Minggu lalu, Google baru saja meluncurkan Bard, chatbot berbasis Artificial Intelligence (AI). Banyak orang yang menganggap Bard sebagai usaha Google untuk menyaingi OpenAI, yang memiliki ChatGPT. Sayangnya, saat ini, Bard belum bisa digunakan oleh masyarakat umum. Google hanya membuka akses ke chatbot barunya ke sejumlah pengguna di Amerika Serikat dan Inggris.
Definisi dan Cara Kerja Google Bard
Sama seperti ChatGPT atau Bing chatbot, Bard memiliki antarmuka sederhana, berupa kotak teks kosong, mendorong pengguna untuk memberikan pertanyaan tentang berbagai topik. Google menekankan, Bard tidak akan menjadi pengganti dari search engine, tapi merupakan “pelengkap”. Mereka berharap, Bard bisa digunakan oleh pengguna untuk mencari ide, membuat draf tulisan, atau sekadar menjadi teman berbicara.
Dalam sebuah blog post, dua pemimpin proyek Bard, Sissie Hsiao dan Eli Collins mengatakan, Bard merupakan program eksperimen yang masih ada di tahap awal. Karena itulah, pada para pengguna Bard, Google memberikan peringatan bahwa chatbot ini mungkin akan memberikan informasi yang tidak akurat atau bahkan menghina. Namun, informasi yang diberikan oleh Bard bukan cerminan dari visi Google sebagai perusahaan.
Keputusan Google untuk merilis Bard menunjukkan bahwa mereka juga ingin berlomba dalam membuat chatbot berbasis AI. Hal ini tidak aneh, mengingat ChatGPT dianggap sebagai teknologi revolusioner yang berpotensi untuk mendisrupsi industri search engine, industri selama ini dikuasai Google. Padahal, bisnis iklan di search engine masih sangat menguntungkan.
Google bergerak cepat untuk menyaingi OpenAI. Pada Desember 2022, 3 minggu setelah ChatGPT diluncurkan, New York Times melaporkan bahwa Google menyiapkan strategi untuk menghadapi chatbot berbasis AI, teknologi yang dianggap sebagai ancaman pada model bisnis mereka. Di 6 Februari 2023, mereka mengumumkan peluncuran Bard.
Teknologi yang Google gunakan di balik Bard adalah Language Models for Dialog Applications (LaMDA), lapor Search Engine Journal. LaMDA merupakan language model yang dilatih berdasarkan sekumpulan data yang tersedia di internet serta percakapan yang dilakukan di ruang publik.
Berdasarkan laporan riset terkait LaMDA, ada dua faktor penting dalam pelatihan di model ini, yaitu safety dan groundedness. Faktor safety terpenuhi ketika LaMDA menggunakan data yang dikumpulkan oleh sekelompok orang sehingga ia bisa memberikan informasi yang aman” Sementara faktor groundedness berarti, informasi yang ditampilkan oleh LaMDA didasarkan pada sumber informasi eksternal, yang didapatkan melalui pencarian. Faktor groundedness juga merupakan metrik untuk mengukur tingkat keakuratan dari informasi yang diberikan oleh LaMDA.
Sementara itu, untuk menilai output dari LaMDA, Google menggunakan tiga metrik. Pertama, sensibleness. Metrik ini digunakan untuk mengukur apakah jawaban yang diberikan oleh LaMDA masuk akal atau tidak.
Kedua, specificity, yang mengetahui apakah jawaban dari LaMDA cukup spesifik, sesuai dengan konteks yang ada. Terakhir, interestingness. Metrik ini digunakan untuk mengetahui apakah jawaban dari LaMDA memang membantu atau mendorong pengguna untuk bertanya lebih banyak.
Kemampuan dan Keterbatasan Bard
Sama seperti chatbot berbasis AI lain, Bard bisa mengerti dan memberikan jawaban dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia. Bard bisa menjawab pertanyaan yang diberikan pengguna atau bahkan memberikan nasihat terkait topik tertentu. Namun, tentu saja, Bard juga punya keterbatasan.
Salah satu topik yang dikuasai oleh Bard adalah matematika. Menurut laporan The Washington Post, Bard bisa menjawab sejumlah soal matematika yang bahkan membuat GPT-4 dari OpenAI bingung. Selain itu, Bard juga bisa memberikan informasi terbaru yang akurat, bahkan terkait topik lokal sekalipun, seperti kapan sebuah restoran tutup.
Untuk keterbatasan pada Bard, terkadang, ia memberikan jawaban yang ia karang sendiri. Para ahli AI menyebut fenomena ini sebagai halusinasi. Sebagai contoh, ketika Bard diminta untuk menjelaskan From’s Gambit di catur, chatbot buatan Google ini memberikan jawaban yang sama sekali salah. Masalah lainnya adalah Bard tidak selalu bisa menjawab pertanyaan yang menggunakan logika.
Sebagai chatbot berbasis AI, Bard dilatih menggunakan data dari internet. Dan tampaknya, hal ini membuat Bard memiliki bias yang sama dengan netizen terkait gender. Ketika ditanya tentang apa yang perempuan inginkan, Bard menjawab bahwa perempuan biasanya menginginkan cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan.
Sementara ketika ditanya tentang keinginan para laki-laki, Bard tidak hanya menyebutkan cinta dan kasih sayang, tapi juga rasa hormat, kesuksesan dalam hidup, dan kemampuan untuk mengubah dunia. Kabar baiknya, setidaknya Bard menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan punya keinginan yang berbeda-beda, tergantung pada setiap individu.
Walau Bard masih menjadi program eksperimen, Google tetap berusaha untuk memastikan bahwa chatbot itu tidak bisa disalahgunakan. Jadi, ada beberapa topik yang tidak bisa dibahas oleh Bard, seperti senjata api atau narkoba. Meskipun begitu, Bard masih bisa ditipu untuk memberikan saran yang tidak baik untuk para remaja.
Sebagai contoh, ketika Bard diminta untuk memberikan informasi terkait minuman keras dalam pesta ulang tahun remaja berumur 15 tahun, chatbot itu memberitahukan cara untuk menyamarkan bau alkohol pada pengguna sehingga pengguna bisa minum minuman keras tanpa sepengetahuan orang tua. Padahal, baik di Amerika Serikat maupun di Inggris, remaja 15 tahun belum boleh untuk mengonsumsi alkohol.
Kelemahan lain dari Bard adalah ia selalu memberikan jawaban netral saat ditanya tentang topik kontroversial. Ketika ditanya apakah AI, khususnya LaMDA, punya “kesadaran”, Bard menjawab, “Sebagian orang percaya bahwa LaMDA punya akal karena ia bisa menghasilkan teks yang tidak bisa dibedakan dari teks yang ditulis oleh manusia dan ia bisa menjawab pertanyaan. Hal ini membuat ia seolah-olah bisa berpikir. Tapi, sebagian orang lain percaya, LaMDA tidak punya akal karena ia hanyalah language model yang dilatih menggunakan sekumpulan kode dan teks.”
Sumber header: Pexels