Dua hari yang lalu saya mengikuti sebuah kajian tentang kasus hukum kerja sama IM2 dan Indosat yang juga sempat dihadiri oleh Menkominfo Rudiantara. Garis besar dari semua sisi, baik regulator, teknologi, keuangan, praktisi industri, maupun hukum, tidak ada yang menganggap janggal kemitraan ini. Apa lacur, justru yang memutus perkara memiliki pandangan yang berbeda. Buat saya, hal ini menjadi preseden buruk bagi perkembangan teknologi di Indonesia, termasuk untuk segmen startup yang sedang berkembang.
Saya mencoba tidak panjang lebar soal kasus yang menyeret mantan Dirut IM2 Indar Atmanto ke dalam bui ini. Bagi yang belum mengerti benar soal hal ini, silakan baca-baca arsip berbagai media nasional. Berdasarkan pandangan-pandangan dalam kajian tersebut, memang ada celah dari UU no 36 tahun 1999 yang mengatur soal Telekomunikasi. Di situ tidak dijabarkan tentang jenis-jenis penyelenggara layanan telekomunikasi terkini, yaitu pemilik jaringan, pengelola jasa, dan telekomunikasi khusus.
Hal ini membuka faktor multitafsir sehingga muncul putusan Mahkamah Agung yang menganggap IM2 tidak membayar Biaya Hak Penggunaan frekuensi seluler 2100 MHz ke pemerintah sebesar lebih dari 1,3 Triliun Rupiah. Padahal seharusnya hukum atau peraturan tidak boleh multitafsir dan tidak mengandung pasal-pasal “bersayap”. Pun jikalau diputus bersalah, seharusnya pihak regulator yang membolehkan praktik kerja sama seharusnya dikenai dakwaan hukum juga, meskipun sejauh ini belum ada.
Pemerintah sendiri, dalam hal ini Menkominfo, masih memberi dukungan terhadap Peninjauan Kembali (PK) untuk kasus ini. Rudiantara mengatakan bahwa meskipun tahun ini Kominfo tidak bisa mengakomodasi rencana merevisi UU Telekomunikasi tersebut, dia terbuka terhadap rencana hadirnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang menjabarkan lebih detil tentang kondisi industri terkini.
Praktek kemitraan yang dilakukan oleh IM2 dan Indosat jamak dilakukan oleh pemilik jaringan dan penyedia jasa. Anggaplah Indosat adalah pemilik barang, sementara IM2 adalah mitra penjualannya. Banyak perusahaan di industri ini yang menjalin kerja sama serupa. Putusan seperti ini bisa menjadi referensi di masa depan bahwa kerja sama seperti ini adalah “ilegal” dan mengancam kelangsungan industri telekomunikasi dan Internet itu sendiri.
Kondisi ini memberi sinyal tidak kondusif bagi ekosistem industri teknologi. Pelaku bisnis merasa tidak memiliki kepastian hukum dan takut dijebak dengan alasan-alasan politis. Khusus untuk startup sendiri, iklim seperti ini membuat mereka tidak nyaman. Contohlah rencana peraturan perpajakan terhadap layanan e-commerce atau OTT.
Saya pribadi mendukung jika layanan seperti ini, layaknya perusahaan di industri lain, dikenai pajak penghasilan. Wajar saja. Yang tidak wajar adalah jika ada pajak khusus yang dikenakan karena layanan tersebut bergerak secara online. Jadi ada pajak yang dikenakan secara ganda. Menurut saya hal ini aneh dan wanprestasi terhadap geliat industri startup, terutama e-commerce, yang mulai memasuki fase kematangan. Sebagai ilustrasi saja, raksasa e-commerce Amerika Serikat Amazon membutuhkan waktu sampai lebih dari 10 tahun hingga akhirnya mulai dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai insentif untuk memajukan bisnis di sektor ini.
Kepastian hukum adalah hal penting untuk mendukung ekosistem suatu industri, termasuk industri teknologi. Kegagalan memberikan kenyamanan soal hal ini membuat pelaku industri, termasuk investor, makin enggan berkiprah lebih jauh dan malah merugikan bagi perkembangan ekosistem itu sendiri. Pemerintah dan para penegak hukum harus memahami setiap konsekuensi yang bisa terjadi untuk setiap peraturan atau putusan hukum yang berlaku.