Ekosistem blockchain dan aset kripto dari tahun ke tahun terus berkembang secara signifikan, termasuk halnya di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya perusahaan maupun proyek berbasis blockchain yang bermunculan di tanah air.
Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) bersama dengan Indonesia Crypto Network (ICN) baru-baru ini merilis laporan “Indonesia Web3 Landscape dan Crypto Outlook 2022” untuk memberikan gambaran terkait pertumbuhan ekosistem blockchain dan aset kripto di Nusantara.
Mengutip data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), saat ini terdapat 569 perusahaan atau startup yang terdaftar di sistem Online Single Submission (OSS) yang masuk dalam kategori “Aktivitas Pengembangan Teknologi Blockchain”. Oleh ABI dan ICN, daftar pemain di ekosistem blockchain ini kemudian dipetakan menjadi 12 kategori sebagai berikut:
- Pemerintah dan institusi terkait
- Platform jual-beli aset kripto (crypto exchange)
- Konsultan blockchain
- Infrastruktur blockchain
- Media dan informasi blockchain
- Decentralized application (Dapp)
- Komunitas blockchain
- Protokol aktif blockchain
- Token
- Pemodal ventura
- NFT dan platform metaverse
- Web3 gaming
“Landscape ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara komprehensif tentang ekosistem industri blockchain dan aset kripto di Indonesia,” tutur Asih Kamengsih selaku Chairwoman ABI, dalam siaran pers. “Landscape ini dapat membantu para pemain baru untuk terkoneksi dengan aktor industri yang tepat,” imbuhnya.
Kalau dari sisi pengguna, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat bahwa per Oktober 2022, jumlah investor aset kripto di Indonesia telah mencapai 16,42 juta orang. Angka ini cukup signifikan terutama jika dibandingkan dengan jumlah investor pasar modal yang hanya berkisar 9,98 juta orang. Sebagai perbandingan, data dari Mei 2021 menunjukkan bahwa jumlah investor aset kripto di Indonesia saat itu baru sekitar 6,5 juta orang.
Juga ikut meningkat adalah jumlah aset kripto yang terdaftar dan bisa diperdagangkan secara legal di Indonesia, yang saat ini berada di angka 383 aset. Yang menarik, ke depannya pengawasan aset kripto ini akan dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai bagian dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang baru saja disahkan baru-baru ini. Bisa dibilang, peralihan ini menunjukkan bahwa kripto tidak lagi digolongkan sebagai pasar yang niche di Indonesia.
Imbas negatif fenomena musim dingin kripto
Namun terlepas dari pertumbuhan positif yang ditunjukkan sejauh ini, volume perdagangan aset kripto di Indonesia justru menurun drastis tahun ini. Dari Januari hingga Oktober 2022, Bappebti mencatat total transaksi aset kripto sebesar 279,8 triliun rupiah. Sebagai perbandingan, jumlah transaksi aset kripto di Indonesia pada periode yang sama tahun lalu mencapai angka 717,99 triliun rupiah.
Laporan dari ABI dan ICN tidak menjelaskan alasan di balik penurunan volume perdagangan aset kripto tersebut, namun besar kemungkinan kaitannya erat dengan fenomena musim dingin kripto yang terus berlangsung sejak awal tahun 2022.
Bitcoin, aset yang dari tahun ke tahun selalu menjadi pilihan populer para investor kripto, turun drastis nilainya di tahun 2022 ini. Merujuk pada data yang disediakan StatMuse, rata-rata nilai tukar Bitcoin pada bulan Oktober 2022 adalah 196,7 juta rupiah. Bandingkan dengan rata-rata nilai tukarnya di bulan Oktober 2021 yang mencapai 582,8 juta rupiah.
Data dari Indodax menunjukkan bahwa pada tahun 2021, total perdagangan Bitcoin mencapai angka 37,8 miliar rupiah, hanya terpaut sedikit dari Dogecoin yang berada di urutan pertama dengan 40,8 miliar rupiah. Di tahun 2022 (sampai dengan bulan Agustus), total perdagangan Bitcoin hanya mencapai 7,5 miliar rupiah, sementara urutan pertamanya diduduki oleh USDT (Tether) dengan 18,4 miliar rupiah.
Gambar header: Pierre Borthiry via Unsplash.