Masalah yang Dihadapi Penerima Beasiswa Esports di Amerika Serikat

Para penerima beasiswa esports biasanya tidak dianggap sebagai atlet

Liga amatir di tingkat SMA dan universitas adalah bagian penting dari esports. Di Amerika Serikat, ada platform yang memang secara khusus menyelenggarakan turnamen amatir untuk siswa SMA dan mahasiswa, seperti All-Star eSports League dan PlayVS. Tak berhenti sampai di situ, sekolah dan universitas juga menunjukkan dukungannya pada siswa yang ingin masuk ke industri esports. Salah satunya dengan menyediakan program beasiswa. Beberapa universitas yang telah mengadakan program beasiswa esports antara lain Robert Morris University (RMU), University of California Irvine (UCI) dan UC Berkeley. Sayangnya, masih ada berbagai masalah dalam pengadaan beasiswa esports tersebut. Inilah beberapa masalah yang ditemui dari program beasiswa esports, seperti dirangkum oleh PC Gamer.

Pemain esports tak dianggap sebagai atlet

Beberapa universitas di AS memang menyediakan beasiswa untuk atlet esports. Namun, perlakuan yang diterima oleh penerima beasiswa esports dan penerima beasiswa untuk olahraga tradisional berbeda. Biasanya, penerima beasiswa olahraga akan mendapatkan hak untuk memilih jadwal kelas yang hendak mereka ambil. Dengan begitu, sang mahasiswa dapat memastikan bahwa waktu latihan dan jadwal bertanding tidak bersamaan dengan jadwal kelas mereka. Sayangnya, penerima beasiswa esports tidak mendapatkan hak khusus ini karena mereka tidak dianggap sebagai atlet. Tidak hanya itu, jumlah biaya beasiswa yang diterima juga lebih kecil. Padahal, latihan para atlet esports juga memakan waktu yang tidak sebentar. Setiap harinya, mereka harus berlatih hingga enam jam.

Pusat esports di UC Berkeley | Sumber: PC Gamer

Ialah Grant Welling, kapten dari tim League of Legends dari RMU. Selain kuliah, dia juga harus menyempatkan diri untuk berlatih empat hari dalam seminggu. Alhasil, dia harus memanfaatkan akhir pekannya untuk menyelesaikan tugas kuliah dan sedikit waktu rehat. Zuhair Taleb, pemain Overwatch di UCI, juga memiliki cerita yang sama. "Saya tidak pernah keluar -- mungkin saya akan pergi sekali tiap dua minggu dengan tim saya, dengan teman saya," kata Tabel, dikutip dari PC Gamer. "Saya latihan, saya bermain, dan saya belajar. Begiulah jadwal saya. Saya tidak punya waktu untuk mengerjakan hal lain."

Untungnya, hal ini tidak terjadi di semua universitas. Ada universitas yang memerlakukan pemain profesional sebagai atlet. Salah satunya adalah RMU. "Departemen olahraga tahu berapa banyak waktu, uang, dan usaha yang dihabiskan untuk bisa sukses. Dan ketika departemen olahraga mengakui esports pada 2014, mereka juga menyediakan semua hal yang diperlukan untuk sukses," kata Esports Executive Director, RMU, Michael Wisnios.

Dana beasiswa berasal dari developer, bukan universitas

Dana beasiswa esports biasanya berasal dari developer. Misalnya, sebagai jaringan klub esports di universitas, Tespa bekerja sama dengan Blizzard untuk menawarkan beasiswa bagi para pemain game-game buatan developer tersebut, seperti Hearthstone, Overwatch, dan StarCraft II. Sementara Riot Games menawarkan uang beasiswa pada universitas yang memiliki tim esports untuk League of Legends. Tanpa bantuan para developer, program esports di universitas tidak akan bisa berjalan. Dalam hal ini, masalah ini sebenarnya sama dengan masalah yang dihadapi dalam penyediaan program beasiswa olahraga tradisional.

Di UCI, tim Overwatch dan League of Legends mendapatkan beasiswa sebesar US$6.000, sementara pemain tim junior mendapatkan US$1.000 per semester. Riot bekerja sama dengan Berkeley untuk menyediakan US$1.666 per pemain yang menjadi anggota tim Division 1 League of Legends. Selain dari beasiswa, atlet esports juga bisa membayar biaya kuliahnya dengan uang hadiah turnamen. Grant Welling dan rekan satu timnya berhasil membawa pulang US$5.000 setelah memenangkan Collegiate Starleague Championship pada Mei 2019. Sementara tim StarCraft II dari Berkeley yang memenangkan Collegiate Esports Championship buatan ESPN mendapatkan US$1.000 per orang.

Sumber: PC Gamer

Sama seperti olahraga tradisional, esports juga memerlukan peralatan. Di sinilah peran sponsor. "Ketika kami pertama kali membuka tempat latihan kami, NVIDIA yang menyediakan PC," kata Berkeley Esports Program Manager, Kevin Ponn. "Kami mendapatkan 54 PC. Dan setelah itu, Corsair datang dengan membawa keyboard, mouse, dan headset. Sponsor kami juga mendukung berbagai program di kampus, seperti program gaming untuk perempuan yang bertujuan menghubungkan siswa perempuan dengan para ahli di industri esports." Sementara semua komputer baru di esports arena Berkeley didanai oleh iBuyPower.

Saat ini, tidak ada metode standar bagaimana universitas harus bekerja sama dengan perusahaan teknologi dan developer game atau bagaimana universitas seharusnya menggunakan uang yang mereka dapatkan. Ada juga tim esports yang harus membeli seragam dan peralatan sendiri. Tanpa pendanaan yang konsisten dari universitas, program esports di tingkat kuliah sangat tergantung pada kebaikan hati sponsor dan developer. Jika developer memutuskan untuk berhenti mendukung mereka, maka program esports di universitas juga akan terhenti. Tentu saja, para mahasiswa tetap bisa ikut serta dalam kompetisi di tingkat komunitas. Namun, akan semakin sulit bagi mereka untuk meminta dukungan dari pihak universitas jika developer tak lagi memberikan dukungan.

Dukungan orangtua

Di negara maju seperti AS sekalipun, para mahasiswa yang fokus pada esports masih menghadapi masalah klasik: dukungan orangtua. Jangankan mendukung, tak semua orangtua paham tentang esportsHead League of Legends Coach, RMU, Adam Farm bercerita, banyak anak asuhannya yang tidak memberitahu bahwa mereka menjadi tim esports di universitas pada orangtua mereka. Alasannya karena orangtua mereka tidak paham tentang game yang mereka mainkan. Lain halnya dengan olahraga tradisional. Orangtua tahu tentang tata cara bermain basket atau sepak bola. Jadi, meskipun mereka tidak bermain sepak bola atau basket, mereka tetap bisa menikmati ketika melihat anak mereka bermain. Sementara pada kasus esports, jika Anda tidak pernah bermain game yang diadu, Dota 2 atau Counter-Strike: Global Offensive misalnya, Anda mungkin akan kebingungan tentang apa yang terjadi selama pertandingan.

Untungnya, tidak semua orangtua seperti itu. Masih ada orangtua yang peduli dan mencoba untuk mengerti tentang esports. Contohnya, orangtua dari Grant Welling. "Ketika saya memberitahu orangtua saya bahwa saya bisa mendapatkan beasiswa esports di sekolah yang bagus, mereka mendukung saya," katanya. "Banyak orangtua yang mungkin berpikir bahwa esports buang-buang waktu, jadi senang rasanya saya bisa menjadikan hobi saya menjadi sesuatu yang berguna dan membantu saya untuk masuk ke universitas yang bagus." Dia lalu bercerita, ketika timnya sedang bertanding di Atlantic City dan menang, sang ibu mengirimkan video perayaan dirinya dan sang ayah. "Ibu saya mengirimkan video saat dia dan ayah melompat dan berteriak senang ketika kami menang. Itu sangat luar biasa," katanya.

Grant Welling (kedua dari kanan) dan tim LoL dari RMU | Sumber: PC Gamer

Begitu juga dengan pemain Overwatch dari UCI, Zuhair Taleb. Dia mengatakan, orangtuanya mulai mencoba mengerti apa yang dia lakukan sebagai atlet esports ketika dia menjadi pemain esports profesional pertama yang berasal dari Yaman dan saat dia mendapatkan beasiswa esports. Tidak hanya orangtuanya di California yang bangga atas pencapaiannya, keluarga dan teman Taleb di Yaman juga ikut merasa bangga. Meskipun begitu, orangtua Taleb masih mencoba mendorongnya untuk bekerja di bidang yang lebih konvensional atau memastikan sang anak menyelesaikan sekolah sebelum dia memutuskan untuk berkarir sebagai pemain profesional.

"Saya tidak akan kaget, jika saya menjadi pro dan memenangkan turnamen, orangtua saya akan berkata, 'Selamat! Apa kamu akan melanjutkan sekolahmu sekarang?'" ujar Taleb.

Satu hal yang menarik, beasiswa esports tidak melulu ditujukan untuk orang-orang yang ingin menjadi pemain profesional. Menurut Alex Jiang, President of League of Legends Club di Berkeley, ada opsi beasiswa untuk siswa yang mau bekerja sebagai non-pemain profesional di industri esports. Salah satu universitas yang menawarkan beasiswa seperti itu adalah departemen esports di RMU.

"Jika Anda tertarik dengan sisi bisnis, marketing, atau desain dari esports, Anda juga bisa mengejar gelaran mendapatkan beasiswa di bidang terkait, tidak sebagai pemain profesional, tapi untuk bekerja dalam industri esports," kata Esports Executive Director, RMU, Wisnios. Dalam satu tahun belakangan, dia memang tengah berusaha untuk menawarkan jenis beasiswa ini. Program seperti itu membantu para mahasiswa tidak sekadar mendapatkan gelar, tapi mendapatkan pengalaman bekerja di bidang yang memang mereka sukai. Ini bisa menjadi bukti bahwa industri game dapat menawarkan karir panjang yang memang pantas untuk dikejar.

Sumber header: The Esports Observer