Sekarang, konsumen dapat mengajukan protes ketika mereka tidak puas dengan barang atau jasa yang mereka beli. Ketika Anda membeli sebuah barang melalui platform e-commerce dan barang yang Anda beli tidak sesuai deskripsi, Anda bisa mengajukan protes di kolom komentar. Sementara jika Anda membeli produk secara offline, Anda tetap mengajukan keluhan via media sosial atau customer service. Industri game juga punya sistem agar gamers bisa menyampaikan masukan pada developer atau publisher game.
Seorang gamer bisa menyampaikan pengalamannya memainkan sebuah game di media sosial atau bahkan platform distribusi digital game, seperti Steam. Selain itu, gamers juga bisa memberikan rating akan sebuah game di situs review agregat, seperti Metacritic. Dengan begitu, ketika gamers merasa kecewa dengan game yang dia beli, dia bisa menyampaikan keluhannya. Masalahnya, ketika gamers menyalahgunakan sistem untuk memberikan feedback ini. Misalnya, dengan melakukan review bombing.
Definisi dan Contoh dari Review Bombing
Tidak ada yang salah dengan memberikan kritik atau komplain pada sebuah game. Namun, melakukan review bombing berbeda dengan sekedar mengeluhkan bug dalam game atau cerita yang membosankan pada developer game. Review bombing adalah usaha untuk menurunkan nilai agregat dari sebuah game atau film dengan memberikan skor nol secara massal, menurut The Guardian. Biasanya, usaha untuk melakukan review bombing terorganisir. Sementara itu, Business Insider, mendefinisikan review bombing sebagai istilah ketika seri TV, film, atau video game dihujani dengan review negatif oleh fans yang belum melihat film atau memainkan game yang sudah diluncurkan, yang berakhir pada turunnya nilai dari film atau game tersebut.
Salah satu contoh game baru yang menjadi korban review bombing adalah Horizon Forbidden West, gameyang diluncurkan secara eksklusif untuk PlayStation 4 dan 5. Seperti yang disebutkan oleh Push Square, dalam semalam, game tersebut kebanjiran review negatif di Metacritics. Saat berita ini ditulis, Horizon Forbidden West untuk PlayStation 5 memiliki user score rata-rata 8,1 di Metacritic. Sebanyak 4,4 ribu reviews bersifat negatif, sementara jumlah reviews negatif mencapai 930 reviews.
Selain Horizon Forbidden West, beberapa contoh game lain yang pernah terkena review bombing adalah The Last of Us: Part 2, Mass Effect 3, Skyrim, Star Wars: Battle Front II, dan Grand Theft Auto V. Salah satu game pertama yang terkena review bomb adalah Spore dari Electronic Arts, yang diluncurkan pada 2008, hampir 15 tahun lalu.
Alasan di Balik Review Bombing
Ada berbagai macam alasan mengapa sebuah game bisa terkena review bombing. Dalam kasus Spore, para gamers memberikan skor nol secara massal sebagai bentuk protes karena EA menerapkan DRM System yang sangat tidak ramah konsumen. Ketika itu, pemain yang sudah bisa membeli Spore hanya bisa meng-install game itu sebanyak tiga kali. Setelah itu, jika Anda ingin meng-install Spore untuk keempat kalinya, Anda harus menghubungi EA. Masalahnya, mendapatkan izin dari EA tidak mudah. Karena, Anda akan diminta untuk mengajukan bukti pembelian serta alasan mengapa Anda ingin meng-install Spore sebanyak lebih dari tiga kali.
Sementara itu, Mass Effect 3 pernah terkena review bombing karena fans kecewa dengan akhir yang ditawarkan oleh BioWare. Gamers dari Skyrim melakukan review bomb karena Bethesda mencoba untuk menjual mods untuk game tersebut. Dan Grand Theft Auto V harus mengatasi review bombing karena pihak developer justru berusaha untuk memblokir mods dari game. Terakhir, Star Wars: Battle Front II dihujani review negatif karena keberadaan lootbox.
Pada 2019, The Guardian pernah mewawancara Michael, seoarang pengguna Metacritic yang pernah bekerja di bidang minyak dan gas. Dia merupakan salah satu orang yang menulis review pedas tentang Fallout 76 dan memberikan nilai 0 pada game tersebut. Michael hanyalah salah satu dari ratusan orang yang memberikan nilai 0 untuk Fallout 76. Nilai user score rata-rata dari game itu hanya 2,8. Menurut Michael, memberikan skor nol pada sebuah game merupakan cara gamer untuk memberitahukan developer dan publisher bahwa kualitas dari game yang mereka rilis sangat buruk dan tidak bisa diterima.
“Biasanya, saya tidak menulis reviews kecuali saya benar-benar tidak suka dengan game-nya,” kata Michael. “Saya juga tidak memberikan review positif kecuali game yang saya mainkan memang meninggalkan kesan yang kuat. Orang-orang yang memberikan nilai nol, saya rasa, mereka juga punya pemikiran yang sama dengan saya. Mereka ingin agar protes mereka didengar. Mereka ingin memberitahukan developer dan publisher bahwa apa yang mereka lakukan salah.” Dia merasa, jika seseorang tidak memprotes developer atau publisher ketika mereka merilis game berkualitas buruk, hal itu sama seperti mengatakan bahwa gamers tidak keberatan untuk memainkan game yang jelek.
Sayangnya, tidak semua orang melakukan review bomb untuk memberikan kritik yang relevan akan game yang dirilis oleh developer atau publisher. Terkadang, gamers membanjiri segmen review games dengan review negatif hanya karena mereka tidak menyukai apa yang dilakukan oleh sang developer. Misalnya, Firewatch pernah terkena review bombing karena developer Campo Santo mengecam YouTuber Felix “PewDiePie” Kjellberg karena dia menggunakan kata makian rasis.
Terkadang, sebuah game terkena review bombing karena pihak developer mencoba untuk menampilkan karakter dengan latar belakang yang beragam, baik dari segi gender, ras, seksualitas dan lain sebagainya. Dan masalah inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Horizon Forbidden West dan The Last of Us: Part 2 terkena review bomb.
Dalam kasus Horizon Forbidden West, sebagian gamers memberikan nilai nol dengan alasan grafik yang buruk. Padahal, grafik dari game itu dianggap memukau oleh kebanyakan orang. Faktanya, Horizon Forbidden West menampilkan grafik yang begitu realistis sehingga gamers bisa melihat bulu halus pada wajah Aloy — yang membuat sebagian gamers berang karena bulu halus tersebut dianggap sebagai jenggot. Padahal, bulu di wajah bukanlah hal yang aneh, bahkan untuk perempuan sekali pun. Tentu saja, di era modern, sebagian orang memilih untuk mencukur bulu halus di wajah mereka. Namun, ketika Aloy hidup di era post-apocalypse, ketika jumlah populasi manusia menurun drastis, apakah dia masih sempat memikirkan masalah kecantikan?
Tell me you’ve never been up close to a woman, without telling me you’ve never been up close to a woman…
This dude will go first: pic.twitter.com/glRRULUJjT
— Jesse Cox (@JesseCox) February 15, 2022
Menariknya, tidak hanya game yang terkena review bombing ketika ia mencoba untuk menjadi lebih inklusif. Hal yang sama juga terjadi di film-film layar lebar, seperti Captain Marvel dan Black Panther. Kebanyakan film superhero didominasi oleh tokoh utama pria, Captain Marvel menjadi salah satu film superhero dengan perempuan sebagai tokoh utama. Sementara Black Panther dipenuhi dengan aktor dan aktris berkulit hitam. Dan kedua film itu terkena review bombing karena sebagian orang tidak suka ketika film dari franchise besar mencoba untuk mengangkat tema tentang seksisme dan rasisme.
Mekanisme untuk Mencegah Review Bombing
Ketika The Last of Us: Part 2 menjadi korban review bombing, Metacritic menerapkan sistem baru pada penilaian game oleh gamers. Mereka menetapkan waktu tunggu selama 36 jam sejak game dirilis sebelum gamers bisa membuat review tentang game tersebut. Harapannya, gamers akan memang benar-benar memainkan game yang hendak mereka review sebelum mereka memberikan nilai dan komentar akan game tersebut.
Hanya saja, apa yang dilakukan oleh Metacritic kurang efektif. Buktinya, Horizon Forbidden West masih terkena review bombing. Dan seperti yang disebutkan oleh Engadget, keputusan Metacritic untuk memberikan waktu jeda justru mempersulit gamers yang mencari rujukan dari gamers lain ketika mereka hendak membeli game yang baru diluncurkan.
Valve punya strategi yang berbeda untuk mengatasi masalah review bombing. Apa yang Valve lakukan adalah membuat sistem yang bisa membedakan review yang valid dengan review yang tidak masuk akal. Karena, biasanya, gamers yang melakukan review bombing untuk menurunkan nilai agregat sebuah game akan memberikan alasan yang tidak ada hubungannya dengan pengalaman bermain game. Contohnya, ketika Firewatch mendapat review bombing.
“Kami mendefinisikan review bomb sebagai review yang fokus pada hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pengalaman yang didapat oleh gamers setelah mereka membeli sebuah game,” kata Valve pada Maret 2019, dikutip dari Polygon. “Karena itu, review bomb adalah sesuatu yang seharusnya tidak diperhitungkan dalam Review Score.”
Setelah itu, Valve akan menentukan awal dan akhir dari review bombing. Steam kemudian akan mengisolasi semua review yang diunggah oleh gamers pada periode review bombing dan tidak memasukkannya ke total nilai game. Bagi developer, hal ini adalah kabar baik, mengingat skor sebuah game mempengaruhi tingkat discoverability game itu. Jadi, semakin tinggi nilai sebuah game, semakin mudah pula game itu ditemukan oleh para gamers.
Akhir kata, saya rasa, setiap orang bebas untuk berpendapat. Selera seseorang akan film yang dia tonton atau game yang dia mainkan tidak selamanya sama seperti selera kebanyakan gamers lain atau kritikus game. Menurut saya, sah-sah saja jika seseorang mengkritik game atau film seperti The Last of Us: Part 2 atau Black Panther. Hanya saja, tidak ada salahnya jika kritik disampaikan dengan beradab. Biasanya, developer atau publisher game akan cenderung lebih mendengarkan kritik yang memang konstruktif.
Sumber header: PC Gamer