Kredit pertanian di Indonesia punya margin yang seksi untuk digarap tapi riskan saat dijalankan. Hal ini sudah menjadi cerita lama buat perbankan yang masuk ke sektor ini. Ada begitu banyak isu yang membuat lembaga keuangan tidak berani terlalu dalam bermain di sektor ini.
Faktor gagal panen karena hama, cuaca buruk, dan risiko lain yang disebabkan manusia sendiri merupakan makanan sehari-hari. Meskipun risiko ini seharusnya bisa diatasi jika menggunakan asuransi, faktor kegagalan panen sama dampaknya dengan berkurangnya pasokan bahan pokok/komoditas: melonjaknya harga jual.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 yang melibatkan delapan ribu petani sebagai responden mengungkapkan, 15% petani sudah mengakses kredit bank dan 33% memperoleh bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Mayoritas petani, sekitar 52%, masih mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan kembaga keuangan non-bank lainnya.
Ada empat faktor permasalahan program kredit pertanian bila melalui bank, yaitu pemberian kredit yang tidak tepat sasaran, subsidi bunga, prosedur yang birokratis, dan tingginya risiko moral hazard. Muara dari seluruh masalah tersebut adalah potensi gagal bayar yang tinggi.
Perbankan menjawabnya dengan menetapkan bunga yang tinggi karena tingkat pengawasannya yang berbeda, misalnya menaruh orang lapangan untuk memantau dan sebagainya. Pemerintah akhirnya “menginterupsi” dengan mengubah skema penyaluran KUR mulai awal tahun ini. Jadi lebih sederhana karena target utamanya adalah pelaku usaha mikro sudah memiliki usaha tapi belum bankable.
Syarat utamanya pengajuan KUR adalah calon debitur punya usaha produktif yang aktif minimal enam bulan, tidak sedang menerima kredit kecuali kredit konsumtif, dan tidak masuk dalam daftar hitam BI. Berikutnya calon debitur mencantumkan identitas diri, berupa KTP, Kartu Keluarga, NPWP, surat nikah/cerai, surat keterangan usaha mikro atau kecil yang sudah diterbitkan pihak berwenang, dan surat keterangan lunas dan cetakan rekening dari pinjaman sebelumnya.
Jumlah pemain fintech lending di sektor agritech saja masih terbatas. Menurut catatan OJK per Maret 2020, mereka adalah iGrow, iTernak, Crowde, TaniFund, dan DanaLaut.
Memanfaatkan kekosongan
Pemain fintech terjun ke segmen ini dengan mengumpulkan semua “keberanian” dan dibarengi mitigasi risiko yang sudah diukur matang-matang. Bentuk pendanaan yang mereka tawarkan umumnya berbentuk p2p lending, artinya ada pemberi pinjaman (entah individu atau korporasi) sebagai lender untuk disalurkan sebagai pembiayaan modal usaha ke petani yang sudah diverifikasi.
TaniFund misalnya, entitas bagian dari TaniHub Group ini spesifik menyalurkan pinjaman ke para petani di proyek-proyek pertaniannya. TaniHub (e-commerce), TaniSupply (supply chain), dan TaniFund melengkapi rangkaian solusi end-to-end grup untuk para petani lokal.
Pembeda inilah yang sengaja dibentuk TaniHub Groub. TaniHub membentuk ekosistem menyeluruh buat petani dari sebelum mulai menanam hingga panen. Perusahaan akan menyerap seluruh hasil panen, dalam kualitas apapun, dengan harga yang sudah disepakati dari awal.
Hasil panen itu sepenuhnya dijual ke konsumen TaniHub, entah itu mitra b2b atau b2c (melalui platform e-commerce). Alhasil, petani tidak perlu pusing dengan risiko harus dihadapkan dengan tengkulak.
“Biasanya setelah pinjam dari tengkulak, petani itu bingung mau jual hasil panennya. Ujung-ujungnya mereka jual ke tengkulak yang ngasih harga sampai jatoh, akhirnya mereka rugi. Tapi kami 100% jadi off-taker, dari titik 0 sampai proses jual sudah masuk ke dalam ekosistem TaniHub. Petani hanya perlu memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan mutu pertaniannya,” terang Direktur TaniFund Edison Tobing.
Dengan membentuk ekosistem demikian, TaniFund berhasil menekan laju kredit macet sampai di level 0,2% dan TKB90 100%. NPL tersebut, menurutnya, bukan karena gagal bayar, melainkan keterlambatan pembayaran karena perusahaan sudah melakukan mitigasi risiko dengan segala cara, sampai memanfaatkan jasa asuransi.
Lambat laun kebutuhan pendanaan di TaniFund semakin tinggi seiring terus bertambahnya jumlah petani yang tergabung. Meskipun demikian, hal ini belum dibarengi dengan banyaknya lender institusi yang bergabung. Baru ada dua yang berasal dari bank. Mayoritas pemberi dana di TaniFund adalah individu.
Edison mengatakan, bank itu rata-rata masih bersifat konvensional. Mereka selalu menanyakan kalau pinjaman seperti ini, jaminannya seperti apa. Dengan izin sebagai p2p lending, pihaknya tidak bisa memberikan jaminan apapun karena hanya bertindak sebagai platform yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman.
“Petani itu kenapa akhirnya bekerja sama dengan kami karena mereka gagal bekerja sama dengan bank. Karena bank memberikan funding dan mengharapkan funding balik.”
Dia melanjutkan, “Pada akhirnya yang kami lakukan hanya bisa memperkuat keyakinan mereka, mengajak ketemu langsung dengan petani yang kita bina. Untuk kepastian dana dibalikkan ke lender, kami akan langsung bayarkan ke bank, bukan petani karena kami sendiri kan ambil barangnya dari petani.”
Terkait kemungkinan TaniFund bila terhubung dengan KUR, Edison menyatakan ada beberapa faktor yang kurang memungkinkan. Pertama, program KUR yang berjalan saat ini banyak diarahkan untuk komoditas yang belum menjadi unggulan TaniHub saat masuk ke platform e-commerce-nya.
Ini akan menjadi masalah bila dipaksakan TaniFund. Misalnya pemerintah banyak mendorong petani jagung untuk mengambil KUR, sementara jagung saat ini bukan menjadi produk yang paling dicari konsumen TaniHub.
“Kami tetap jaga risiko karena setelah memberikan funding, kami ada kewajiban untuk menyerapnya. Sementara produk yang dijual itu bukan yang paling dicari konsumen kita.”
Kedua, dari sisi legalitas, p2p lending memiliki ketentuan pinjaman maksimal per proyek sebesar Rp2 miliar. Sementara, program KUR ini per proyeknya menyalurkan kredit di atas angka tersebut. Masalah kedua ini menyambung ke masalah pertama, bahwa TaniFund akan kesulitan dalam menjual hasil panen ke platform-nya, sekaligus melanggar ketentuan regulator.
“Kita kebanyakan masuk ke petani menengah ke bawah yang lahannya di bawah empat hektar, tergantung jenis komoditas. [..] Kebutuhan beras di kami kemungkinan baru 2 ribu ton per bulan, sementara KUR itu serapannya luar biasa besar. Strukturnya harus kita siapkan dulu baru bisa engage [ke kementerian terkait].”
Hingga kini TaniFund telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp129 miliar. Di tahun ini saja, perusahaan telah menyalurkan Rp42,19 miliar. Ditargetkan hingga akhir tahun angka ini dapat mencapai Rp90 miliar.
Jumlah pemain terbatas
Sebenarnya ada sejumlah pemain lain yang mendedikasikan dirinya sebagai platform fintech lending untuk pertanian, peternakan, atau akuakultur. Konsep yang mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan TaniFund, yaitu melakukan pendampingan konsultasi sebagai bentuk pemberdayaan petani agar mereka paham cara menanam bahan pangan dengan baik dan mengelola keuangan dengan tepat.
Crowde, misalnya, menawarkan pinjaman modal bagi petani dengan skema setor hasil panen, yang bernama Gerakan Rakyat Petani (GARAP). Komoditas yang disasar adalah padi, jagung dan cabai. Besaran nilai setoran berbeda-beda, tergantung komoditas pertaniannya.
Setelah diberikan modal kerja, petani akan mengembalikan pinjaman dengan hasil panen menyesuaikan komoditas yang ditanam secara perlahan. Misalnya, untuk komoditas cabai yang dibudidayakan pada lahan dengan luas minimal 2.500 meter persegi (m2), petani harus menyetorkan hasil panen sebanyak 1,75 ton.
Sementara untuk komoditas padi, hasil panen yang harus disetorkan sebesar 5,7 ton di luas lahan minimal 10.000 m2. Apabila hasil panen petani melebihi patokan, hal ini akan menjadi hak petani. Inovasi ini bisa memperluas opsi petani dalam mendapatkan modal kerja.
Di luar segmen fintech, masih banyak pemain agritech lainnya yang menawarkan solusi untuk permasalahan yang berbeda-beda. Ada yang menyentuh ke unsur platform pengelolaan, IoT, hingga blockchain.
Satu segmen agritech yang paling banyak pemainnya adalah platform e-commerce yang menjual produk-produk hasil tani untuk kebutuhan sehari-hari. Tak terhitung berapa banyak pemain yang sudah menjadi pemimpin pasar, bahkan yang tiba-tiba pivot karena terdampak pandemi. Mereka mencoba peruntungan di kue yang sama.
Kue bisnis di industri ini memang besar. Perbankan sendiri belum mampu menyelesaikan kebutuhan pembiayaannya, sehingga peluang platform fintech di sektor ini masih sangat besar.
Cara platform fintech lending dalam memitigasi risiko di industri ini juga beragam. Selain memanfaatkan teknologi, ada yang mencoba menyalurkan pembiayaan lewat perantara, seperti koperasi yang dianggap lebih bersentuhan langsung dan mengerti kondisi para anggotanya. Model inilah yang diadopsi Mekar.
Meskipun demikian, pemain fintech lending masih memiliki keterbatasan dibandingkan bank, yakni ketersediaan dana. Pola channeling antara bank dan platform fintech lending dapat dilanjutkan pemanfaatannya untuk industri yang lebih luas.