Hype akan Teknologi VR Kembali Hidup

Keberadaan headset Quest dari Meta menjadi salah satu faktor di balik pertumbuhan industri VR

Di tahun 2010-an, banyak orang yang memperkirakan Virtual Reality (VR) akan menjadi populer di kalangan gamers dan diadopsi oleh banyak orang.

Sayangnya, perkembangan teknologi VR tidak sesuai dengan hype-nya. Ada beberapa faktor yang membuat teknologi VR gagal diadopsi secara massal. Meskipun begitu, Newzoo memperkirakan, dalam beberapa tahun ke depan, hype teknologi VR akan kembali hidup.

Proyeksi Perkembangan Industri VR

Saat ini, total penjualan headset VR mencapai 27,7 juta unit. Angka ini diperkirakan akan naik menjadi 46 juta unit pada 2024, menurut laporan terbaru dari Newzoo. Sebagai perbandingan, jumlah penjualan hardware VR pada 2019 hanya mencapai 8 juta unit. Satu hal yang harus diingat, Newzoo hanya memperhitungkan headset yang dilengkapi dengan fitur Six Degrees of Freedom (DoF) positional tracking.

Seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna, pemasukan industri VR juga diperkirakan akan naik. Pada 2019, total pemasukan segmen VR di industri game hanya mencapai US$500 juta (sekitar Rp7,8 triliun). Dalam 5 tahun, total pemasukan segmen VR dipekirakan akan naik hingga lebih dari 6 kali lipat dalam 5 tahun, menjadi US$3,2 miliar (sekitar Rp50,2 triliun) pada 2024.

Sementara di tahun 2022, total pemasukan segmen VR di industri game diperkirakan mencapai US$1,8 miliar (sekitar Rp28,2 triliun). Pada tahun depan, Newzoo memperkirakan, total pemasukan segmen game VR akan menembus US$2 miliar (sekitar Rp31,4 triliun) untuk pertama kalinya.

Jumlah pengguna VR dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Keberadaan lini Quest buatan Meta merupakan salah satu alasan di balik kembali bergeliatnya industri VR. Pada 2019, untuk pertama kali, Meta merilis Quest, headset VR mandiri yang bisa digunakan tanpa bantuan perangkat lain, seperti PC atau smartphone. Keunggulan lain yang Quest miliki adalah ia nirkabel dan memiliki harga yang cukup terjangkau.

Saat dirilis pada Oktober 2022, Quest 2 dihargai mulai dari US$299 (sekitar Rp4,7 juta). Walaupun, per Agustus 2022, harga dari headset VR itu naik menjadi US$399 (sekitar Rp6,3 juta). Sebagai perbandingan, harga dari HTC Vive berkisar pada Rp16-24 juta. Dan untuk bisa menggunakan HTC Vive, pengguna juga harus membeli PC yang cukup mumpuni untuk bisa disandingkan dengan headset VR tersebut.

Pandemi menjadi alasan lain mengapa teknologi VR kembali menarik minat perhatian banyak orang. Demi menekan tingkat penyebaran virus Corona, pemerintah dari berbagai negara memutuskan untuk menetapkan lockdown dan meminta warga untuk diam di rumah.

Hal ini membuat semakin banyak orang bermain game. Para gamers pun menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain game. Karena, game tidak lagi hanya menjadi media hiburan, tapi juga alat komunikasi.

Immersion yang ditawarkan oleh headset VR jadi salah satu daya tariknya. | Sumber: Pexels

Naiknya minat masyarakat akan game menguntungkan industri VR. Pasalnya, VR memberikan tingkat immersion yang lebih tinggi dari game biasa. Dengan menggunakan teknologi VR, seseorang dapat "masuk" ke dalam dunia virtual, memungkinkannya untuk melarikan diri dari kenyataan, walau hanya sesaat.

Terakhir, Newzoo menyebutkan, satu hal yang membuat hype akan teknologi VR kembali hidup adalah peluncuran Half-Life: Alyx. Memang, Valve mengembangkan game itu khusus untuk headset VR mereka, Valve Index. Dengan membuat Alyx sebagai game eksklusif VR, Valve tidak hanya berhasil menarik perhatian gamers pada Index, tapi juga pada headset VR secara keseluruhan.

Headset VR dan Konten VR akan Terus Bertambah

Meta berhasil mendominasi pasar headset VR mandiri untuk konsumen dengan lini Quest. Namun, hal itu bukan berarti perusahaan lain tidak berusaha untuk menantang Meta. Ialah Pico Interactive, perusahaan di bawah ByteDance, kreator TikTok, yang juga menawarkan headset VR. Sebelum ini, Pico sudah dikenal sebagai kreator headset VR untuk konsumen di Tiongkok. Namun, di tingkat global, mereka mengutamakan sisi Business-to-Business (B2B) dan fokus untuk menyediakan headset VR bagi pelaku bisnis.

Tahun ini, Pico tampaknya mengubah strategi mereka. Pada April 2022, Pico meluncurkan headset VR Pico Neo 3 Link. Dengan headset itu, Pico menyasar fans VR dan gamers di Eropa. Dan pada September 2022, mereka meluncurkan Pico 4, yang dianggap sebagai saingan dari Quest 2.

Headset VR buatan Pico dihargai mulai dari EUR429 (sekitar Rp7 juta), EUR20 (sekitar Rp300 ribu) lebih murah dari Quest 2. Tak hanya itu, di atas kertas, Pico 4 juga memiliki spesifikasi yang lebih baik dari Quest. Bodi headset buatan Pico juga lebih ringan.

Headset VR, Pico 4. | Sumber: CNET

Newzoo memperkirakan, di masa depan, akan ada semakin banyak perusahaan teknologi yang tertarik untuk menawarkan headset VR mereka sendiri. Hal ini adalah kabar baik bagi konsumen. Karena, keberadaan headset VR mandiri dengan harga terjangkau berarti, konsumen akan bisa mengakses konten VR dengan lebih mudah. Sebelum ini, salah satu masalah yang membuat teknologi VR sulit untuk diadopsi secara massal adalah mahalnya harga headset VR.

Selain Pico, perusahaan lain yang juga akan menjadi pesaing dari Meta di pasar headset VR mandiri adalah Sony. Perusahaan Jepang itu akan meluncurkan PlayStation VR2, pada awal 2023. Tentunya, keberadaan headset VR tersebut akan menarik perhatian para pemilik konsol PlayStation 5. Namun, jumlah pengguna PSVR 2 terbatas pada jumlah pengguna PS5. Padahal, sekarang, Sony tengah kesulitan untuk memenuhi permintaan konsumen akan PS5.

Selain merilis headset VR yang mumpuni, strategi Meta dan Sony di segmen VR adalah memperbanyak konten VR. Contohnya, Horizon Call of the Mountain sedang dikembangkan untuk PSVR 2.

Ke depan, Sony tampaknya akan membuat lebih banyak konten VR yang didasarkan pada franchise mereka yang populer, seperti Horizon. Sementara itu, Grand Theft Auto: San Andreas akan di-porting ke Quest. Game lawas itu di-porting ke Quest setelah porting dari Resident Evil 4 diterima dengan baik pada 2021.

Untuk menunjukkan keseriusannya dalam membuat konten VR, Meta bahkan mengakuisisi sejumlah studio VR, termasuk Camouflaj dan Armature Studio. Camouflaj merupakan developer dari Iron Mar VR, sementara Armature merupakan developer yang membuat porting Resident Evil 4 untuk VR.

Keputusan Meta dan Sony untuk menginvestasikan sumber daya mereka di VR akan membuat jumlah konten VR terus bertambah. Pada akhirnya, semakin banyaknya konten VR akan membuat lebih banyak orang tertarik untuk mendapatkan headset VR. Dan, seiring dengan bertambahnya pengguna, semakin banyak pula perusahaan yang akan tertarik untuk masuk ke industri VR.

Sumber header: Pexels