Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Tidaklah mudah mendirikan perusahaan yang berkelanjutan, perusahaan yang baik dibangun dengan fondasi dan strategi yang kokoh. Kusumo Martanto membangun Blibli dari nol menggunakan pendekatan customer-centric. Selepas merayakan ulang tahun ke-10, perusahaan telah meraih pencapaian signifikan. Selain itu, beliau juga berperan sebagai COO dari GDP Venture sebagai saluran dalam menciptakan kendaraan investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia.
Sebelum memasuki era industri teknologi, Kusumo yang akrab disapa Pak Kus telah terlatih dalam mengatasi tantangan. Mulai dari pendidikan, adaptasi terhadap budaya baru dengan kosa kata yang terbatas, serta bertahan hidup sebagai mahasiswa asing dengan tuntutan beasiswa dan pekerjaan paruh waktu. Namun, semua upayanya terbayar saat ia mendapat kesempatan untuk mengejar karir di industri teknologi.
Sebagai Co-Founder dan CEO Blibli, salah satu perusahaan e-commerce terkemuka di Indonesia, Kusumo bertujuan untuk menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, tantangan kerap muncul dan perusahaan harus siap. Ia mempercayai bahwa kunci dari industri yang dinamis ini adalah inovasi, dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.
DailySocial berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Pak Kus dan mendiskusikan lebih lanjut pemikirannya tentang lanskap e-commerce Indonesia dan potensinya di masa depan.
Seperti apa masa-masa awal perjalanan Anda sebelum memasuki industri teknologi?
Menilik kebelakang, saya telah terlatih untuk mengatasi tantangan. Sejak masa sekolah saya sudah tertarik dengan ilmu teknik, yang ketika itu tidak dapat dipisahkan dari perangkat komputer dan saya tidak memilikinya saat itu. Lagipula, saya hanyalah seorang anak laki-laki dari Jawa Tengah dengan mimpi besar. Tidak pernah terpikir oleh saya untuk bisa belajar di luar negeri mengingat banyaknya biaya dan dokumen yang harus dipersiapkan, tetapi saya memiliki kemauan yang kuat. Kemudian, dengan semua sumber daya yang tersedia saat itu, saya mencoba mencari jalan ke daerah metropolitan. Untungnya, orang tua saya sangat mendukung. Dengan banyak pertimbangan serta melalui proses yang panjang, saya berhasil mendaftar dan melanjutkan studi di Iowa State University.
Perjuangan nyata terjadi dalam dua tahun pertama beradaptasi dengan negara dan budaya baru menggunakan kosakata yang terbatas. Sementara itu era sebelum internet. Saya harus merekam kelas kuliah dari waktu ke waktu dan mendengarkannya beberapa kali sebelum benar-benar bisa memahami intinya. Tahun kedua, saya mengajukan permohonan beasiswa sembari bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup, tidur 8 jam saja tidak memungkinkan. Kondisinya tidak mudah, tapi saya tidak menyerah.
Anda berhasil lulus dari program teknik ternama di Iowa State University dan melanjutkan program Master di Institut Teknologi Georgia. Pengalaman seperti apa yang bisa Anda bagikan terkait kondisi kehidupan dan studi di luar negri mempengaruhi keahlian dan perspektif Anda hingga saat ini?
Melihat kembali ke zaman saya, banyak sekali yang berbeda dalam hal pengajaran dan pembelajaran. Di Indonesia, menghormati berarti mentaati. Di kelas, kita dapat mengajukan pertanyaan tetapi tidak untuk mempertanyakannya. Di Amerika, kami dipaksa untuk berpartisipasi, untuk berbicara. Tidak hanya berpikir kritis tetapi juga memahami konteks. Konsep itu tertanam dan telah membentuk pola pikir saya.
Apa yang membuat Anda memutuskan untuk pulang? Mengapa tidak melanjutkan mengejar karir di Amerika?
Sejujurnya, saya pernah berpikir kembali ke tanah air untuk bekerja sebelum melanjutkan gelar master. Saya melamar beberapa pekerjaan di Indonesia, tetapi juga mempersiapkan Rencana B dan mengajukan aplikasi untuk melanjutkan studi. Ketika saya tiba di Indonesia, saya sudah mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan. Namun, ketika sedang menetap di kampung halaman, saya mendapat surat penerimaan dari Amerika. Setelah diskusi panjang lebar dengan orang tua, saya memutuskan untuk langsung melanjutkan studi di AS.
Perjalanan saya selanjutnya mejadi bagian yang menarik dan menyenangkan. Pertama kali saya mengejar karir di industri kedirgantaraan, mengingat dulu pernah bercita-cita menjadi pilot. Saat itulah saya terpapar industri teknologi. Selanjutnya, saya pindah ke perusahaan perangkat lunak; dan itu murni tentang teknologi. Kemudian, saya bergabung dengan intel dan sampai sekarang terbawa jauh ke dalam industri ini dan menikmati setiap perjalanannya.
Setelah itu, saya mulai memikirkan orang tua di Indonesia yang semakin bertambah usia. Lagipula, merasa cukup berkontribusi untuk negara yang mengadopsi saya, mengapa tidak mencoba membuat sesuatu dan bekerja untuk tanah kelahiran. Indonesia sendiri memiliki potensi luar biasa dengan penetrasi internetnya yang terus meningkat. Hal ini benar-benar mengubah segala hal mulai dari komunikasi sampai industri yang lebih spesifik. Saya, kemudian, mengambil kesempatan tersebut.
Bagaimana sebenarnya ide awal Blibli, salah satu produk digital pertama Djarum? Seperti apa tantangan yang Anda temui dan bagaimana mengatasinya?
Secara historis, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan selama berabad-abad, dan konsep tersebut telah mengakar dalam masyarakatnya. Negara ini memiliki potensi besar dalam banyak hal. Salah satu yang paling esensial adalah bonus demografi. Kita punya banyak anak muda di usia produktif yang siap mencurahkan energi untuk menciptakan kemakmuran di negeri ini. Apalagi sebagian besar dari orang-orang ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, juga mau beradaptasi dan mengadopsi. Ritel berkembang pesat dan menjadi amunisi besar untuk menopang perekonomian.
Saat itu pada tahun 2011, penetrasi internet Indonesia hanya 12,3% dari total populasi. Namun, angka tersebut lebih signifikan daripada populasi satu negara. Dari segi geografi, negara ini amat luas, merupakan sebuah keuntungan sekaligus tantangan untuk sektor distribusi. E-commerce menjadi sebuah ide yang amat sangat mungkin muncul dengan fakta-fakta yang telah dikemukakan sebelumnya.
Kami memulai Blibli dengan tujuan untuk menjadi e-commerce pertama yang memberikan pengalaman customer-centric terbaik bagi pembeli dan penjual. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, kami menghadapi banyak tantangan. Berbeda dengan AS dan China dengan daratan yang luas, Indonesia memiliki lautan yang luas dalam hal distribusi. Ini adalah salah satu tantangan terbesar untuk menyediakan logistik yang hemat biaya. Selanjutnya, pembayaran menjadi batu sandungan lain di industri ini. Saat itu efisiensi perbankan belum seperti sekarang.
Semua tantangan ini memaksa kami untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan platform. Saya juga percaya bahwa untuk membuat ekosistem berfungsi, kita perlu bekerja sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu kami juga bekolaborasi dengan mitra yang sangat terpercaya untuk melayani masyarakat dengan lebih baik. Inovasi adalah kunci industri yang dinamis dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.
Inovasi apa saja yang sudah atau akan dikembangkan Blibli dalam waktu dekat?
Kami telah meluncurkan banyak inovasi sejak awal beroperasi. Bahkan, Blibli seringkali menjadi yang pertama menawarkan inovasi baru. Misalnya, pengiriman gratis dan cicilan 0% sementara yang lain masih mengenakan biaya tambahan untuk pembayaran kartu kredit. Selain itu, kami menjamin keaslian produk yang ditawarkan dalam platform. Untuk memastikan hal itu, kami hanya bekerja sama dengan mitra terpercaya. Inovasi lainnya adalah saat kami memperkenalkan fitur pre-order, bekerja sama dengan Telkomsel.
Kendati itu, kami percaya bahwa online tidak akan pernah 100% menggantikan ekosistem offline, namun untuk saling melengkapi. Oleh karena itu, tahun lalu kami meluncurkan inisiatif omnichannel untuk memenangkan pasar offline. Ada beberapa fitur termasuk Blibli in-store, Click & Collect, dan BlibliMart untuk grosir dalam rangka memperkuat strategi ini.
Di masa pandemi ini, kita juga menyadari bahwa banyak orang yang berjuang dengan pendapatan yang tidak stabil. Oleh karena itu, kami meluncurkan layanan PayLater dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar pengguna. Selain itu, UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi ini. Kami menemukan salah satu pain points mereka berada pada tempat penyimpanan produk. Kami mencoba memecahkan masalah ini dengan memperkenalkan fulfillment oleh Blibli.
Yang terbaru, kolaborasi lintas industri dengan BCA Digital, menjadikan Blibli sebagai platform e-commerce pertama yang terintegrasi penuh dengan bank digital di Indonesia. Saya percaya bahwa pengembangan ekosistem digital di Indonesia dapat mencapai potensi penuh melalui kolaborasi. Oleh karena itu, kami akan terus berinovasi dan beradaptasi dengan pasar yang terus berubah dengan menjawab tantangan dengan pengalaman.
Apakah menurut Anda status “unicorn” itu penting? Nilai esensial seperti apa yang harus dimiliki perusahaan untuk bida berkelanjutan?
Wajar jika sebuah perusahaan startup ingin meraih status atau pencapaian tertentu. Meskipun kami belum mengumumkan status apa pun secara terbuka, ukuran bisnis kami telah melampaui miliaran dolar. Dengan begitu, apakah saya bisa mengatakan bahwa kami telah mencapai status unicorn? Ya. Namun, sebagai perusahaan digital, yang sangat kami inginkan adalah menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat.
Dari segi nilai, saya pikir semua hasil yang luar biasa membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Saya mencoba menanamkan pola pikir seperti ini pada semua anggota kami di Blibli. Bahwa kita bukan hanya sebuah perusahaan, tetapi juga bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, selalu lakukan yang terbaik untuk menciptakan dampak positif melalui teknologi dan inovasi. Selain itu, ketika sebuah bisnis telah tumbuh besar, sulit untuk tidak berpuas diri, namun kita tetap perlu menjaga agility agar tetap kuat. Selalu waspada dan bersiap dengan hal yang tak terduga.
Selaku COO dari GDP Venture, bagaimana peran Anda dalam organisasi ini, apakah Anda juga melakukan investasi pribadi?
Ketika membangun Blibli, para pemegang saham kami mempertimbangkan untuk menciptakan sarana investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia. Semua yang telah kita diskusikan hanya akan berhasil ketika seluruh negeri mencapai kemakmuran. Oleh karena itu, saya membantu Martin Hartono mendirikan perusahaan investasi dan mengusulkan ide nama GDP Venture. Saya juga telah berinvestasi sebagai angel, dan yang terpenting, saya berkontribusi dengan pengalaman saya, termasuk sebagai penasihat.
Setelah mengelola Blibli sekian lama dari nol hingga tahap ini, pernahkah terpikir untuk membuat sesuatu yang baru? Atau menjelajahi industri lain?
Satu hal tentang kreasi adalah Anda dapat melakukannya dalam berbagai macam cara. Seseorang dapat menjadi pendiri, investor, atau bagian dari anggota tim. Saya punya banyak ide, yang sekarang lebih banyak disalurkan ke kegiatan investasi atau mentoring. Saya memulai di industri e-commerce, dan ini baru permulaan, potensi ke depan masih sangat panjang.
Mengenai minat, saya lebih suka industri “jadul” seperti kesehatan. Di Indonesia, negara lapis pertama pun masih kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan yang memadai. Namun, karena saya ingin membuat sesuatu di industri yang berbeda, saya ingin itu bisa menjadi bagian dari Blibli dan grup. Ketika brainstorming untuk rencana tersebut, saya diperkenalkan dengan pendiri startup yang ingin memulai bisnis serupa. Alih-alih bersaing, kami memutuskan untuk berinvestasi di startup yang saat ini kita kenal dengan Halodoc. Saya kemudian menjadi penasihat perusahaan.
Dalam hal lain, menurut saya industri edtech cukup menarik. Di atas segalanya, semua jenis industri itu bagus. Saya, secara pribadi tertarik pada bidang yang dapat berdampak langsung pada masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan. Selama masih ada makhluk hidup, industri ini akan selalu dibutuhkan.
Sebagai pemimpin yang berpengalaman, apa yang dapat Anda katakan untuk para penggiat teknologi di luar sana yang ingin mulai membangun sebuah warisan?
Setiap orang memiliki bakat dan panggilan hidup masing-masing. Tidak semua orang harus menjadi pengusaha, saya sendiri masih belajar. Untuk menjadi pengusaha atau apa pun, kita tidak bisa hanya mengandalkan keterampilan atau pengetahuan. Orang perlu memiliki karakter yang solid untuk membangun sesuatu yang berkelanjutan. Dan lagi, tidak ada yang namanya kesuksesan instan, kesuksesan itu diwujudkan.
–
Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian