“Someday I would like to give back to the community.”
Ungkap Ivan Arie Sustiawan ketika bicara tentang langkah besarnya setelah mundur dari posisi CEO TaniHub dan mendirikan Venture Capital (VC) sendiri.
Pernyataan di atas juga merupakan komitmen Ivan sejak 2016 apabila ia berhasil membawa startup agritech yang ia dirikan bersama rekan-rekannya setidaknya sampai ke seri B. Target ini tercapai begitu TaniHub mengantongi pendanaan seri B senilai hampir Rp1 triliun pada Mei 2021.
Ivan bersama Founding Partner lainnya, yakni Ayunda Afifa, Bharat Ongso, dan Riswanto, mendirikan Tunnelerate, perusahaan VC yang menargetkan pendanaan ke startup tahap awal (early stage) di Indonesia.
Salah satu misinya adalah memberi kembali apa yang ia peroleh, mulai dari pengalaman, pembelajaran, dan koneksi yang ia miliki demi membantu para founder lokal yang memiliki keterbatasan akses dalam membangun startupnya.
Mengacu laporan “Mapping and Database Startup Indonesia 2018” oleh Indonesia Digital Creative Industry Society, jumlah startup di Indonesia masih didominasi oleh area Jabodetabek (522) dan Sumatera (115). Artinya, masih banyak peluang bagi founder-founder di Indonesia yang selama ini luput dari perhatian.
Bagaimana awal mula perjalanannya mendirikan Tunnelerate dan upayanya mencari founder-founder berkualitas di Indonesia? Berikut wawancara singkat DailySocial dengan Founding and Managing Partner Ivan Arie Sustiawan.
Memperpendek learning curve
Ketika mendirikan TaniHub, Ivan mengaku bahwa saat itu tak mudah membangun startup sebagai newcomer. Di samping itu, ia melihat situasi saat itu sangat terdorong oleh tren, baik itu VC maupun pelaku startup. Bukan berarti ini menjadi sesuatu yang salah, ini lebih ke preferensi saja.
Ia mengaku membutuhkan waktu lima tahun untuk belajar dalam menghadapi jatuh-bangun bisnis. Namun, meski ia berhasil melalui periode ini dengan baik, bukan berarti masalah umum yang dihadapi industri startup sudah terselesaikan selama lima tahun ini.
Berdasarkan riset internal Tunnelerate, ungkapnya, banyak founder kesulitan mendapat akses ke mentor bisnis dan pendanaan. Hal ini bisa jadi karena sejumlah faktor, seperti profil founder, latar belakang pendidikan, dan keterbatasan jaringan ke investor.
Ia menilai founder tak lagi berpikir permodalan sebagai aspek terpenting. Mereka membutuhkan bimbingan intensif dari orang-orang yang memiliki pengetahuan di bidang terkait dan pengalaman yang relevan dengan bisnis mereka.
Jabodetabek | 522 startup |
Sumatera | 115 startup |
Jawa Timur | 113 startup |
D.I Yogyakarta | 54 startup |
Jawa Barat | 44 startup |
Sulawesi | 34 startup |
Bali & NTB | 32 startup |
Jawa tengah | 30 startup |
Kalimantan | 24 startup |
Mapping and Database Startup Indonesia 2018 / Sumber: Indonesia Digital Creative Industry Society (MIKTI)
Untuk itu, Tunnelerate ingin mencoba pendekatan dan warna berbeda dengan memberikan akses ke mentor dan investor, serta mendorong founder value untuk mendorong bisnisnya. Harapannya, aspek-aspek tersebut dapat membantu memperpendek learning curve para founder startup di Indonesia.
“Pendek artinya mereka akan tetap menghadapi jatuh-bangun, tetapi cukup dua tahun saja. Kalaupun jatuh dan mengalami luka, mereka tetap bisa berjalan. Kami akan bimbing bagaimana cara merespons sebuah masalah. Karena ini early stage, mereka perlu banyak belajar, berbeda dengan startup di tahap growth atau later,” ungkapnya.
Di samping itu, belajar dari pengalamannya, ia ingin memosisikan diri sebagai partner agar dapat membantu para founder menemukan kepercayaan diri membangun produk dan bisnis, bukan menghancurkan mentalnya.
Tesis investasi
Tunnelerate mencari startup di tahap pre-seed dan seed yang sudah memiliki produk, melakukan AB testing untuk product-market fit, dan telah beroperasi selama 3-6 bulan.
Saat ini fokus investasinya baru pada beberapa vertikal, yakni fintech, healthtech, dan agritech. Namun, Ivan mengaku tidak terlalu terpaku pada vertikal tertentu, melainkan lebih tertarik pada startup yang mampu menciptakan pasar yang masif dan tidak semata mengikuti tren.
“Saya lihat, [tren] bisnis itu tidak selalu pure inovasi, bisa juga sebetulnya memodernisasikan bisnis yang sudah ada. Jika cuma sekadar ikut tren dari pemain leading atau existing, startup baru akan sulit untuk bertahan. Kami mencari startup yang dapat menciptakan new/shifting behaviour jika ingin memenangkan kompetisi,” tuturnya.
Faktor ini sangat penting untuk memastikan agar founder tidak melulu mengikuti tren, apalagi menduplikasi atau memodifikasi suksesi bisnis di negara orang.
“Selain itu, sebanyak 70% akan fokuskan pada founder material dan spirit, sedangkan sisanya ke model bisnis. Kami berinvestasi di founder karena sebagus apapun sebuah ide tidak akan ada artinya jika founder tidak mampu menjalankan atau mengeksekusi.”
Ticket size investasi
Saat ini Tunnelerate tengah mengumpulkan dana tahap pertama dari jaringan angel investor sebesar $10 juta. Targetnya bisa closing di pertengahan 2022. Namun, pihaknya sudah mulai melakukan penjajakan dengan startup secara paralel. Demikian juga dengan program akselerator yang dibentuknya.
“Karena kami juga merupakan venture builder, kami sudah mulai buka proses kurasinya, baik untuk program [akselerator] maupun di luar program. Untuk program, kira-kira sudah masuk sekitar 50 company profile deck dan tinggal diseleksi bersama investor committee panel,” ujarnya.
Untuk program akselerator, Tunnelerate membidik sebanyak 15 startup maksimal dengan ticket size rerata sebesar $100 ribu sampai $150 ribu. Di luar program, pendanaan yang diberikan ke startup juga memiliki ticket size yang sama.
“Kami membantu menghubungkan angel investor yang selama ini jarang terpapar pelaku startup. Kami ingin menunjukkan bahwa dunia VC itu tidak eksklusif, tetapi inklusif. Artinya, siapapun punya kesempatan untuk berbicara dengan mudah, dan kami terbuka untuk dengan [founder], bukan melalui proses yang rigid,” jelasnya.
Eratani dan JaPang
Selain Tunnelerate, kami juga berbincang singkat mengenai keterlibatan baru Ivan di startup agritech Eratani sejak November 2021. Sebelumnya ia juga berinvestasi di startup agritech Jaring Pangan (JaPang) pada Oktober 2021. Di kedua startup tersebut, Ivan berperan juga sebagai advisor.
Eratani merupakan startup agritech yang mendigitalisasi ekosistem pertanian dari hulu (pengelolaan rantai pasokan, pendanaan petani) hingga ke hilir (distribusi, penyaluran hasil panen). Eratani ingin mempermudah akses kepada petani dengan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan ekosistem pertanian.
Sementara JaPang adalah penyedia rantai suplai makanan terintegrasi berbasis aplikasi dan solusi keuangan untuk segmen B2B commerce yang salah satunya memproduksi makanan pokok dengan private label.
Dengan jejak sebelumnya di TaniHub, Ivan menilai keterlibatannya kali ini memilki arah yang berbeda mengingat sektor agritech begitu luas di Indonesia. Menurutnya, Eratani dan JaPang dapat memperkuat digitalisasi ekosistem pertanian dari hulu (upstream) ke hilir (downstream), termasuk memberdayakan segmen petani UMKM.
Dengan memberikan akses modal kerja, pembiayaan, dan pendampingan, ia ingin membantu petani ke akses pasar yang lebih luas. Salah satunya, mensuplai hasil produksi ke pasar maupun bisnis ritel yang memerlukan produk private label.
“Misi kami ingin meningkatkan kesejahteraan para petani, tapi tidak hanya sebatas menaikkan harga [panen] saja. Kami berupaya mendorong pendapatan petani dengan scale up bisnisnya. Misalnya, ekspansi lahan untuk meningkatkan kapasitas panen mereka.”