Industri AR/VR mungkin tidak berkembang sepesat yang diharapkan pada beberapa tahun lalu. Menurut GlobalData, tahun ini industri AR/VR tahun bernilai US$5 miliar. Padahal, pada 2015, nilai industri AR/VR diperkirakan akan mencapai US$150 miliar. Meskipun begitu, menurut data dari PwC, teknologi AR/VR akan tetap dapat mendorong ekonomi global. Dalam laporan berjudul Seeing is Believing, PwC menyebutkan, teknologi AR dan VR dapat memberikan dorongan sebesar US$1,5 triliun pada ekonomi global di 2030.
Bentuk Dorongan yang AR/VR Berikan
Di laporan Seeing is Believing, PwC juga menjelaskan bagaimana teknologi AR/VR dapat mendorong ekonomi global. Mereka menyebutkan, keuntungan yang bisa didapat oleh perusahaan dari teknologi AR/VR beragam, mulai dari mempercepat proses desain produk sampai menjadi alat latihan untuk mengerjakan tugas berbahaya. Sebagai contoh, militer bisa menggunakan VR untuk melatih pasukan dalam menjinakkan bom.
Selain itu, AR/VR juga bisa memangkas waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendesain produk. Karena, teknologi AR/VR memungkinkan perusahaan untuk menguji konsep produk tanpa harus membuat prototipe dari produk tersebut. Dampaknya ke konsumen, hal ini membuat perusahaan dapat memberikan produk dengan kualitas lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.
Contoh industri yang menggunakan teknologi VR untuk memangkas waktu desain produk adalah industri otomotif. Menurut PwC, waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan otomotif untuk membuat desain pertama sampai model di dunia nyata adalah beberapa minggu. Namun, dengan VR, proses tersebut bisa dilakukan hanya dalam waktu beberapa hari saja.
Perusahaan juga bisa menggunakan teknologi AR/VR untuk mendapatkan sumber pemasukan baru. Saat ini, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang retail, jasa, dan otomotif tengah mempertimbangkan untuk menggunakan AR atau VR untuk menampilkan produk yang mereka tawarkan pada konsumen. Sementara perusahaan game dan hiburan mencoba untuk memberikan pengalaman yang sama sekali baru dengan teknologi AR/VR.
Industri VR di Indonesia: Pandemi Justru Dorong Pertumbuhan
Untuk mengetahui tentang industri AR/VR di Indonesia, saya menghubungi Andes Rizky, Managing Director, Shinta VR. Ketika ditanya soal nilai industri AR/VR di Tanah Air, Andes berkata, “Kalau nilai industri, saya mengacu sama perhitungan dari PwC dengan beberapa adjustment, bahwa Indonesia masuk dalam pasar Asia Pasifik non-Tiongkok. Kalau kita sesuaikan, sebenarnya potensi pasar AR/VR di Indonesia itu bisa sekitar US$500 juta sampai US$2 miliar pada 2025.”
Lebih lanjut, Andes bercerita, konsumsi konten AR/VR di Indonesia mulai naik sejak 2019. Karena, ketika itu, Oculus Quest diluncurkan. Keberadaan Oculus Quest mendorong pertumbuhan industri VR karena jika dibandingkan dengan headset VR lain, Oculus Quest punya harga yang lebih terjangkau. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri AR/VR, ungkap Andes, adalah karena semakin banyak influencers dan YouTubers yang membuat konten VR, jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu.
“Kalau dari peningkatan penjualan sendiri, kita memperkirakan, 2020-2021 ini, peningkatan pendapatan para startup VR naik di angka 50-200% dari tahun 2019,” kata Andes saat dihubungi melalui pesan singkat. “COVID-19 menyebabkan banyak sekali perusahaan, institusi pemerintah, dan masyarakat melirik VR sebagai solusi pandemi.”
Bisnis AR/VR di Indonesia
Mengutip data dari data dari Indonesia VR/AR Association (INVRA), Andes mengatakan, saat ini, ada sekitar 20 startup yang bergerak di bidang AR/VR di Indonesia. Kebanyakan dari startup itu fokus pada bisnis business-to-business (B2B). “Yang punya produk hanya beberapa startup, seperti Shinta VR dengan Millealab, Space Collab, dan Virtual Character, WIR dengan produk MINAR dan DAV, Octagon Studio dengan AR Card Education, dan Assmbler,” jelas Andes.
Startup AR/VR yang melayani perusahaan sebagai klien, mereka biasanya mengerjakan proyek berdasarkan apa yang diinginkan oleh sang klien. “Jadi, perusahaan klien mau buat konten VR, lalu dikerjakan oleh startup-nya,” kata Andes. “Nah, permintaannya macam-macam, ada untuk marketing, training, dan lain sebagainya.”
Perusahaan yang menjadi klien startup VR berasal dari industri yang beragam. Pariwisata dan kesehatan jadi contoh industri yang pelakunya menggunakan AR/VR. Sementara sektor yang paling banyak menggunakan teknologi AR dan VR, menurut Andes, adalah sektor hiburan, pendidikan, dan human development. “Kalau AR, kemungkinan, sektor retail dan e-commerce akan berlomba ke sini,” ujarnya.
Kabar baik untuk pelaku industri AR/VR, generasi milenial dan gen Z yang tinggal di kota-kota besar Indonesia biasanya sudah mengerti VR. Artinya, perusahaan-perusahaan AR/VR tidak perlu terlalu mengkhawatirkan edukasi konsumen. “Jadi, orang-orang di rentang umur 10-35 tahun di kota besar, mereka sudah mengerti VR itu apa. Setidaknya, mereka sudah pernah lihat konten di media sosial atau YouTube, yang bahas tentang VR, walaupun mereka belum pernah langsung coba,” kata Andes. “Kalau dibandingkan dengan lima tahun lalu, edukasi dan awareness tentang VR sudah jauh lebih baik.”
Selama ini, salah satu masalah terbesar yang menghambat industri AR/VR tumbuh adalah harga hardware yang mahal. Namun, menurut Andes, masalah ini bisa diakali dengan membuat produk yang memang sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia dan menerapkan strategi harga yang sesuai. “Kita di Shinta VR, untuk melakukan market fit research, kita butuh 6 bulan di 2018,” ungkap Andes. “Kita melakukan iterasi produk beberapa kali. Satu kali iterasi validasi, biasanya membutuhkan waktu 2 bulan.”
Andes menyebutkan, riset menjadi kunci bagi Shinta VR untuk menetapkan harga dari produk mereka. Sementara soal harga ideal dari produk VR, dia mengatakan, hal itu targantung pada keadaan pasar. Karena itulah, dia menekankan, penting bagi perusahaan untuk melakukan riset market fit. “Iterasi produk bisa sampai tiga kali atau lebih,” ujarnya. “Sebagian orang masih menganggap bahwa VR itu mahal dan eksklusif. Padahal, memang dia kebetulan belum ketemu dengan vendor atau produk yang memang sesuai dengan kemampuan mereka. Atau mungkin karena added value-nya kurang tersampaikan.”
Selama ini, Shinta VR dikenal berkat Milealab mereka, yaitu platform yang mendukung penggunanya untuk membuat konten edukasi VR. Tahun ini, mereka meluncurkan produk baru bernama Spacecollab, yang merupakan sistem pelatihan untuk universitas dan perusahaan, dan Maha5, agensi untuk para Virtual YouTuber alias Vtubers.
Sebagai postingan perdana Twitter MAHA5, yuk kita bahas biodata vtuber-vtuber MAHA5! ☺️#MAHA5 #Vtuber #VtuberID #VTubers pic.twitter.com/t1mWc6kl9M
— MAHA5 (@maha5official) February 18, 2021
Andes percaya, ke depan, industri Vtubers di Indonesia akan menjadi besar. Meskipun begitu, menurutnya, hal yang dapat membuat industri VR menjadi mainstream adalah konsep metaverse dari Meta, yang dulu dikenal dengan nama Facebook.
“Konsep meta ini punya banyak efek. Pertama, NFT dan blockchain system semakin meningkat. Kedua, produsen headset VR akan berlomba-lomba untuk membuat alat yang ringan dan murah. Ketiga, emotional connection insight dalam dunia metaverse ini bisa memberikan insight konsumen dengan lebih komprehensif. Empat, sudah pasti akan leverage penggunaan AI dan machine learning,” kata Andes. “Konsep Meta Facebook sebenernya untuk lebih mendapatkan insight emotional loh. Dan ini bakal banyak dibutuhkan dalam dunia commerce atau social-commerce.”
Sumber: Pexels