Dark
Light

Mengukur Peran Media Game di Ekosistem Esports Indonesia

9 mins read
October 17, 2019

Douglas Rushkoff (Throwing Rocks at the Google Bus, 2017) berargumen bahwa industri yang sehat adalah industri yang memiliki sirkulasi dana yang luas dan cepat. Pasalnya, dengan sirkulasi dana yang luas dan cepat, setiap pihak yang berkepentingan bisa terus bertahan dan memainkan perannya masing-masing. Sebaliknya, industri yang tidak sehat adalah industri yang hanya berusaha menggemukan 1-2 pihak saja karena model yang seperti ini justru memiskinkan banyak pelaku lainnya.

Lalu apa hubungannya argumentasi Rushkoff tadi dengan media game dan ekosistem esports di Indonesia? Besarnya anggaran esports yang berputar di ekosistem kita masih belum dapat dinikmati oleh para pelaku media game dan esports. Bahkan, jika mau lebih seksama melihatnya, baru 2 komponen di ekosistem esports yang bisa menuai banyak keuntungan saat ini: organisasi (tim) dan event organizer esports.

Jangankan media, publisher game-nya sendiri sebenarnya juga belum sebanyak itu mendapatkan keuntungan dari esports-nya. Memang, pendapatan dari penjualan item mall (in-app purchase) buat sejumlah game publisher bisa mencapai miliaran Rupiah setiap bulannya (meski sayangnya, saya tidak bisa menyebutkan nama publisher atau sumber informasi saya di sini). Namun demikian, tidak banyak pendapatan langsung yang diterima publisher dari setiap gelaran esports game mereka; seperti pendapatan yang diterima Valve setiap kali menggelar The International, berkat penjualan Battle Pass.

Korelasi yang jelas antara besaran pendapatan dari in-app purchase dengan ramainya ajang esports tiap game pun sebenarnya juga masih belum terdefinisikan dengan gamblang. Rata-rata memang masih hanya berpendapat soal esports sebagai sarana marketing dari game tersebut. Itu pun juga masih belum bisa dipastikan efektivitasnya.

Mungkin lain waktu kita akan membahas lebih dalam soal korelasi antara pendapatan publisher dengan ajang esports karena kali ini saya ingin membahas lebih jauh soal peran media game dan esports di dalam ekosistem kita.

Untuk membahas hal ini, saya telah mengajak berbincang beberapa kawan-kawan saya yang tahu punya cukup pengalaman soal media game. Kawan-kawan saya yang saya ajak berbincang kali ini adalah Michael Samuel (Editor-in-Chief untuk EsportsID), Bambang Tri Utomo (COO dari IndoEsports), Edi Kusuma (Pendiri Hasagi dan mantan Editor untuk VGI), dan salah seorang lagi yang menolak untuk disebutkan namanya di sini (sebut saja Mawar namanya). Izinkan saya juga menuangkan pendapat saya di sini karena saya juga memang punya pengalaman spesifik berkarier di media game dari 2008, di media cetak ataupun digital.

Kondisi Media Game dan Esports Sekarang

Sebelum kita menggali lebih dalam soal peran media di ekosistem, ada baiknya kita melihat sebentar pada kondisi media game dan esports di Indonesia saat ini. Dari pengakuan kawan-kawan, baik yang saya sebutkan tadi ataupun yang tidak, kondisi keuangan kebanyakan media game saat ini memang masih bleeding alias lebih besar pengeluaran daripada pendapatan.

Kalaupun ada pendapatan yang cukup besar, biasanya hal tersebut datang (atau setidaknya lebih besar) dari penyelenggaraan event — bukan seperti layaknya sumber pendapatan media zaman cetak dulu (iklan display, advertorial, ataupun banderol harga yang harus dibayarkan oleh pembaca).

Esports Indonesia
Esports market trend report 2019. Sumber: DailySocial

Ada banyak faktor sebenarnya yang membuat kondisi industri media digital berubah drastis dibanding zaman sebelumnya. Berhubung supaya tidak jadi buku ratusan halaman, saya hanya akan menyebutkan beberapa hal yang menurut saya relevan dengan bahasan kita kali ini.

Pada zaman sebelum digitalisasi, media memiliki peran besar dalam mengatur arus informasi. Media, zaman itu, bahkan juga bisa saja semena-mena menutup keran informasi tentang sebuah cerita, kasus, atau apapun itu. Maka dari itu, para diktator negara juga biasanya tahu betul bahwa pengekangan arus informasi menjadi sebuah kunci keberlangsungan suatu rezim.

Kala itu, kekuasaan memegang arus informasi juga terbagi menjadi 3 kanal besar yaitu televisi, radio, dan media cetak. Pembagian 3 kanal besar ini berkaitan erat dengan industri periklanan yang sebelumnya jadi mata air utama pendapatan perusahaan media. Pasalnya, ketika itu, tidak ada 1 ruang atau platform beriklan yang mampu mencapai semua pengguna. Sekarang, pasca digitalisasi media, ada duopoli Google dan Facebook yang mungkin bisa dibilang mencakup gabungan pengguna 3 kanal tadi. Dengan demikian, media tidak lagi menjadi ruang beriklan yang utama atau setidaknya sudah tidak jadi satu-satunya ruang beriklan. Meski memang, masih ada banyak juga pelaku industri yang percaya untuk menjaga hubungan baik dan menghidupi media agar terus menjaga perannya dalam sebuah ekosistem industri.

Sayangnya, di industri game atau esports saat ini, mayoritas para pelakunya lebih suka menggunakan Google atau Facebook (serta turunannya) sebagai ruang beriklan, publikasi, ataupun menyebarkan informasi. Hal inilah yang jadi salah satu faktor terbesar terhadap minimnya pendapatan media game saat ini.

Ketika saya masih di media cetak dulu, media game mendapatkan pemasukkan paling banyak dari publisher game lokal (Lyto, Megaxus, WaveGame, dkk.). Sekarang, publisher lokal yang tadinya menguasai industri game nasional sudah tergerus kencang oleh publisher internasional. Sedangkan publisher internasional tadi memang mayoritas lebih suka menggunakan Facebook atau Google untuk beriklan. Di sisi lain, Facebook dan Google memang nyatanya mampu menawarkan harga iklan yang lebih terjangkau, yang bahkan bisa dibeli secara ‘eceran’.

Mawar, yang awalnya lebih memilih diam di sudut meja saat kami duduk bersama di sebuah kafe di sekitaran SCBD, tiba-tiba mengatakan, “(melihat kondisi pendapatan media game sekarang,) ajaib jika (sejumlah media game) masih hidup.”

Itu tadi jika kita melihat faktor eksternalnya. Jika melihat sisi medianya sendiri, sayangnya, memang ada banyak hal yang mungkin bisa dibenahi ataupun ditambah.

Pertama, media digital antara satu dengan yang lainnya memang lebih saturated dibanding zaman cetak dulu. Hal ini juga terjadi di media yang spesifik membahas game dan esports. Maksudnya, ciri khas masing-masing media (termasuk media game) jadi tidak terlalu terlihat. Seingat saya, dulu perbedaan antara HotGame, GameStation, dan PC Gamer itu jelas sekali terlihat. 3 majalah game tadi juga setahu saya mengincar target pasar yang tidak sama persis dan menyuguhkan artikel eksklusifnya masing-masing.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Mike, panggilan sayang dari Michael Samuel, juga setuju bahwa memang media game yang seharusnya bisa menunjukkan ciri khasnya masing-masing. Ia juga menambahkan bahwa media tak bisa sepenuhnya menyalahkan para pengiklan karena ada tuntutan adaptasi yang harus dijalani para pelaku media. Adaptasi untuk terus bertahan ini akan saya lanjutkan pembahasannya di bagian selanjutnya namun ada juga persoalan adaptasi yang berpengaruh terhadap kondisi media game saat ini.

Faktor internal kedua yang menurut saya sedikit banyak berpengaruh pada kondisi media game saat ini ada di para pengambil kebijakannya. Mereka-mereka yang punya pengalaman membesarkan media justru kalah suaranya dengan mereka yang belum punya ataupun minim pengalaman. Faktanya, membesarkan sebuah media itu tidak mudah. Setidaknya, jelas tidak seperti memperlakukan layaknya akun-akun anonim di media sosial karena ada kode etik dan kredibilitas (baik brand media ataupun nama baik para jurnalisnya) yang harus dijaga.

Antara Media, Media Sosial, dan Influencer

Jika berbicara soal media, apalagi di ekosistem gaming dan esports, saya kira perlu juga dibuat satu bahasan khusus yang membandingkannya dengan media sosial atau malah influencer.

Menurut Edi, atau yang biasanya lebih dikenal dengan Edel, media itu seharusnya bisa menawarkan informasi yang lebih kredibel ketimbang media sosial. Ia juga menambahkan media sosial biasanya lebih cenderung untuk menggiring opini, ketimbang menyajikan fakta. Namun demikian, menurut Edel juga, perbedaan antara media dan media sosial juga sebenarnya bergantung pada selera si pembacanya. “Apakah lu mau berita yang cepet dan rame atau mau berita yang bisa dipertanggungjawabkan.” Ujarnya.

Sedangkan jika dibandingkan dengan influencer, Edel berpendapat bahwa influencer memang hanya bisa menyatakan pendapat pribadinya dan bisa saja merasa selalu benar. Sedangkan media seharusnya bisa lebih netral dan mencoba meluruskan informasi sesuai dengan fakta yang ada.

Sumber: GoodRebels.com
Sumber: GoodRebels.com

Sang COO IndoEsports yang mengaku lebih suka dipanggil Tommy juga menambahkan pendapatnya mengenai perbedaan antara media dengan media sosial dan influencer. Menurutnya, ada 2 jenis berita yang harus dipahami, “berita yang kita MAU tahu dan yang kita PERLU tahu.”

Pendapatnya senada juga dengan yang disampaikan oleh Mike. “Media itu tidak hanya soal hiburan tapi juga menyuguhkan informasi.” Kata Editor-in-Chief yang telah melanglang buana di industri game Indonesia.

Mawar juga mengamini bahwa media memang punya batasan yang jauh lebih banyak dibanding media sosial dan influencer.

Meski demikian, saya sendiri percaya sebenarnya media, (akun) media sosial, ataupun influencer bisa bersinergi membangun ekosistem asalkan memang perannya masing-masing disadari oleh banyak pihak. Konsepnya sederhana namun kenyataannya memang tidak mudah dijalankan. Karena tidak jarang media memang tidak mungkin secepat, sefrontal, ataupun semurah media sosial ataupun influencer. Pasalnya, media jelas statusnya sebagai perusahaan yang bayar pajak, harus mengikuti sekian banyak batasan (ataupun undang-undang), dan harus mendapatkan keuntungan agar bisa bertahan lama.

Peran Media Game di Ekosistem

Worst case, apa yang terjadi jika media-media niche yang khusus membahas esports dan game tak mampu bertahan? Apa yang akan terjadi dengan ekosistem esports Indonesia?

Mawar berpendapat bahwa media-media portal (yang punya berbagai kanal) yang akan jadi lebih aktif membahas game dan esports. Namun demikian, media-media tersebut tetap saja tidak akan bisa membahas lebih banyak atau lebih dalam soal esports dan game. Kecuali, mereka akan menarik para penulis atau jurnalis yang memang punya spesialisasi expertise di sini. Namun jika media-media portal yang akhirnya membahas game dan esports juga tidak mampu mendatangkan penghasilan dari industri atau ekosistem ini, mustahil juga mereka menjadikan topik bahasan game dan esports sebagai prioritas.

Saat ini, media-media mainstream (yang bukan niche) memang sudah mencoba memasukkan topik bahasan game dan esports namun, sejauh yang saya tahu, mereka masih sebatas testing the water. 

Andai saja kondisi terburuk tadi memang terjadi, kondisinya mungkin akan sama dengan ekosistem olahraga di Indonesia saat ini. Bahkan media-media yang khusus membahas sepak bola pun tidak sedikit yang gulung tikar. Saya tahu ini karena memang ada media esports di Indonesia yang mayoritas isinya mantan jurnalis bola. Itu tadi masih sepak bola yang merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Kita belum berbicara soal exposure dan publikasi untuk olahraga-olahraga lain seperti basket, voli, bulu tangkis, dan kawan-kawannya.

Sumber: Bola.net
Sumber: Bola.net

Jika melihat publikasi dan exposure sepak bola, hal yang serupa juga dilakukan oleh sejumlah organisasi esports karena setiap tim besar punya kanal YouTube mereka masing-masing seperti Persija, Persib, ataupun Persebaya.

Dengan adanya media mainstream yang juga bisa membahas esports ataupun game secara umum dan kemudahan setiap pelaku industri (organisasi esports, EO, publisher) punya ruang distribusi publikasi sendiri, nilai jual media game dan esports memang jadi terlihat semakin kecil.

Maraknya platform yang mengijinkan user-generated content (YouTube, Facebook, Instagram, Twitch, Twitter) membuat banyak orang memang jadi menganggap membuat konten dan publikasi itu mudah dan murah. Namun, faktanya, expertise itu tidak pernah mudah apalagi murah jika memang ingin berkelas (yang bukan picisan). Sayangnya, memang lebih banyak orang-orang berpikiran dangkal yang lebih suka menyederhanakan segala sesuatunya dan tak mampu (atau mau) melihat setiap hal dari berbagai perspektif.

Misalnya tadi soal akses mudah ke platform user-generated content, banyak pelaku industri (dari semua sisi, termasuk produsen konten ataupun sponsor) menjadikan kuantitas semata sebagai tolak ukur utama dan bahkan rela mengorbankan banyak hal demi tujuan tadi. Banyak yang jadi tidak sadar bahwa kemudahan akses ruang publikasi ataupun distribusi konten itu justru membuat tolak ukur lain selain kuantitas (viewer, trafficsubscriber, dkk.) semakin dibutuhkan dan penting untuk dirumuskan.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena nyatanya, video anak kecil makan bakso saja bisa mengalahkan popularitas video dari pro player. Nyatanya, saat artikel ini ditulis, jumlah subscriber Najwa Shihab bahkan di kisaran angka yang sama dengan sang anak kecil tadi. Dengan mudahnya akses publikasi dan distribusi konten, keahlian dan keberhasilan jadi tidak bisa semata-mata dinilai dari popularitas.

Maksud saya menjabarkan hal tadi karena saya kira penting juga untuk disadari bahwa ruang publikasi dan distribusi yang mudah dan murah itu juga menuntut pertimbangan yang lebih jauh dari yang kelihatan jelas di permukaan. Sampai hari ini, memang saya tahu juga ada beberapa pelaku di esports, seperti EO, yang sudah menyadari pentingnya peran dan expertise media dan mengalirkan dana ke sana (thanks buat kliennya Hybrid wkwkwkwk…) namun masih banyak juga yang belum sampai memikirkan bagaimana nasib para pekerja media game dan esports.

Namun demikian, di sisi lain, kembali ke perkataan Mike tadi memang media game dan esports juga harus beradaptasi dan upgrade kelas untuk terus bertahan dan memainkan perannya dalam ekosistem.

Saya sepenuhnya setuju soal adaptasi dan upgrade tadi karena, menurut saya, banyak media juga belum mampu menunjukkan ciri khasnya masing-masing dan menyuguhkan konten yang benar-benar berkualitas. Mungkin karena memang standar rekrutmen atau gajinya juga terlalu rendah (nyahahaha). Tidak jarang media juga malah jadi sekadar pengikut tren dan bahkan malah mengambil peran influencer ataupun akun anonim yang lebih suka terlibat atau malah memulai kegaduhan dan keonaran yang tidak berfaedah (alias drama).

Adaptasi dalam mencari pendapatan juga sebenarnya bisa dilakukan kawan-kawan media game yang memang memiliki keahlian di sana, asalkan juga disadari oleh tim, event, ataupun sponsor yang memang memahami pentingnya brand image-nya masing-masing. Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, adalah memainkan peran media relation. Perusahaan media game yang punya orang-orang berkualitas, seperti kawan saya Mike, Mawar, ataupun yang lain-lainnya juga sebenarnya mampu menawarkan knowledge soal esports ataupun game yang mendalam namun juga tahu bagaimana membuat rilis ataupun bentuk publikasi lain yang lebih proper. Membangun kerangka narasi besar yang ingin dibentuk untuk jangka panjang serta implementasinya juga bisa dilakukan jika disadari kebutuhannya oleh para pelaku.

Sekali lagi, expertise jurnalistik dan berbahasa itu tidak mudah. Saya kira hal ini juga penting untuk disadari betul oleh para pelaku industri. Pasalnya saya sudah beberapa kali mendengar seperti ini, “menulis itu kan gampang, Bes…” Hmmm, bagi saya, jangan pernah mengaku bisa berbahasa jika belum bisa membedakan antara kata kerja, kata sifat, dan saudara-saudaranya. Itu tadi bahkan masih pengetahuan dasar berbahasa, belum sampai keahlian untuk merangkainya menjadi sebuah cerita karena masih ada soal kekayaan diksi, koherensi antar paragraf, penjabaran argumentasi, ataupun segudang hal lainnya. Ini juga masih soal berbahasa juga belum sampai soal kode etik jurnalistik.

Expertise inilah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan lebih variatif jika memang disadari oleh berbagai pelakunya, seperti beberapa contoh yang saya sebutkan tadi.

Akhirnya, bisa jadi saya memang bias dalam memandang peran media game di dalam ekosistem ini. Namun saya sangat percaya bahwa peran media sebagai ruang informasi dan edukasi terbuka yang bermartabat dan berpatutan punya andil besar sebagai salah satu dari pilar-pilar penting: media, komunitas (di dalamnya termasuk influencer, pekerja perorangan, dkk), EO, sponsor, tim/organisasi, dan publisher; dalam membangun industri esports yang berkesinambungan.

Sumber Header: IGN

Dengan persyaratan menggandeng BUKU 4, Bank Mandiri mengajukan perizinan cross border e-wallet untuk Alipay ke Bank Indonesia
Previous Story

Gandeng Alipay, Bank Mandiri Ajukan Izin “Cross Border E-Wallet” ke Bank Indonesia

Goers melebarkan bisnisnya melalui kehadiran platform pengelolaan event, atraksi, dan bisnis experience
Next Story

Platform Pengelolaan Event “Goers Experience Manager” Resmi Meluncur, Wadahi Kreator Lokal

Latest from Blog

Don't Miss

Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu

Review Realme 12 Pro+ 5G, Smartphone Mainstream dengan Zoom Periscope Paling Terjangkau

Realme 12 Pro+ 5G merupakan smartphone paling baru dari realme di