dan akan meningkat.
Lalu menyisakan faktor penyensoran oleh LSF. Jika proses penyensoran membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya sehingga mengakibatkan penundaan jam tayang, pengguna kehilangan hak eksklusif yang dapat ditambal dengan kembali beralih pada konten ilegal.
Jika komunikasi telah terjalin baik, ekosistem akan lebih terbuka menerima pemain-pemain baru, persaingan akan sehat, pendanaan pun akan mengiringi.
“Semakin cepat semua pihak dapat berkomunikasi solusi yang adil, maka semakin cepat pula konsumen dapat menikmati layanan-layanan yang berkualitas,” tutup Adrian.