7 Mitos Soal Game dan Esports: Fact-Checking

Apakah gamer perempuan memang selangka unicorn?

Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Seiring dengan naiknya popularitas game dan esports, semakin banyak juga asumsi yang muncul di tengah masyarakat. Seperti game menyebabkan kecanduan atau semua pemain profesional dibayar dengan gaji tinggi. Karena itu, kali ini, Hybrid.co.id akan membahas tentang tujuh mitos yang masih dipercaya oleh banyak orang.

1. Tidak Banyak Perempuan yang Bermain Game

Sampai sekarang, salah satu mitos yang dipercaya oleh banyak orang adalah tidak banyak perempuan yang bermain game. Memang, jumlah gamers laki-laki lebih banyak dari gamers perempuan. Jadi, secara teknis, laki-laki memang kelompok mayoritas. Meskipun begitu, ada banyak perempuan yang juga senang bermain game. Menurut data dari Niko Partners, jumlah gamers perempuan di Asia pada 2017 mencapai 346 juta orang, sekitar 32% dari total popoulasi gamers di Asia. Dua tahun kemudian, pada 2019, jumlah gamers perempuan naik menjadi 500 juta orang, berkontribusi 38% dari total populasi gamers di Asia.

Menariknya, Niko Partners menyebutkan, pertumbuhan jumlah gamers perempuan di Asia lebih tinggi dari angka pertumbuhan gamers secara umum. Pada 2020, pertumbuhan jumlah gamers secara umum hanya mencapai 7,8%. Sementara pertumbuhan jumlah gamers perempuan mencapai 14,8%. Di Indonesia sendiri, jumlah gamers perempuan mencapai 49% dari total gamers di Tanah Air. Sementara di Tiongkok, angka itu sedikit turun menjadi 45%.

Dari 500 juta gamers perempuan di Asia, sebanyak 483 juta (95%) bermain di platform mobile, 201 juta orang (40%) bermain di PC, dan hanya 8,5 juta orang (2%) bermain menggunakan konsol. Seiring dengan naiknya jumlah gamers perempuan, kontribusi mereka pada industri game pun terus naik. Pada 2019, gamers perempuan berkontribusi 35% pada total pemasukan industri game. Diperkirakan, angka itu naik menjadi 39% pada 2020. Sementara data dari Statista menunjukkan, pada 2017, 46% dari keseluruhan gamers merupakan perempuan.

Pembagian gamers berdasarkan umur dan gender. | Sumber: Statista

Belum lama ini, Sony juga merilis laporan tentang game. Dalam laporan tersebut, diketahui bahwa jumlah gamer perempuan yang membeli PlayStation 4/5 jauh lebih banyak dari era PlayStation 1. Pada era PS1, persentase gamers perempuan yang membeli konsol itu hanyalah 18%. Sementara di era PS4/5, jumlah gamers perempuan yang memiliki kedua konsol itu mencapai 41%.

Dari semua data di atas, bisa disimpulkan bahwa gamers perempuan sebenarnya tidak selangka unicorn. Lalu, kenapa gamers perempuan jarang ditemui? Berdasarkan riset terbaru yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, sebanyak 59% gamers perempuan menyembunyikan gender mereka ketika bermain game online. Menurut laporan GamesIndustry, alasan gamers perempuan menyembunyikan gendernya adalah untuk menghindari gangguan alias harassment. Salah seorang responden mengaku, demi menyembunyikan gendernya, dia sering memainkan karakter laki-laki di game MMORPG. Dia menjelaskan, dia melakukan hal itu untuk menghindari pemain lain merayunya serta mengirimkan item atau pesan yang tidak diinginkan.

2. Gamers Adalah Orang-Orang Anti-Sosial

Gamers sering digambarkan sebagai seorang penyendiri yang sibuk bermain game tanpa memedulikan orang lain. Padahal, sejak kemunculan game online, gamers juga sering bersosialisasi dengan satu sama lain. Berdasarkan studi berjudul Motivations for Play in Online Games yang dirilis pada 2006, ada tiga alasan mengapa seseorang bermain game. Salah satunya adalah untuk menjalin hubungan dengan pemain lain.

Mengingat manusia adalah makhluk sosial, tidak aneh jika kita selalu berusaha untuk terhubung dengan orang lain dan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Karena itulah, game-game online -- baik game kooperatif maupun kompetitif -- bisa populer. Faktanya, di Korea Selatan dan Tiongkok, bermain game masuk dalam kategori kegiatan sosial. Sebelum pandemi, Hybrid juga mengadakan  acara kumpul para gamers bertajuk Hybrid Dojo setiap dua minggu sekali. Tak hanya itu, teman sekantor saya -- yang bukan bagian dari Hybrid -- juga sering mengajak satu sama lain mabar PUBG Mobile. Hal ini menunjukkan, walau game bisa dinikmati sendiri, tapi sebagian gamers lebih suka untuk bermain game bersama orang lain.

In-game chat adalah salah satu media komunikasi di game. | Sumber: Medium

Sementara itu, studi The Journal of Computer-Mediated Communication, yang dirilis pada 2014, menemukan bahwa para gamres online tidak hanya fokus untuk melawan musuh dan menaikkan level, tapi juga berinteraksi dengan satu sama lain.

"Gamers bukanlah orang-orang anti-sosial yang selalu mengurung diri di kamar, yang merupakan stereotipe yang sering kita lihat di berbagai media pop-culture," kata Nick Taylor, Lead Author dari studi The Journal of Computer-Mediated Communication, seperti dikutip dari CNET. "Hal ini memang bukan sesuatu yang mengejutkan bagi komunitas gamers. Namun, temuan ini pantas untuk disebarluaskan ke masyarakat awam. Tidak banyak gamers yang merupakan penyendiri."

3. Bermain Game Lama = Kecanduan Game

Selain beredarnya meme tersebut, film Joker juga membuat banyak orang -- khususnya generasi muda -- yang mendadak mengaku mengalami penyakit mental, mulai dari depresi sampai Bipolar Disorder (BPD). Padahal, sebagian dari mereka mungkin hanya melakukan self-diagnose dan tidak pergi ke ahli kejiwaan. Tren ini menunjukkan bagaimana sekarang, sebagian orang mulai meromantisasi atau bahkan mengglorifikasi penyakit mental. Dan hal ini membuat sebagian orang mengaku bahwa mereka memiliki gangguan mental tertentu. Terkadang, orang mengklaim bahwa dirinya mengalami depresi, padahal dia hanya merasa sedih.

Begitu juga dengan kecanduan game. Banyak orang dengan mudahnya mengklaim bahwa dirinya atau orang lain mengidap "gaming disorder". Padahal, senang bermain dalam waktu lama bukan berarti seseorang mengalami kecanduan game. Memang, pada 2019, World Health Organization (WHO) menyatakan gaming disorder sebagai penyakit kejiwaaan. Meskipun begitu, mereka juga menjelaskan beberapa karakteristik dari orang-orang yang memang mengidap masalah gaming disorder.

WHO mengklaim gaming disorder sebagai penyakit mental pada 2019. | Sumber: TechCrunch

Dalam situs resminya, WHO menjelaskan, salah satu karakteristik pecandu game adalah kehilangan kendali akan kebiasaan bermain game. Jadi, seseorang yang mengalami gangguan gaming disorder akan kesulitan untuk membatasi waktu bermainnya. Gejala kedua, pengidap gaming disorder akan memprioritaskan bermain game di atas kegiatan lain, termasuk kegiatan yang merupakan kewajibannya, seperti belajar dan bekerja. Tak tertutup kemungkinan, pengidap gaming disorder juga akan lebih mengutamakan bermain game daripada memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makan atau mandi.

Karakteristik terakhir dari pengidap gaming disorder adalah mereka tetap bermain walau mereka telah merasakan dampak buruk dari keputusan mereka untuk terus bermain. Misalnya, seorang pelajar yang nilainya merosot karena kebanyakan bermain game tetap memilih untuk bermain game daripada belajar. Jika seseorang memiliki tiga karakteristik di atas dan ketiga gejala tersebut bertahan selama setidaknya 12 bulan, maka dia bisa dinyatakan sebagai pengidap gaming disorder.

4. Game Sama dengan Esports

Esports merupakan bagian dari game. Namun, tidak semua game memiliki esports. Pada dasarnya, definisi dari esports adalah kompetisi dengan video game sebagai alat. Sementara menurut Red Bull, esports adalah ketika para pemain terbaik di sebuah game saling beradu untuk memperebutkan hadiah.  Dengan begitu, bisa disimpulkan, salah satu karakteristik utama esports adalah kompetitif. Namun, tidak semua game fokus untuk menawarkan elemen kompetitif. Sebagian menonjolkan sisi naratif, sebagian yang lain justru menawarkan fitur kooperatif.

Hal lain yang membedakan esports dengan game adalah tujuan dari para pelaku. Dalam esports, tujuan utama para pemain profesional adalah untuk menang dan meraih gelar juara, tidak peduli game esports apa yang mereka tekuni. Lain halnya dengan game. Karena cakupan game jauh lebih luas, maka tujuan seseorang untuk bermain game pun lebih beragam. Ada orang yang bermain game demi gameplay yang menarik, ada yang lebih tertarik dengan lore atau worldbuilding yang immersive, dan ada pula orang-orang yang bermain game demi bisa bersosialisasi dengan gamers lain. Satu hal yang pasti, tujuan utama dari game adalah sebagai media hiburan.

5. Semua Pemain Profesional Punya Gaji Besar

Gaji pemain bintang yang berlaga di Premier League tentunya berbeda dengan gaji pemain dari klub yang berlaga di English Football League Two. Begitu juga dengan pemain esports. Memang, gaji pemain profesional kini menjadi terus naik seiring dengan meningkatnya popularitas esports. Sayangnya, tidak semua pemain esports bisa meniktmati gaji memadai. Besar gaji yang diterima seorang atlet esports akan tergantung pada kemampuannya. Selain itu, hal lain yang memengaruhi gaji yang pemain profesional terima adalah game yang dia tekuni. Semakin populer sebuah game, semakin besar pula potensi gaji yang seseorang bisa terima.

Gaji minimal dari pemain Overwatch League (OWL) adalah US$50 ribu per tahun. Sementara gaji rata-rata dari pemain liga League of Legends Amerika Utara (LCS) bisa mencapai US$300 ribu per tahun. Di Indonesia, gaji pemain Mobile Legends Professional League (MPL) bisa mencapai Rp7 juta. Satu hal yang harus diingat, OWL, LCS, dan MPL merupakan liga esports dengan dukungan dari publisher. Jadi, publisher bisa menentukan gaji minimal yang diterima oleh pemain profesional. Tujuannya, untuk memastikan para pemain profesional memang memberikan performa yang terbaik.

Gaji minimal pemain OWL adalah US$50 ribu. | Sumber: Upcomer

Hanya saja, tidak semua publisher mendukung skena esports dari game mereka. Bagi para pemain esports yang menekuni game-game yang kurang populer, gaji yang mereka terima pasti tidak sebesar gaji pemain dari game-game dengan skena esports yang mumpuni. Mari jadikan pemain Valorant sebagai contoh. Menurut narasumber Hybrid.co.id, gaji pemain Valorant beragam. Ada yang menerima gaji di atas Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta, ada yang menerima sekitar UMR Jakarta, dan ada juga yang menerima gaji di bawah UMR Jakarta. Sementara bagi pemain profesional dari game yang popularitasnya sudah memudar, gaji yang mereka terima bisa hanya mencapai ratusan ribu rupiah.

6. Pekerjaan Pemain Profesional Hanya Bermain Game

Pemain profesional bisa disandingkan dengan atlet profesional. Tugas para atlet esports adalah untuk terus mengasah kemampuannya bermain. Jadi, jangan heran jika seorang pemain profesional bisa menghabiskan beberapa jam sehari untuk bermain. Namun, sebenarnya, seorang pemain profesional tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bermain game. Mereka juga harus melakukan kegiatan lain, seperti berolahraga atau meninjau gameplay tim dan permainan musuh.

Liyu "Cody" Sun, pemain League of Legends, mengatakan bahwa tidur yang cukup, pola pikir yang sehat, serta kehidupan sosial yang seimbang juga penting bagi seorang pemain esports. Menurutnya, menghabiskan waktu sepanjang hari hanya untuk bermain bukanlah latihan yang efektif.

"Saya pikir, para pemain profesional yang bisa bermain di level tertinggi adalah mereka yang bisa menemukan jadwal yang sesuai untuk diri mereka sendiri dan membangun gaya hidup yang efisien -- berlatih, berolahraga, memastikan asupan gizi cukup, dan memiliki kehidupan sosial yang baik" kata Sun, seperti dikutip dari Intel.

Menurut Spectatorph, dalam sehari, pemain profesional bisa menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk berolahraga dan 1 jam lainnya untuk meninjau permainan tim. Dan waktu yang dihabiskan untuk bermain -- berlatih bersama tim maupun sendirian -- bisa mencapai 9 jam.

Sementara itu, CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP mengatakan, tugas pemain profesional memang tidak hanya bermain game. Mereka juga harus melakukan review dari gaya permainan tim maupun lawan. Soal porsi antara waktu bermain game dengan kegiatan lain non-gaming, AP menjelaskan, hal ini juga tergantung kebutuhan. "Kadang full main, kadang 50-50, kadang 80-20," ujarnya saat dihubungi oleh Hybrid. Biasanya, para pelatih dari masing-masing tim yang akan menentukan porsi latihan dari anak-anak didiknya.

7. Fans Esports Pasti Adalah Pria

Kebanyakan penonton esports merupakan gamers. Pasalnya, seseorang hanya bisa menikmati konten esports ketika mereka memahami game yang diadu. Jadi, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah gamers perempuan, tidak heran jika jumlah penonton esports perempuan juga bertambah.

Menurut data dari Statista, pada 2019, jumlah fans esports perempuan mencapai 22% dari total penggemar esports di dunia. Persentase penonton esports di masing-masing negara berbeda-beda. Di AS, jumlah fans esports perempuan hanya mencapai 17%. Sementara di Inggris, jumlah fans esports perempuan mencapai 25%, Tiongkok 30%, dan Korea Selatan 32%.

Jumlah penonton esports perempaun di masing-masing negara. | Sumber: Statista

Data dari Interpret menunjukkan, jumlah penonton esports perempuan pada Q4 2018 adalah 30,4%, naik dari 23,9% pada Q4 2016. Tia Christianson, Vice President Interpret untuk kawasan Eropa mengatakan, peningkatan sebesar 6,5% dalam 2 tahun adalah pencapaian yang signifikan. Walau dia juga sadar, perubahan dalam komunitas dengan populasi besar akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kabar baiknya, pertumbuhan jumlah penonton esports perempuan menunjukkan bahwa komunitas esports memang tengah berubah ke arah yang benar, yaitu ke kesetaraan gender.

Kesimpulan

Manusia punya kecenderungan untuk mewaspadai sesuatu yang mereka tidak pahami. Karena itu, orang-orang terkadang menjadi takut akan hal-hal baru, termasuk game dan esports. Jadi, wajar jika muncul berbagai asumsi salah akan industri game dan esports. Misalnya, pada sekitar tahun 1988-1992, muncul ketakutan bahwa game-gametable-top RPG (TTRPG), seperti Dungeons and Dragons, merupakan cara baru untuk mempromosikan satasnime, pornografi, dan bahkan pembunuhan. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap berpikir kritis dan tidak mempercayai informasi yang didapatkan begitu saja. After all, assume makes an ass out of u and me.