Perusahaan modal ventura lokal Ideosource mengungkapkan sedang mempersiapkan unit bisnis terbarunya venture debt (utang ventura), karena melihat ada potensi yang belum tergarap baik di sini. Pengumuman ini sekaligus menandai pergeseran fokus pendanaan Ideosource dari berbasis ekuitas menjadi venture debt.
Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan, venture debt cukup terkenal sebagai opsi pendanaan startup di Amerika Serikat, Eropa bahkan India, namun masih sangat baru di Indonesia.
Sebelum mantap di ranah barunya ini, Edward mengaku sudah melakukan riset mendalam sejak dua tahun lalu. Menurutnya, Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi saja.
Konsep investasi startup di Indonesia juga menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley. Di sana banyak pengembangan produk dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas.
Beda halnya di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Dampaknya, kebanyakan startup di sini lahir dan menjadi besar karena berangkat dari masalah di lapangan yang tidak butuh proses pengembangan yang lama dan bisa langsung dipasarkan.
Padahal, di luar itu ada banyak usaha yang sifatnya brick and mortar, sudah besar dan cashflow bagus, tapi tidak ada yang bisa bantu karena belum bankable. Kebutuhan pendanaan untuk bantu modal usaha tetap dibutuhkan.
Kementerian Indonesia punya banyak program pengembangan startup, dana yang dikucurkan bukan main besarnya. Namun, tidak banyak yang bisa memastikan bagaimana mereka bisa tetap beroperasi, dari dapat hibah, terima dana dari VC, sampai bankable, siapa yang bisa menjaminnya?. Ini yang menurutnya bisa dimasuki oleh venture debt dan project financing.
Perlu ditekankan di sini, venture debt adalah pembiayaan utang yang biasanya ada opsi waran untuk mengonversi utang menjadi saham. Tidak ada saham yang terdelusi dalam venture debt, kecuali ada kesepakatan waran. Sementara, project financing itu murni menyalurkan kredit.
“Bentuk growth-nya seperti startup, sudah pernah dapat seed atau angel investor dari teman dan keluarga untuk buat modal kerja. Penjualan sudah naik pelan-pelan, tapi sampai akhirnya stuck. Butuh inovasi baru, ini artinya butuh modal kerja lebih besar lagi. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.
Ideosource memanfaatkan lisensi yang dikantongi Dana Mandiri Sejahtera untuk bermain di segmen ini. Berdasarkan POJK No 35 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Usaha PMV, disebutkan venture debt adalah model dan mekanisme investasi yg berbeda dari penyertaan ekuitas. Untuk terjun ke sini, bisa memakai izin sebagai PMV atau Dana Ventura.
Ideosource sendiri belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan, termasuk harus menyetor modal minimal Rp50 miliar. Ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, mereka banyak menggalang dana dari investor eksternal.
“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun Dana Ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”
Selain Dana Mandiri Sejahtera, dua PMV yang mengantongi izin Dana Ventura adalah Mandiri Capital dan Reliance Modal Ventura.
Reduplikasi seperti Ideosource Entertainment
Ideosource akan membuat anak usaha yang bertindak sebagai operating holding. Rencananya segera beroperasi menjelang akhir tahun ini. Nama badan usaha masih dirahasiakan rapat-rapat oleh Edward.
Nantinya holding ini yang akan memiliki akses ke investor institusi dari dalam dan luar negeri memakai berbagai sumber pembiayaan dan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.
Cara yang sama juga sudah dilakukan lewat Ideosource Entertainment (IDEO), arm VC khusus industri film. Ada fund khusus yang dibentuk untuk menyalurkan pembiayaan dinamai Ideosource Film Fund (IFF) menyasar investasi film & media, produksi film, platform media analytic, digital marketing, dan sebagainya.
“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Managing Partner Ideosource],” katanya.
Tentunya akan ada perbedaan value chain yang ingin diperkuat Ideosource lewat venture debt ini. Misalnya untuk mendanai usaha di manufaktur, apabila ingin berinovasi pasti butuh lisensi IP, produk turunan pun semakin banyak. Lambat laun, makin banyak partner yang bisa digandeng untuk membesarkannya.
“Nanti kita bekerja seperti konglomerasi, dari value chain punya banyak partner. Jadi holding ini seperti ecosystem builder.”
Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup yang dibina sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.
Setidaknya startup sudah beroperasi selama dua tahun, termasuk waktu menyusun ide awalnya. Segmennya bergerak di agrikultur, FMCG, dan fintech.
Dalam debutnya, Ideosource memilih segmen yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen di awal paling utamakan karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.
Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan berpotensi dapat dikolaborasikan dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen b2b dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”
Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Akan tetapi konversi sahamnya di belakang menjelang tempo utang berakhir.
Pertimbangan yang dia ambil, lantaran tujuan Ideosource yang ingin bangun ekosistem, kemungkinan besar akan ambil saham mayoritas startup. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”
Menurutnya, konsep lama yang biasa Ideosource pakai lepas saham ketika investor masuk, kini dianggap tidak menarik lagi buat perusahaan. Alhasil, dia memilih untuk invest sekali untuk selamanya. Ujungnya menuju IPO bersama dan bangun ekosistem bersama.
“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” tutupnya.
Kiprah Ideosource sebagai VC bisa dikatakan cukup lama, sudah beroperasi sejak 2011. Sejumlah startup pernah masuk dalam portofolionya, yakni Touchten, Stockbit, Immobi, Jas Kapital, Orori, Female Daily, Bhinneka, Kapan Lagi Network, eFishery, dan masih banyak lagi.