Dark
Light

Kontroversi Kontrol Konten Kompasiana

2 mins read
November 13, 2013

Jagad internet baru-baru ini sempat heboh dengan sebuah tulisan yang mendiskreditkan Majalah Tempo di Kompasiana. Dan tulisan tersebut sempat beredar dan menjadi perdebatan. Bahkan dari pihak Tempo sendiri telah melakukan verifikasi dengan menanggapi tulisan tersebut, di dalam situs beritanya. Fenomena ini menimbulkan diskusi lebih lanjut, seberapa besar keharusan sebuah situs penyedia blog dalam mengontrol konten-kontennya?

Menurut Pepih Nugraha, manajer Kompasiana, alur yang terjadi sudah benar. Sebuah opini yang dilontarkan seseorang dalam blognya, ditanggapi dengan opini dari Tempo. “Sebuah opini dilawan oleh opini, bukan jalur hukum.”

Diskusi kemudian berkembang ke topik sejauh mana sebuah pengelola platform blog berhak menghapus atau mencabut sebuah blog. Pepih menyatakan, Kompasiana mencabut tulisan dari si penulis itu karena melanggar aturan. Aturan pertama, tidak jelasnya identitas penulis. Setelah di runut dan ditelisik, nama yang digunakan penulis, Jilbab Hitam, membuat blog dengan akun email Gmail Jilbab Hitam. Karena identitasnya tidak jelas, pihak Kompasiana kemudian mencoba menghubungi penulis.

“Ketika mencoba dihubungi via email dan lewat komentar juga tidak menjawab. Tidak ada niat baik untuk berbagi dan tulisan menyerang. Setelah diteliti, memang Jilbab Hitam hanya sekali menggunakan platform Kompasiana. Seperti hit dan run, ketika coba dihubungi tak menjawab,” ujar Pepih kepada DailySocial saat dihubungi via telpon.

Pepih juga menjelaskan sudah ada dalam peraturan Dewan Pers terkait media blog dengan user generated content seperti salah satunya Kompasiana: Media cyber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan koreksi setiap isi buatan pengguna yang dilaporkan dan melanggar, sesegera mungkin secara proporsional selambat-lambatnya 2 x 24 jam setelah pengaduan diterima.

“Tulisan Jilbab Hitam dicabut kurang dari waktu tersebut, setelah dihubungi tidak bisa dan dicabut sebelum pihak Tempo memintanya,”lanjut Pepih.

Mengenai penulis tanpa identitas, Pepih mengakui memang ada di Kompasiana. Bahkan saat ini Kompasiana  yang memiliki 210.000 anggota terdaftar, sekitar 3000 penulis yang aktif dan rutin melakukan posting di Kompasiana, hanya ada sekitar 10.000 pengguna yang sudah terverifikasi. Dan akan terus meningkatkannya. “Member yang terverifikasi ini mengisi identitas dengan lengkap termasuk nomor kartu identitas serta menghadiri kopdar.”

Bahkan Pepih mengatakan tidak masalah mengunakan nama alias seperti Kucing Garong atau Tante Paku misalnya, asal ada data jelas yang tercantum dalam registrasi. Lebih lanjut ia mengatakan hal seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di Kompasiana.

Beberapa waktu yang lalu juga pernah ada kisruh kasus resto, seorang penulis di Kompasiana yang merasa dirugikan menuliskan protesnya di blognya. Pihak resto meminta Kompasiana untuk bertindak kepada penulisnya. Kompasiana tak bisa melakukan hal tersebut namun menyarankan untuk membuat bantahan. Akhirnya pihak resto membuat postingan bantahan “yang bisa kita lakukan hanya membantu menjadikannya headline. Pihak resto tersebut mendapat banyak simpati dan dukungan.”

Menurut Pepih seperti itulah cara berdemokrasi di media sosial yang baik. Bahwa opini sebaiknya dilawan dengan opine, dan hal tersebut juga yang dilakukan pihak Tempo dengan menyampaikan bantahan meski lewat medianya sendiri. Tidak melalui jalur hukum.

Kompasiana telah jelas memposisikan dirinya sebagai media warga dengan format blog. Selain blog, juga merupakan media sosial dalam bentuk blog bersama (social blog) dan seluruh konten yang tayang di Kompasiana ditulis dan ditayangkan langsung oleh pengguna internet (user-generated content). Ini yang membedakan dengan media jurnalistik yang konten yang tayang melalui proses editing terlebih dahulu.

Semangat awal Kompasiana adalah sebagai jembatan antara menara gading media yang mempunyai keterbatasan dalam menayangkan sebuah berita (peristiwa). Mendorong warga untuk melaporkan peristiwa di sekitarnya atau yang dikenal dengan istilah citizen jounalism. Namun pada kenyataannya postingan seperti ini justru jarang terjadi di Kompasiana dan jumlahnya sangat kecil. Isinya menurut Pepih kebanyakan opini dan fiksi. “Kita tak bisa memaksakan warga untuk menjadi wartawan. Tapi kita memberikan wadah untuk tak sekadar mengeluarkan uneg-uneg tapi berpendapat, berbagi informasi dan pengalaman.”

Ia menjelaskan bahwa berita itu, pelaporan peristiwa yang disaksikan penulis, “Menurut saya kalau mengambil sumber dari sana-sini namun menuliskan lagi dengan bahasanya itu sudah bentuk opini. Inilah yang banyak di Kompasiana. Kedua adalah fiksi.”

Pepih menjelaskan bahwa konten yang tayang di Kompasiana pengguna harus setuju dengan aturan bahwa hal tersebut genuine, artinya asli. Bukan dari terjemahan apalagi copy paste. Bahwa konten tersebut pernah tampil di blog lain penggunanya, namun hasil karya asli pengguna tak masalah. Bahkan jika bagus, akan menjadi headline. “Headline itu penulisnya sudah terverifikasi.”

[Ilustrasi Foto: Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Kompasiana Akan Luncurkan Aplikasi Blogging Mobile

Next Story

Motorola Moto G Resmi Diluncurkan, Hadir di 30 Negara pada Januari 2014

Latest from Blog

Don't Miss

Rencana dan Target Selasar Usai Pivot Jadi Platform Tanya Jawab

Setalah menjalankan bisnis sebagai platform social blog, akhir Desember 2016

Hati-hati “Citizen Journalism”, Yang Profesional Pun Bisa Tertipu

Beberapa minggu terakhir ini banyak beredar kabar di Twitter dan