Menjadi atlet esports kini tidak hanya sebuah mimpi yang sulit digapai. Namun, jika Anda tidak tertarik untuk menjadi atlet esports profesional, ada beberapa pekerjaan lain yang bisa Anda pertimbangkan, misalnya saja caster, manajer, dan bahkan pelatih.
Anda juga bisa mempertimbangkan untuk menjadi seorang streamer. Menurut Dotesports, penghasilan streamer bisa melebihi pendapatan atlet esports, setidaknya jika Anda sukses menjadi streamer populer. Alasannya, karena streamer memiliki berbagai sumber pendapatan, seperti sponsor dan donasi para penonton.
Namun, ini bukan jalan yang mudah. Anda harus siap untuk bersaing dengan puluhan ribu streamer lainnya. Berdasarkan data TechCrunch, per Februari 2018, Twitch memiliki 27 ribu streamer. Itu tidak termasuk streamer yang menggunakan platform lain, seperti YouTube dan Facebook.
Jika atlet esports memamerkan keahlian mereka, streamer biasanya menawarkan hal yang lain. Ketika mengobrol dengan Hybrid, Agree Cory, Public Relation & Social Media Executive dari Game.ly mengatakan bahwa sekadar jago bermain game saja tidak cukup untuk menjadi seorang streamer.
Dia menyebutkan, ada beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh streamer selain jago bermain, seperti humoris, punya personalitas yang unik, dan juga passion terhadap apa yang dia lakukan.
Untuk tampil unik, masing-masing streamer biasanya memiliki gayanya sendiri. Belakangan, mulai muncul tren streamer yang membuat video tidak saat mereka bermain, tapi sekadar berbincang-bincang dengan penonton atau menunjukkan kehidupan mereka di dunia nyata.
Keberadaan fitur Just Chatting pada Twitch memudahkan para streamer untuk melakukan ini. Seperti namanya, dalam sesi Just Chatting, streamer biasanya hanya mengobrol dengan para penonton, misalnya dengan membaca pesan yang diberikan penonton dan menonton video yang disarankan fans.
Dari segi penonton, pertumbuhan penonton sesi Just Chatting di Twitch memang tidak stabil. Meskipun begitu, Just Chatting tetap bisa menjadi cara bagi streamer untuk mendekatkan diri dengan penonton mereka.
Ini bisa memperkuat emotional attachment penonton pada streamer. Penonton yang memiliki emotional attachment lebih kuat pada seorang streamermemiliki kesempatan lebih tinggi untuk membeli produk yang mendapatkan endorsement dari sang streamer.
Berdasarkan riset Transforming celebrities through social media: the role of authenticityand emotional attachment oleh Christine M. Kowalczyk dan Kathrynn R. Pounders, media sosial membantu selebritas untuk mendekatkan diri dengan fansnya. Fans melihat bahwa interaksi seorang artis di media sosial lebih otentik jika dibandingkan dengan apa yang sang artis lakukan di depan kamera. Ini justru membuat mereka lebih menyukai sang selebritas.
Interaksi yang lebih otentik akan memperkuat emotional attachment seorang fan dengan seorang selebritas. Ini membuat para fans menjadi lebih mau untuk membeli barang yang ditawarkan oleh sang artis. Dalam kasus streamer, interaksi dalam Just Chatting juga bisa membuat para penontonnya mau untuk memberikan donasi.
Bagaimana dengan pasar lokal
Tim-tim esports di Indonesia biasanya memiliki kanal YouTube resmi dan di layanan streaming lain seperti Nimo TV. Biasanya, kanal ini digunakan untuk memberikan pengumuman, seperti kemunculan tim baru atau persiapan mereka menjelang turnamen. Namun, tidak sedikit juga video yang berisi konten non-gaming.
Misalnya, RRQ pernah membuat video tentang “penggerebekan” markas tim mereka. Contoh lainnya adalah ketika EVOS membuat video tentang pengalaman mereka mencari jajanan di Singapura.
Selain sebagai cara untuk berinteraksi dengan penonton, video seperti ini juga bisa digunakan oleh tim esports untuk iklan. Ini pernah EVOS lakukan bersama Lenovo pada 2017. EVOS tidak mempromosikan layanan service center Lenovo secara terang-terangan. Sebagai gantinya, mereka membuat skenario untuk menunjukkan kualitas service center Lenovo.
Pilihan untuk menggunakan saluran resmi tim untuk konten non-gaming sebenarnya sah-sah saja, bahkan sepertinya followers akun juga banyak yang menyukai. Namun kalau menilik dari sisi branding, ada jalan lain yang bisa dilakukan. Misalnya membedakan channel yang digunakan untuk strategi engagement dan akun yang memang menyasar pemirsa esports, yang ingin melihat update jadwal, pembaruan terkini dan hal lain terkait tim esports.
Jika interaksi yang ingin dikejar, kanal resmi yang dikelola tim bisa pula sebenarnya menampilkan anggota tim yang melakukan streaming (lewat akun resmi bukan akun pribadi si atlet), dan membuka interaksi dengan penonton. Atau membuka sesi latihan untuk bisa ditonton agar para fans bisa mengerti, seberapa keras tim berlatih, ini bisa juga membangkitkan dukungan ketika tim akan bertanding.
Obrolan santai saat latihan yang kemudian menjadi konten penting sebenarnya lagi menjadi tren di esports. Setidaknya di genre Fighting Game (Street Fighter V). Para pemain asal Jepang sering kali melakukan streaming sambil mengobrol dengan para penonton atau fans. Dan terkadang dalam orbolan ini hadir konten-konten penting yang akhirnya dibahas media. Beberapa contohnya adalah ketika Daigo membahas tentang hitbox controller atau ketika Bonchan membahas tentang Punk di konten streaming lalu mereka bertemu di pertandingan resmi. Pertarungan tersebut menjadi sengit bukan karena memang match-nya seru tapi ada ‘bumbu’ lain karena obrolan streaming sebelumnya. Tim esports Echo Fox juga kerap melakukan sesi streaming santai yang dibagikan lewat akun resmi.
Obrolan dengan fans atau penonton yang dilakukan streamer tidak hanya bisa membentuk personalitas yang unik agar menjadi pembeda dengan streamer lain. Namun bisa juga menjadi sarana untuk memberikan relasi dengan para penonton, fans atau penggemar. Ini bisa pula dilakukan oleh anggota tim esports baik dengan akun personal atau akun tim.
Sumber gambar header: Con Karampelas on Unsplash.