Seminggu ini banyak berita besar di bisnis pengantaran makanan di Indonesia. Uber mengumumkan salah satu layanannya UberEats akan hadir di 24 negara, salah satunya Indonesia. Foodpanda sendiri resmi menutup layanannya di Indonesia dan mengalihkan fokusnya ke pasar Eropa Timur dan Timur Tengah.
Tutupnya Foodpanda, kemungkinan besar tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap persaingan bisnis jasa kurir makanan di Tanah Air. Namun, kita tidak bisa meremehkan kekuatan Uber.
[Baca juga: foodpanda Indonesia Resmi Tutup Layanan]
Perlahan tapi pasti, menginjak usia dua tahun di Indonesia, Uber mulai melengkapi layanannya. Dengan hadirnya UberEats, otomatis posisi Uber semakin head-to-head dengan kompetitor terbesarnya di Indonesia, Go-Jek dan Grab.
Di Amerika Serikat, UberEats merupakan pemain dominan. UberEats diluncurkan pertama kali di Los Angeles di 2014, kemudian berkembang hingga 36 kota di 6 negara.
Go-Food sebagai pemimpin jasa kurir makanan on-demand
Seperti kita ketahui, Go-Food merupakan pelopor jasa on-demand yang mengembangkan layanan kurir makanan. Go-Food diperkenalkan pertama kali pada April 2015. Saat itu, Go-Food sudah dapat dilayani oleh ratusan ribu armada Go-Jek terdaftar dan telah terintegrasi dengan lebih dari 15 ribu tempat makanan di Jabodetabek dalam 23 kategori, mulai dari warung kaki lima hingga restoran mewah.
Strategi ini diungkapkan Alamanda Shantika, mantan VP Product Technology Go-Jek. Beberapa waktu yang lalu, sebagai pembicara untuk peluncuran program inkubator di Jakarta, Alamanda mengungkapkan awalnya tujuan Go-Jek tidak ingin menjadi head-to-head dengan Foodpanda. Pasalnya, Foodpanda adalah pemain utama untuk segmen tersebut.
Pendekatan yang dipilih pihak Go-Jek, sambungnya, terbilang cukup berbeda. Daripada mengunjungi satu per satu pemilik restoran untuk diakuisisi, Go-Jek lebih memilih memiliki database restoran di Jabodetabek untuk dimasukkan ke dalam sistem dan aplikasi Go-Jek.
“Kami memandang cara Foodpanda mengakuisisi restoran terbilang cukup lama. Harus satu per satu mengunjungi restoran. Makanya kami coba cara akuisisi yang berbeda. Jujur waktu itu tidak ada sama sekali rencana membuat Foodpanda jadi saingan utama Go-Jek. Kami hanya melihat listing restoran di Foodpanda terbatas, sedangkan kami ingin membantu konsumen menemukan tempat makan favorit mereka,” ujarnya.
Alhasil upaya ini berhasil membuat Go-Food sebagai salah satu fitur terfavorit Go-Jek. Dari situ, Go-Jek mendapat sumber pendapatan baru lewat kerja sama dengan restoran yang sudah mencantumkan label free delivery di aplikasi.
“Awalnya kami cuma berpikir sumber pendapatan Go-Jek hanya dari konsumen saja. Kini dengan kerja sama dengan restoran lewat Go-Food Partner, kami mendapat penghasilan tambahan.”
Dalam kesempatan lain, Nadiem Makarim, CEO dan Founder Go-Jek, pernah menyebut pihaknya mempelajari lewat Go-Food ada ciri khas dari orang Indonesia. Bahwa mereka lebih senang dengan makanan kaki lima, meski lokasinya harus masuk ke gang pedalaman.
“Lewat Go-Food, kami jadi tahu kebanyakan pengguna senang menggunakannya karena dapat menjangkau tempat makan kaki lima yang mereka sukai, meski lokasinya harus masuk ke pedalaman gang.”
Seiringnya waktu, Go-Food kian mendapat hati di masyarakat Indonesia. Terbukti, saat ini layanan tersebut sudah hadir di 10 kota dan bermitra dengan lebih dari 7.000 partner dari 35.000 restoran yang telah terdaftar.
Geliat Go-Food yang terbilang cukup sukses membuat Grab akhirnya ikut mencoba meraih peluang di segmen ini dengan membuat layanan serupa bernama GrabFood pada Mei 2016 untuk penggunanya di Jakarta. Versi beta GrabFood sementara ini baru bisa beroperasi di area Senayan, SCBD, Semanggi, dan Kuningan.
Uber perlu langkah pintar
Kepada DailySocial, Adrian Li, Managing Partner Convergence Ventures, mengatakan tidak ada yang bisa menyangkal potensi pengiriman jasa antar makanan on-demand di kota besar Indonesia tumbuh sangat pesat. Kombinasi keduanya membuat tingkat kemakmuran masyarakat kelas menengah, juga jumlah industri food and beverages (F&B), tumbuh pesat. Hal ini telah memicu simbiosis yang sehat antara permintaan dan penawaran untuk menawarkan makanan siap saji.
Go-Food, menurut Li, telah berhasil mengambil keuntungan dari faktor fundamental tersebut dengan tepat dan membuat jutaan penggunanya merasa nyaman. Kendati demikian, sambungnya, pasar Indonesia terlalu besar bila hanya dinikmati oleh Go-Food saja. UberEats perlu mengambil langkah yang cerdas, jangan sampai mengambil jalan yang sebelumnya telah dilakukan oleh Foodpanda.
Sebagai penantang baru, Li sarankan agar UberEats tidak mengambil posisi head-to-head dengan Go-Food, kecuali kalau pihak Uber punya dana yang besar untuk mengambil alih perhatian pengguna. Uber perlu mengambil beberapa strategi alternatif yang lebih murah dan lebih efektif untuk menyerang kelemahan Go-Food.
“Misalnya, saat jam sibuk dan cuaca buruk biasanya pengguna gagal memesan lewat Go-Food karena kurangnya pasokan pengemudi Go-Jek yang bersedia. Padahal momen seperti ini jadi terpenting bagi orang yang benar-benar ingin memesan makanan karena berbagai alasan, entah itu hujan atau terjebak di kantor. Penyedia layanan seperti itu dapat mengisi kesenjangan, sehingga akhirnya dapat memenangkan hati pelanggan.”
Li melanjutkan, Uber juga perlu menemukan cara untuk membedakan dengan perusahaan petahana. Contohnya mengumpulkan berbagai variasi restoran yang terhubung dengan platform direktori makanan dan menjadi mitra, misalnya dengan Qraved atau MokaPOS.
Uber dapat terus mengkhususkan diri dengan mengoptimalkan logistik makanan sebagaimana mereka mengefisienkan pengguna lewat sistem sharing dari layanan UberPool.
“Pada akhirnya keberhasilan Uber itu karena pengalaman pengguna yang baik dan pendekatan data yang tepat dalam mengukur pasokan ketersediaan pengemudi. Jika Uber dapat melakukan hal yang sama untuk UberEats, ini bisa jadi faktor kunci sukses. Uber akan memiliki kesempatan yang sangat baik untuk bermain di segmen jasa kurir makanan.”