Dark
Light

Memprediksi Sektor Populer Startup Indonesia Tahun 2017

8 mins read
March 6, 2017
Tokopedia, salah satu startup di sektor e-commerce Indonesia / DailySocial - The Jakarta Post

Data terakhir APJII menyebut penetrasi pengguna internet di Indonesia pada 2016 mencapai 132,7 juta dari total populasi 256,2 juta orang. Sementara perangkat yang dipakai untuk mengakses internet dari smartphone sebanyak 63,1 juta.

Kegiatan belanja sampai cara mendapatkan layanan transportasi kini bisa dilakukan secara online. Salah satu startup on-demand terpopuler Go-Jek bahkan secara publik telah mencapai tahap unicorn atau bervaluasi lebih dari $1 miliar (lebih dari 13 triliun Rupiah).

Dalam laporan Startup Teknologi Indonesia 2016, DailySocial melakukan survei ke sejumlah investor tentang sektor apa yang menjadi primadona dan fokus mereka tahun ini. Berdasarkan kompilasi tersebut, 4 sektor yang diperkirakan menjadi bakal menjadi pusat perhatian adalah fintech (teknologi finansial), e-commerce, Software-as-a-Service (SaaS), dan on-demand atau service marketplace.

Fintech

Fintech merupakan pengembangan industri jasa keuangan yang sangat bergantung dengan internet dan inovasi digital. Fintech hadir karena ada segmen layanan keuangan konvensional yang belum bisa menjangkau berbagai kalangan masyarakat.

Group CEO C88 John Patrick Ellis, yang memiliki layanan e-commerce finansial CekAja di Indonesia, mengatakan tahun lalu Indonesia mengalami kebangkitan besar di bidang fintech. Banyak usaha yang bergerak di fintech mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan dominan dan menjadi pemain besar yang banyak membantu perkembangan industri jasa keuangan.

Menurut Ellis, optimisme yang membuat CekAja yakin dengan perkembangan fintech terletak di penetrasi pasar keuangan yang terbilang rendah. Masih banyak yang belum menjamah seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini disebut Ellis sebagai “double growth factor“, yakni layanan keuangan terus bertumbuh yang diiringi dengan pertumbuhan teknologi.

“Kedua hal ini saling mendukung. Karena itulah, sektor fintech [di Indonesia] diprediksi akan memiliki tiga sampai lima perusahaan unicorn di [tahun] 2020.”

Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya juga angkat suara mengenai potensi fintech, terutama peer-to-peer lending (P2P lending). Reynold mengatakan kehadiran Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada penghujung tahun lalu menjadi trigger yang kuat untuk pengembangan bisnis P2P lending ke depannya.

Kehadiran regulasi, sambungnya, membuat masyarakat Indonesia jadi semakin percaya dengan bisnis P2P lending sudah diakui dan diawasi oleh OJK. Modalku mengklaim pada tahun lalu telah menyalurkan sekitar Rp 60 miliar dengan kredit macet masih 0%.

“Kami tidak terlalu peduli dengan volume bisnis tapi bagaimana bisa scaling bisnis dengan benar. Sekarang kami mau mengarah ke smartphone agar proses jadi lebih cepat, konsentrasinya adalah convert orang-orang dari konvensional untuk beralih ke smartphone.”

Pernyataan Reynold didukung Direktur Utama Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro. Eddi mengatakan kehadiran berbagai regulasi yang mengatur tentang fintech pada dasarnya bertujuan untuk melindungi nasabah. Hal ini juga membuat fintech jadi lebih makin matang dan memancing kehadiran para pemain baru. Eddi menilai dari segi nilai, investasi ke sektor fintech diperkirakan akan tumbuh setidaknya 50% dan mungkin bisa tumbuh 100% atau lebih.

Mengingat fintech sangat bergantung pada perkembangan teknologi digital, baik CekAja maupun Modalku menekankan pada pentingnya implementasi penerapan tanda tangan digital. Reynold menjelaskan tanda tangan digital merupakan bagian utama proses know your customer (KYC) bagi pemain fintech untuk menjangkau nasabah ke seluruh pelosok Indonesia.

Meski pemerintah sudah mengeluarkan tanda tangan digital, namun OJK sebagai pihak otoritas sertifikat (CA) belum menunjuk suatu lembaga untuk menjalankan mandatnya menjalankan kegiatan tersebut. Hal ini, menurut Reynold, perlu didorong.

“Infrastruktur di fintech harus kuat, bagaimana fintech bisa menyentuh segala pelosok Indonesia. Satu-satunya cara adalah dilakukan secara digital, maka dari itu tanda tangan digital harus diperjelaskan. Ini kan bagian dari proses KYC,” kata Reynold.

Ellis menambahkan, “Penerapan tanda tangan digital yang akan dilaksanakan oleh pemerintah di 2017 ini dapat memajukan fintech dengan dasar inklusi keuangan yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan bisnis di Indonesia jadi lebih baik. Kami berharap regulasi mengiringi lainnya juga dapat mendukung dan memudahkan layanan perusahaan fintech.”

Di sisi lain, menurut Ellis, kehadiran asosiasi fintech dapat menjadi lahan untuk belajar dengan para pemain fintech lokal lainnya. Asosiasi menjadi jembatan para pemain untuk berkomunikasi dengan OJK dan BI. Ia menyatakan anggota asosiasi fintech selalu terbuka untuk berdialog tentang segala regulasi yang sudah ada dan akan bergulir.

“Tantangan di setiap sektor dan yang terjadi di fintech sebenarnya tidak jauh berbeda. Inilah dasar utama kenapa kami mendirikan Asosiasi Fintech Indonesia. Jadi nantinya ada lembaga dalam industri fintech yang dapat mewakili serta dapat menggambarkan tantangan yang harus dihadapi. Dengan solusi yang dibuat secara bersama akan lebih baik dibandingkan harus dihadapi secara sendiri-sendiri.”

E-commerce

Berdasarkan data berbagai sumber, pada tahun 2017 industri e-commerce di Indonesia diprediksi akan bernilai $9,3 miliar. Besarnya potensi tersebut saat ini sesuai dengan perkembangan layanan e-commerce di tanah air, baik yang umum maupun niche.

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan, “Dari tahun ke tahun, layanan e-commerce dan transaksi online akan semakin menjadi bagian hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat akan semakin cerdas, tidak lagi sekadar berburu diskon atau harga murah, namun menggunakan platform e-commerce untuk kemudahan hidup mereka.”

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan layanan marketplace akan merambah sektor fintech tahun ini.

“Selain untuk keperluan barang sehari-hari, marketplace juga akan berevolusi menjadi kebutuhan pembayaran sehari-hari, memberikan layanan finansial inklusi. Di tahun 2017 ini, open marketplace juga akan menjadi rumah baru bagi merek-merek baik lokal maupun internasional untuk memasarkan produk mereka ke masyarakat Indonesia,” kata William.

Kemudahan pembayaran untuk pembelian apapun menjadi krusial. Menurut William, tahun ini layanan e-commerce akan semakin inklusif. Selama ada konektivitas internet, pembayaran bisa dilakukan meski tidak memiliki rekening bank atau kartu kredit.

“Produk-produk e-wallet akan tumbuh di tahun 2017 untuk mendorong pemerataan ekonomi secara digital. Demikian juga dengan tumbuhnya bisnis kurir untuk mengirimkan produk-produk yang dipasarkan di marketplace,” ujar William.

Selain itu, tren akan bergeser ke hyperlocal purchase. Pembeli di daerah Sumatera Utara akan cenderung membeli dari penjual di kota Medan dibanding dari Jakarta. Walau harga barang sedikit lebih tinggi, adanya ongkos kirim akan membuatnya tetap bersaing. Apalagi barang seharusnya bisa diterima lebih cepat.

Berbeda dengan optimisme William, Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li mengungkapkan kekhawatiran rencana masuknya Alibaba dan Amazon di Indonesia. Konsolidasi diprediksikan bakal terjadi untuk membuat perusahaan tetap bertahan.

“Semua layanan e-commerce di Indonesia saya lihat akan semakin berat di tahun 2017 ini, terutama dengan rencana hadirnya Amazon dan Alibaba di Indonesia. Kehadiran perusahaan raksasa global tersebut akan semakin menyulitkan eksistensi layanan e-commerce lokal yang saat ini sudah berhasil menjadi market leader. Saya melihat konsolidasi mungkin akan tercipta, seperti yang telah terjadi di India,” kata Adrian.

Selain konsolidasi, nantinya masing-masing brand akan memilih untuk melakukan penjualan secara langsung kepada pelanggan atau dengan cara multichannel. Strategi ini dinilai akan menjadi kegiatan jangka panjang.

Untuk layanan e-commerce yang bakal mendominasi tahun 2017 ini, Adrian mengungkapkan fashion commerce akan semakin masif bermunculan di tanah air.

“Dengan mengintegrasikan desain, manufaktur dan pasokan proses rantai penyediaan, mereka [layanan fashion commerce] mampu menyediakan pakaian yang sedang tren yang bersaing dengan biaya ritel umum,” kata Adrian.

Untuk faktor penghambat, ternyata faktor kepercayaan atau trust masih bisa menjadi momok tahun ini.

“Seperti yang disampaikan dalam laporan Google dan Temasek, pemesanan dari Indonesia 12 kali berisiko fraud berdasarkan rata-rata secara global,” kata Adrian.

SaaS

Founder and CEO Talenta, sebuah platform SaaS untuk manajemen sumberdaya manusia, Joshua Kevin, mengatakan saat ini kondisi pemain startup SaaS di Indonesia sama seperti pemain e-commerce pada 2010-2011. Tahun tersebut adalah masa ketika masyarakat Indonesia masih memiliki krisis kepercayaan dan belum percaya dengan manfaat beralih membeli barang secara online.

“Kami percaya bahwa industri SaaS akan makin cepat pertumbuhannya dan kemampuan dalam pengambilan keputusan akan jatuh ke generasi yang percaya bahwa internet dan smartphone adalah the default,” kata Joshua.

Mengenai isu keamanan komputasi awan sebagai hal yang krusial bagi pemain SaaS, Joshua mengungkapkan tidak semua pemain SaaS di Indonesia menggunakan solusi atau server dari luar Indonesia. Pihaknya mendorong insentif yang lebih dari pemerintah dan perusahaan cloud untuk membuat mereka beralih ke server lokal.

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, menambahkan pergerakan bisnis SaaS di Indonesia mulai bergerak dengan sangat baik. VC ini telah berinvestasi di sejumlah startup SaaS dan melihat indikasi puluhan ribu UKM sudah menggunakan berbagai solusi yang disediakan beberapa pemain SaaS yang masuk dalam portofolionya.

Menurut Willson, tantangan pemain SaaS Indonesia di kacamata investor adalah adopsi pengguna dan bagaimana UKM melihat nilai dari SaaS. Startup SaaS harus bisa mengedukasi pasar tentang manfaat produk SaaS dibandingkan perangkat lunak tradisional dan meyakinkan mereka untuk beralih ke sana.

Moka, startup penyedia layanan mobile point of sales (mPOS) dengan fokus pasar UKM, menjadi salah satu pemain SaaS yang menanjak. Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo, senada dengan Joshua, mengutarakan saat ini Moka belum menggunakan server lokal. Pihaknya menggunakan layanan cloud yang berbasis di Singapura. Untuk perlindungan data, Moka mengenkripsi lalu lintas yang keluar dan masuk menggunakan SSL. Pihaknya juga memasang beberapa firewall untuk seluruh server.

Haryanto menambahkan tingkat persaingan bisnis SaaS di Indonesia masih sangat luas dan pasarnya sangat besar. Menurutnya, persaingan antar pemain SaaS bukanlah perhatian untuk saat ini.

On-demand

Layanan transportasi on-demand dari Go-Jek, Grab, dan Uber saat ini masih mendominasi. Kehadiran mereka mampu mengubah kebiasaan masyarakat dan kini menjadi bagian rutinitas sehari-hari.

CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan, “Akan menjadi sulit untuk startup baru mencoba bersaing dengan Go-Jek, Uber, dan Grab, karena posisi mereka yang sudah berhasil menjadi market leader dan mendominasi di Indonesia. Untuk bisa bersaing dengan ‘the big three‘, perusahaan yang sebelumnya menjalankan bisnis dengan cara konvensional juga sudah harus mulai mengadopsi teknologi untuk bisa bersaing dengan perusahaan berbasis teknologi tersebut.”

Nicko melihat kolaborasi antara Blue Bird dengan Go-Jek membuktikan perusahaan yang selama ini menjalankan bisnisnya secara konvensional akan memilih untuk melakukan kerja sama dengan startup yang telah memiliki produk, talenta, dan kemampuan membuat produk berbasis teknologi. Hal tersebut bisa memangkas pengeluaran untuk mempekerjakan third party atau outsource untuk membangun teknologi dari awal.

“Peluang dari startup yang nantinya berfungsi sebagai ‘corporate enabler‘ untuk menawarkan sistem, produk, hingga teknologi kepada korporasi hingga perusahaan besar nampaknya akan semakin banyak di tahun ini dan seterusnya,” kata Nicko.

Menurut Co-Founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim, tahun 2015 dan 2016 lalu merupakan tahun ketika layanan seperti Go-Jek dan layanan e-commerce masih berupaya untuk menemukan pasar dan strategi pemasaran. Tahun 2017 ini bakal menjadi tahap yang menentukan kebanyakan layanan on-demand.

“Saya melihat tahun 2017 ini bakal menjadi momentum. Bkan hanya untuk Go-Jek namun juga semua layanan on-demand lainnya di Indonesia. Tahun 2017 juga menjadi tahun semua going to mobile,” kata Nadiem.

Kendala infrastruktur yang ada di Indonesia, menurut Nadiem, justru menjadi peluang bagi layanan on-demand seperti Go-Jek untuk berkembang.

“Berbagai kendala dalam hal infrastruktur yang ada saat ini justru menjadi kesempatan bagi Go-Jek untuk memberikan solusi kepada semua masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini Go-Jek melihat infrastruktur yang masih kurang saat ini sebagai opportunity dengan memberikan solusi kepada semua pengguna,” ujarnya.

Dalam dua tahun terakhir, layanan on-demand juga makin beragam. Tidak hanya menawarkan layanan transportasi, tetapi yang berhubungan dengan layanan domestik. Misalnya jasa asisten rumah tangga, pembersihan rumah, dan perbaikan AC. Salah satu layanan on-demand di segmen ini adalah Seekmi.

“Kami sangat beruntung di Seekmi bahwa tingkat penetrasi smartphone di kalangan vendor dan teknisi telah tumbuh secara signifikan dalam setahun tahun sejak Seekmi diluncurkan. Memungkinkan Seekmi untuk mengelola sekitar 10 ribu tenaga kerja dengan cepat dan efisien,” kata CEO Seekmi Clarissa Leung.

Clarissa melanjutkan, “Saya prediksi tahun 2017 ini akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan teknologi, dalam hal ini aplikasi, untuk membantu mereka melakukan pekerjaan rumah rutin dari yang paling mudah hingga yang berat dengan bantuan layanan on-demand. Akan lebih banyak orang percaya dengan layanan on-demand karena terbukti mampu menghemat biaya pengeluaran.”

Di balik kemudahan berbasis teknologi, banyak generasi senior yang belum terbiasa dan kurang percaya dengan layanan on-demand.

“Seekmi pada akhirnya tetap menghadirkan layanan pelanggan melalui SMS hingga telepon langsung. Pendekatan dengan cara-cara tradisional masih perlu disematkan untuk perusahaan teknologi,” kata Clarissa.

Meskipun terlihat menjanjikan, layanan on-demand ternyata cukup sulit untuk melakukan scale up. Hal ini terjadi karena layanan on-demand sifatnya adalah hyperlocal. Masing-masing kota di Indonesia memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda.

“Untuk mengatasi semua kendala tersebut masing-masing layanan on-demand tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kemitraan atau partnership dengan perusahaan teknologi lainnya hingga perusahaan besar dan pemerintah untuk bisa mengatasi semua kendala,” kata Nicko.


Artikel ini adalah kolaborasi DailySocial dan The Jakarta Post. Juga dipublikasi dalam bahasa Inggris di halaman ini.

DailySocial:
CEO & Founder : Rama Mamuaya
Editor-in-Chief : Amir Karimuddin
Editor-in-Chief : Wiku Baskoro
Writers : Yenny Yusra, Marsya Nabila

The Jakarta Post:
Managing Editor Life : Asmara Wreksono
Editor : Keshie Hernitaningtyas
J+ team : Jessicha Valentina, Masajeng Rahmiasri, Ni Nyoman Wira
Technology : Muhamad Zarkasih, Mustofa
Infographic : Sarah Naulibasa, Sandy Riady
Video & Multimedia : Bayu Widhiatmoko, I.G. Dharma J.S., Ahmad Zamzami,
Rian Irawan, Wienda Parwitasari

Previous Story

Samsung Selangkah Lagi Bakal Resmikan Galaxy J7 (2017)

Next Story

Sebelum Membeli, Simak Dulu Sejumlah Masalah yang Ditemui di Nintendo Switch

Latest from Blog

Don't Miss

NTT DATA Perluas Kehadiran di Indonesia dengan Pusat Data Baru

NTT DATA Perluas Kehadiran di Indonesia dengan Pusat Data Baru

Pusat Data Jakarta 2 Annex (JKT2A) dijadwalkan rampung pada awal
Blibli rayakan ulang tahun ke-12

Ulang Tahun ke-12, Blibli Hadirkan Program “Blibli Annive12sary”

Dengan persaingan yang semakin ketat, eksistensi sebuah e-commerce di Indonesia