Industri esports Indonesia mungkin memang masih imut-imutnya. Namun demikian, pertaruhan di industri ini sudah tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Pertama, Moonton dengan Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) nya sudah mulai mengenalkan sistem liga berbayar (franchising) senilai Rp15 miliar. Mengingat MLBB masih menjadi esports mainstream di ekosistem kita, pertaruhan yang lebih tinggi ini tentunya juga akan berpengaruh buat banyak pihak.
Kedua, dengan kondisi industri esports Indonesia sekarang pun, modal yang dikeluarkan untuk membangun entitas baru ataupun mempertahankan eksistensi juga sudah tidak bisa dibilang kecil.
Dengan demikian, keseriusan dan kehati-hatian jadi lebih dibutuhkan untuk bisa terus bertahan. Kepastian hukum di esports pun menjadi sebuah kebutuhan baru yang tak bisa dipandang remeh. Jadi, tanpa basa-basi lagi, berikut ini adalah 5 alasan kenapa firma hukum di esports Indonesia sudah mulai dibutuhkan.
Artikel ini merupakan hasil obrolan saya dengan Wibi Irbawanto. Kawan saya ini punya latar belakang yang cukup menarik karena, selain eksis di ekosistem esports Indonesia sebagai shoutcaster, ia juga berposisi sebagai Associate Lawyer di BACHRY & MORRIS – Law Office.
1. Situasi pasar yang sudah butuh kapasitas besar
Seperti yang tadi saya tuliskan di awal artikel, pertaruhan di industri esports Indonesia sudah cukup besar. Namun demikian, masih banyak para pelaku yang belum benar-benar paham dengan ketentuan yang sah demi hukum dan yang tidak.
Wibi pun memberikan beberapa contoh soal sejumlah ketentuan yang mungkin belum diketahui kebanyakan para pelaku esports Indonesia.
Pertama, Wibi mengatakan banyak entitas esports yang belum menyadari bahwa mendirikan PT (Perseroan Terbatas) itu saat ini lebih mudah. Kebanyakan orang masih berpedoman pada Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007. Padahal, menurutnya, undang-undang ini sudah disimpangi oleh Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2016.
Silakan konsultasi lebih lanjut ke Wibi atau yang lainnya tentang perbedaan antara keduanya, karena saya tidak mau membocorkan spoiler (padahal takut salah juga sebenarnya). Wibi pun memberikan contoh tadi karena ia yakin tidak banyak orang yang tahu ketentuan-ketentuan mana saja yang menyimpangi ketentuan lainnya.
Selain itu, perihal kontrak pemain/pekerja, Wibi menambahkan, ada banyak orang yang belum menyadari bahwa kontrak di Indonesia itu baru sah demi hukum jika yang pihak-pihak yang bersangkutan sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Dasar hukumnya dari KUHPerdata Pasal 1329-1331. Sedangkan dasar hukum yang menyatakan kedewasaan adalah KUHPerdata Pasal 330.
Contoh terakhir yang diberikan oleh Wibi adalah soal perjanjian. Perjanjian antar pihak bisa saja sah demi hukum meski tidak disalin dalam tulisan (hitam atas putih) karena alat bukti persidangan itu tidak hanya bukti tertulis. Walaupun memang, pembuktian di persidangan akan jadi lebih sulit tanpa bukti tertulis. “Namun, bukan berarti tidak mungkin alias mustahil dibuktikan,” jelas Wibi.
Itu tadi masih teaser dari sejumlah pengetahuan yang dimiliki oleh satu orang. Bayangkan saja, firma hukum yang punya sekelompok orang-orang yang dibayar untuk mempelajarinya tentu punya pengetahuan kolektif yang lebih komprehensif.
2. Mendekatkan ekosistem esports dengan negara
Sebenarnya jika kita berbicara soal peran negara, menurut saya, kata kuncinya adalah “perpajakan”. Sedangkan jika berbicara soal perpajakan, mungkin memang konsultan/firma akuntansi yang seharusnya lebih paham. Namun menurut Wibi, firma hukum setidaknya tahu hal-hal apa saja yang dikenai pajak sekaligus bisa berkolaborasi dengan konsultan akuntansi tadi jika ada masalah yang harus diselesaikan.
Sebelumnya, disclaimer dulu, saya juga tidak tahu bagaimana urusan pajak setiap pelaku esports Indonesia saat ini; apakah sudah sepenuhnya taat pajak atau tidak. Namun, saya kira isu ini penting karena tidak sedikit para pelaku ataupun komunitas esports yang mengharap ataupun mencoba meminta perhatian pemerintah ke esports Indonesia.
Kenapa pajak itu penting disadari, dipahami, dan ditaati oleh ekosistem esports kita? Mungkin itu pertanyaan yang masih harus dijawab terlebih dahulu di sini.
Jawabannya, karena pajak adalah pendapatan negara. Saya pribadi sangat percaya bahwa hal ini penting jika kita ingin mendapatkan perhatian lebih dari negara. Jika esports Indonesia tidak mampu memberikan devisa bagi negara, keterlaluan saja jika mengharapkan peran serta pemerintah membangun esports kita.
Faktanya, kita butuh peran serta pemerintah untuk membangun infrastruktur yang akan sangat berpengaruh pada kemajuan esports Indonesia; seperti infrastruktur internet, transportasi, perlindungan (ataupun pengakuan) profesi, dan yang lain-lainnya.
Memastikan semua para pelaku di industri esports untuk taat dengan segala ketentuan negara, baik itu soal pajak ataupun hukum yang berlaku, menurut saya, adalah langkah awal untuk mendekatkan industri ini dengan peran serta pemerintah (jika memang ada tujuan untuk ke arah sana).
3. Perlindungan lebih untuk aset perusahaan/perorangan
Salah satu masalah yang kerap menghantui manajemen tim/organisasi esports adalah soal poaching pemain. Buat yang belum tahu, poaching pemain adalah mencoba memengaruhi pemain untuk pindah tim secara gerilya, alias tanpa sepengetahuan manajemen tim pemain yang diinginkan.
Padahal, pemain profesional di esports bisa dibilang sebuah aset perusahaan yang sangat berharga karena prestasi dan exposure tim bisa sangat bergantung pada salah satu atau dua pemain.
Di sisi lain, di banyak perbincangan warung kopi, ada juga sejumlah kasus para talent yang tidak dibayar oleh penyelenggara acara. Dalam hal ini, waktu dan keahlian talent tadi adalah aset perorangan yang perlu dilindungi.
Selain dua contoh tadi, ada banyak lagi contoh aset lain yang bisa dilindungi dengan mengajak firma hukum untuk berkolaborasi. IP (intellectual property) ataupun uang investasi juga sebenarnya bisa diasuransikan, menurut Wibi.
Sepengetahuan saya, sampai artikel ini ditulis, sudah ada beberapa perusahaan atau organisasi esports yang mempekerjakan orang-orang tertentu untuk mengurus masalah hukum di perusahaan tersebut. Namun demikian, tak jarang juga kapasitas itu tak sesuai dengan harapan yang diinginkan.
Kenapa ini bisa terjadi? Because it takes a genius to recognize its peers… Maksud saya seperti ini: jika Anda tidak bisa bermain musik, semua orang yang bisa bermain gitar tentu terlihat ahli untuk Anda. Demikian juga dengan, misalnya, orang yang memang punya pengalaman profesional 10 tahun lebih dalam hal tulis menulis tentu akan memiliki lebih banyak kriteria penilaian ketimbang yang pengalamannya baru di bawah 5 tahun.
Kapasitas dan pengetahuan soal hukum saya kira juga demikian. Firma hukum seharusnya memang diisi oleh orang-orang yang berkecimpung di ranah ini. Jadi standar mereka, kemungkinan besar, lebih tinggi ketimbang perusahaan esports saat mencari satu karyawan untuk mengurus masalah hukum.
4. Pragmatis, bukan dramatis
Buat yang baru masuk ke ekosistem ataupun industri esports Indonesia, Anda mungkin heran kenapa ada banyak sekali drama yang terjadi di media sosial… Jujur, saya sendiri juga jengah melihatnya. Namun demikian, selain mencari ruang eksistensi, minimnya konsekuensi, ataupun mungkin sekadar mengusir kebosanan; saya kira ada juga yang memang berharap muncul solusi dari sana.
Sayangnya, biasanya, drama itu hanya jadi sebuah lose-lose solution atau malah tak ada manfaatnya sama sekali; selain memuaskan hasrat nyinyir dalam diri.
Pertikaian di jejaring sosial tadi tentu saja jauh berbeda dengan peperangan yang terjadi di meja hijau, di depan para hakim. Pertama, hasilnya sudah lebih jelas siapa yang menang dan yang kalah; dan bagaimana bentuknya. Kedua, aturan mainnya pun sudah lebih jelas dan lebih baku. Ketiga, yang tak kalah penting, peperangan itu hanya diketahui oleh orang-orang yang memang berkepentingan.
Drama di media sosial itu seringnya mengundang komentar para warganet yang tak jarang hanya memperkeruh suasana. Ditambah lagi, drama di media sosial itu, bagi saya, seperti dua orang tua yang bertengkar di depan anak-anaknya… Pamali alias ora elok…
Dengan aktifnya firma hukum atau orang-orang yang memang punya kapasitas di sana, harapan saya, hal ini dapat mengurangi drama di media sosial karena ada solusi yang lebih jelas untuk dijalani.
5. War by proxy
Tahun 2018 kemarin, berakhir sebuah peperangan besar panjang antara Samsung dan Apple di pengadilan atas tuntutan hukum masalah hak paten. Menariknya, selama proses hukum berjalan, kedua perusahaan tetap saja bekerja sama untuk divisi yang berbeda misalnya soal suplai display.
Saya kira kedua hal tadi bisa terjadi di saat yang sama karena pertikaiannya terjadi lewat pihak ketiga. Pertikaian antar dua pihak yang langsung berhadapan, tanpa pihak ketiga, kemungkinan besar akan memutuskan hubungan keduanya karena jadi terasa personal. Perang yang terasa personal tadi bisa jadi mengganggu jalannya ekosistem jika pihak-pihak yang bertikai punya andil besar di sana, apalagi jika sampai menyeret pihak lainnya lagi yang lebih suka untuk bersikap netral.
Firma hukum ataupun pihak ketiga lainnya, saya kira bisa menjadi penengah ataupun perwakilan pertikaian agar jadi tak terasa personal dan mengganggu keberlangsungan ekosistem.
Penutup
Akhirnya, saya juga tidak tahu seperti apa kondisi industri dan ekosistem esports Indonesia 5 ataupun 1 tahun ke depan. Namun, satu hal yang saya percayai, peluang keberhasilan industri akan jauh lebih besar jika dikerjakan oleh para profesional yang memang ahli di bidangnya masing-masing.
Sebaliknya, menganggap remeh satu aspek (seperti soal hukum, media, pemasaran, bisnis, dkk.) akan memperlambat laju pertumbuhan keseluruhan industri, sekaligus mempermalukan diri sendiri…