Dalam sebuah tulisannya, Head of Rider Growth Uber Andrew Chen menyebutkan kini startup semakin “murah” untuk dimulai, tetapi semakin “mahal” untuk dikembangkan. Seribu startup bisa dibuat dalam waktu setahun-dua tahun, tapi mengembangkan 10% di antaranya hingga sebesar Go-Jek, Tokopedia, atau Traveloka adalah pekerjaan yang jauh lebih sulit.
MDI Ventures, sebuah corporate venture capital yang berada di bawah naungan Grup Telkom, dalam laporannya melihat hal ini karena ekosistem startup di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Silicon Valley.
Di Silicon Valley sana, arah membesarkan startup melalui “model VC” lebih mudah karena strategi exit-nya lebih jelas, antara diakuisisi perusahaan teknologi raksasa (atau perusahaan investasi besar) atau go public di bursa saham. Yang disebut “model VC” adalah VC memompa dana sebesar-sebesarnya untuk pertumbuhan eksponensial. Hal yang sama dinilai tidak berlaku di tanah air.
Kolaborasi adalah kunci
Hipotesis MDI adalah untuk berkembang, startup harus berkolaborasi dengan perusahaan besar yang bisa mendukung pertumbuhan bisnis startup tersebut. Meskipun sejatinya adalah VC, sebagai CVC, CEO MDI Nicko Widjaja kepada DailySocial mengaku pihaknya kini bertindak sebagai “katalis inovasi”.
MDI berusaha mendorong sinergi portofolio startupnya dengan bisnis Grup Telkom yang fokus di bidang Telekomunikasi, Informasi, Media & Edutaintment, dan Services (TIMES). Contohnya PrivyID yang mengembangkan teknologi tandatangan digital bagi perusahaan-perusahaan Grup Telkom atau Kata.ai yang mengembangkan sistem chatbot untuk layanan pelanggan Telkomsel.
Kondisi di Indonesia
Di tanah air, menurut data yang dikompilasi MDI, disebutkan dari 53 startup yang mendapatkan pendanaan awal di tahun 2015, hanya ada 17 pengumuman perolehan dana Seri A di tahun 2016 dan sejauh ini baru 9 buah selama tahun 2017. Hal ini menunjukkan mayoritas tidak dapat memperoleh pendanaan lanjutan untuk mendukung bisnisnya.
Fakta lain yang disebutkan dalam laporan ini adalah bagaimana proses exit dalam 8 tahun terakhir, sejak Koprol diakuisisi Yahoo!, hanyalah melalui proses akuisisi. Ada 37 proses M&A (merger dan akuisisi) dan belum ada cara lain yang mendukung proses exit, meskipun Bursa Efek Indonesia sendiri bercita-cita untuk mendorong startup teknologi IPO di bursa saham dengan menawarkan berbagai insentif.
Hal-hal diyakini MDI sebagai bukti bahwa “model VC” tidak cocok dengan pasar Indonesia. Tidak adanya kesetiaan konsumen, kesulitan kesempatan pertumbuhan, dan ketiadaan ekosistem yang mendukung proses exit yang solid membuat aktivitas investasi di sektor ini menjadi rapuh.
MDI menyatakan sangat sulit bagi firma modal ventura independen di Indonesia untuk mengumpulkan dana lebih besar dari $50 juta (sekitar 650 miliar Rupiah) dan memperoleh kesuksesan di dalam waktu dekat. Disebutkan “model VC” baru dianggap sukses jika dana yang dikelola memberikan keuntungan 3-5 kali lipat dalam jangka waktu 5-8 tahun.
Penawaran MDI
MDI melihat bahwa meskipun pasarnya sangat potensial, membesarkan startup di Indonesia sangatlah menantang. Untuk itu MDI menawarkan dua pendekatan untuk memenangkan ekosistem startup di Indonesia.
Yang pertama adalah “akses ke pertumbuhan”. Akses di sini tidak cuma soal dana tapi juga kanal pengembangan bisnis. MDI menyugestikan startup untuk memanfaatkan potensi besarnya berbagai unit bisnis korporasi di Indonesia, mengubahnya “from bricks to bits” atau dengan bahasa mudahnya mendigitalkan proses bisnis konvensional yang sudah ada.
Menurut Nicko, kredo “bricks to bits” ini menjadi manifesto MDI, seperti halnya “spray and pray” dari 500 Startups atau “sprinkle and reflect” dari Wavemaker Partners.
Yang kedua adalah mengemulasi model Alibaba dalam mengembangkan ekosistem dari ujung ke ujung, dengan menciptakan perusahaan enabler di sektor logistik, finansial, dan operator e-commerce.
MDI percaya bahwa startup di Indonesia akan sukses jika mampu menciptakan ekosistem dari ujung ke ujung seperti ini, di vertikal manapun.
MDI mengakui bahwa penawaran ini tidak serta merta menjawab permasalahan di ekosistem startup Indonesia saat ini. Meskipun demikian, mereka percaya bahwa kemitraan strategis antara bisnis yang sudah ada/matang (legacy) dan startup teknologi terbukti memberikan nilai yang substansial untuk semua pihak yang terlibat.