Salah satu agenda kunjungan besar Presiden bersama beberapa jajaran dan tokoh startup nasional ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu ialah ingin belajar bagaimana menciptakan sebuah ekosistem kewirausahaan lokal, terutama yang bertumbuh mengikuti tren perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebelum melanjutkan ke diskusi yang lebih mendalam, perlu dipahami lebih mendetil makna dari istilah “ekosistem kewirausahaan” yang banyak dirujuk dan ingin diaplikasikan di Indonesia. Menurut definisi di Wikipedia, ekosistem bisa diartikan sebagai “sebuah komunitas hidup yang behubungan dengan berbagai komponen tak hidup dalam lingkungan, berinteraksi sebagai sebuah sistem”.
Dari pengertian di atas maka dapat didefinisikan bahwa “ekosistem kewirausahaan” adalah bersatunya berbagai komponen, baik itu SDM (Sumber Daya Manusia), fasilitas, regulasi dan berbagai hal lainnya dalam membentuk sebuah kultur bisnis dan berjalan dalam sebuah sistem ekonomi bertumbuh.
Silicon Valley seringkali menjadi kiblat untuk sebuah sistem kewirausahaan terbaik di dunia. Dari berbagai catatan dan riset yang pernah dipublikasikan, tersaji beragam aspek yang membahas detil mengapa di Silicon Valley begitu berhasil untuk menumbuhkan kultur kewirausahaan.
Beberapa di antaranya menghubungkan pada kultur adopsi teknologi yang menguntungkan, sistem hukum dan perpajakan yang tidak memberatkan, peran serta Stanford University, hingga adanya sebuah budaya belajar dari sebuah kegagalan untuk membangun pada langkah berikutnya.
Ada sumber lain yang mengatakan bahwa keberhasilan Silicon Valley hadir dari pemikiran orang-orang seperti Frederick Terman, Geoges Doriot, Robert Noyce, Andy Grove atau Steve Jobs. Menariknya dari setiap tulisan yang ada menyimpulkan bahwa Silicon Valley tidak pernah bisa tereplikasi secara sempurna.
Sebuah cerita membuktikan kesimpulan tersebut. Kala itu Presiden Prancis Charles de Gaulle memiliki ambisi untuk mereplikasi Silicon Valley untuk membuat iklim kewirausahaan di negaranya. Tak tanggung-tanggung kala itu Charles juga meminta negara merekrut Frederick Terman, pendiri Silicon Valley yang juga dikenal sebagai “Bapak Silicon Valley”, yang kala itu telah pensiun menjadi profesor di Stanford University. Namun gagal dengan alasan sederhana, bahwa industri tidak memberikan dukungan yang sama seperti di Silicon Valley. Kawasan Dallas, Texas, juga mengalami kegagalan yang sama.
Tiga komponen yang mendorong kesuksesan Silicon Valley
Dari keadaan tersebut beberapa peneliti dari TheFamily mencoba menguak faktor apa saja yang sebenarnya menjadi dominasi atas bertumbuhnya sebuah ekosistem startup. Tim peneliti yang terdiri dari Steve Blank, Viviek Wadhwa, Paul Graham dan Brad Feld menemukan 3 titik penting yang melandasi sebuah ekosistem kewirausahaan, yaitu modal (capital), tahu caranya (know how), dan pemberontakan (rebellion) dalam artian adanya sebuah kontradiksi dari suatu gagasan yang telah didefinisikan sebelumnya. Ekosostem kewirausahaan melakukan kombinasi tiga faktor tersebut dengan tepat.
Ketiga komponen tersebut harus benar-benar bisa berbaur menjadi satu. Tanpa ketiganya ekosistem kewirausahaan tidak akan terbentuk dengan baik dan justru menciptakan sistem ekonomi berbeda. Kombinasi antara tiga komponen tersebut dibuktikan jelas di Silicon Valley.
Pada awalnya modal di Valley berasal dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, kemudian berkembang dari Venture Capital, hingga saat ini mencakup berbagai jenis investor. “Know-how” muncul tepatnya di tahun 1940-an berkat seorang insinyur mendesain microwave kemudian disusul oleh kehadiran riset dan produsen semikonduktor. Akhirnya “rebellion” muncul seiring dengan pematangan pola pikir, dimulai dari kemunculan aktivitas dari California hinga berbagai ilmuwan dan aktivis lain memunculkan ide untuk saling membenahi gagasan yang ada.
Lalu apakah komponen tersebut sudah siap semua di Indonesia
Jika melihat dari komposisi tiga komponen tersebut, antara capital, know-how dan rebellion, di Indonesia sudah mulai kuat di “capital”, masih banyak belajar di “know-how” dan mulai terbentuk “rebellion”.
Masih setengah-setengah untuk terciptanya sebuah ekosistem kewirausahaan yang kental, dan memang iya, bahwa ekosistem kewirausahaan belum begitu terasa matang di Indonesia. Namun ada sebuah tulisan keynote di Xtech dari Paul Graham yang sepertinya dapat menjadi acuan untuk mengarahkan Indonesia mampu mematangkan ekosistem kewirausahaan.
Berikut ini adalah beberapa komponen penting yang harus mulai menjadi perhatian secara singkat:
- Kutu buku dan investor. Kutu buku diartikan dengan orang-orang yang begitu bersemangat untuk berinovasi dan bereksperimen. Dengan mempertemukan dengan investor yang tepat, inovasi dan risetnya dapat lebih terjamin keberlanjutannya.
- Mengapa investor cenderung dari kalangan non-birokrasi yang disampaikan pada publikasi tersebut? Karena di sini benar-benar membutuhkan investor yang memiliki visi ke depan, dengan artian mereka harus paham betul bagaimana lingkungan kewirausahaan (khususnya teknologi) berproses.
- Berbicara tentang ekosistem kewirausahaan tidak melulu berbicara tentang infrastruktur bangunan. Membangun spirit kewirausahaan menjadi fokus yang harus lebih diutamakan.
- Universitas berperan penting menciptakan keluaran calon pengisi ekosistem kewirausahaan. Di sini pusat Research & Development juga mungkin untuk dipusatkan guna mengakselerasi keluaran pemuda berbakat.
- Kepribadian diciptakan saat berproses di universitas.
- Termasuk hadirnya “kutu buku” di atas, merupakan hasil keluaran dari pemrosesan di universitas atau sekolah.
- Pemuda menjadi pendorong utama.
- Setiap proses memerlukan waktu, dan setiap keputusan memerlukan momentum atau waktu yang tepat.
- Menciptakan iklim persaingan yang sehat.
Mematangkan komponen ekosistem kewirausahaan nasional
Presiden Jokowi bercita-cita membawa Indonesia menjadi pasar pertumbuhan besar di Asia berikutnya, mendampingi Tiongkok dan India. Beberapa indikasi positif seperti dikucurkannya investasi besar untuk startup lokal menjadi salah satu yang membuat berbagai pihak optimis, tapi saat berbicara angka jika dibanding dengan Tiongkok dan India masih sangat jauh, bahkan jika dibanding dengan Singapura.
Tercatat investasi di Indonesia mencapai $61,9 juta per Oktober tahun ini, sementara itu di periode yang sama Tiongkok menarik modal $12,8 miliar dan India $2,7 miliar di periode yang sama. Masih sangat jauh.
Salah satu alasan yang masih menghambat ialah peraturan di Indonesia yang dianggap masih menyulitkan. Seperti yang diungkapkan investor yang berbasis Bangkok Adrian Vanzyl, yang juga mengelola Ardent Capital, peraturan yang dimaksud lebih kepada perijinan dan perpajakan.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, pemerintah pun mulai memberikan kemudahan untuk hal tersebut. Melalui beberapa kebijakan ekonomi terbaru, izin investasi asing juga mulai diperlonggar dengan tetap mengedepankan unsur yang menguntungkan kebutuhan nasional.
Venture capital kini juga makin bertumbuh di Indonesia, siap berinvestasi untuk karya potensial anak bangsa, mulai dari penanam modal internasional ala Sequoia dan 500 Startups, hingga konglomerat lokal ala Lippo Group, Sinar Mas dan Bakrie Group. Kesadaran pebisnis individu untuk menjadi Angel Investor kini juga sudah mulai bertumbuh di Indonesia.
Membangun ekosistem teknologi seperti Silicon Valley membutuhkan waktu. Kendati menampilkan potensi yang baik, mempersiapkan berbagai komponen untuk menjadi lebih maksimal menjadi pilihan yang lebih bijak untuk memaksakan berdirinya sebuah inkubasi besar namun prematur.