Dark
Light

Di Balik Tutupnya Sony Manchester, Studio yang Menggarap Game PSVR

5 mins read
August 27, 2021
Sony Manchester ditutup setelah lima tahun.

Sony Manchester didirikan pada 2015. Ketika itu, studio tersebut ditugaskan untuk membuat game AAA bagi PlayStation VR. Namun, lima tahun kemudian, Sony memutuskan untuk menutup studio tersebut. Keputusan ini mengejutkan orang-orang yang bekerja untuk Sony Manchester. Pasalnya, saat itu, studio bahkan masih membuka lowongan baru.

Selama lima tahun berdiri, Sony Manchester tidak pernah membeberkan proyek yang mereka kerjakan. Para pemimpin studio itu bahkan tidak memberitahukan game yang mereka kembangkan pada orang-orang yang melamar di studio tersebut. Mereka hanya memberikan informasi tentang proyek yang mereka buat setelah pelamar diterima sebagai karyawan studio.

Ketika menutup studio di Manchester, juru bicara PlayStation mengungkap bahwa alasan mereka adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan. Namun, para pelaku industri gaming tetap bertanya-tanya: proyek apa yang dikerjakan oleh Sony Manchester? Untuk menjawab pertanyaan itu, Polygon mewawancarai sejumlah orang yang pernah bekerja di studio tersebut. Hanya saja, para narasumber enggan untuk disebutkan namanya karena mereka sudah menandatangani kontrak Non-Disclosure Agreement (NDA) alias kontrak kerahasiaan terkait tugas mereka di Sony Manchester.

Awal Berdiri Sony Manchester

Ketika Sony Manchester didirikan pada 2015, posisi Studio Director diisi oleh Sam Coates. Sebelum itu, Coates pernah menjadi bagian dari Sony Creative Development Group, yang merupakan bagian dari Sony Interactive Entertainment Eropa. Tugas dari divisi tersebut adalah untuk melakukan user testing dan riset serta mengembangkan game-game baru.

Coates turun tangan langsung untuk membesarkan Sony Manchester. Ketika studio baru berdiri, dia membawa 15 developer yang punya pengalaman bekerja untuk studio-studio besar. Sementara itu, Coates bertanggung jawab pada Mark Green yang merupakan Research Director di Sony dan Eric Matthews, yang menjabat sebagai Vice President of Sony Worldwide Studios dan merupakan pendiri Bitmap Brothers.

Horizon Zero Dawn adalah salah satu game yang pernah dikerjakan oleh Matthews dan Green.

Sama seperti Coates, Matthews dan Green juga pernah menjadi bagian dari Creative Development Group. Keduanya juga punya andil dalam pengembangan sejumlah game populer, seperti Horizon Zero Dawn, Until Dawn: Rush of Blood, dan Tearaway Unfolded. Meskipun Coates melapor pada Matthews dan Green, kedua pria itu bekerja di kantor Sony di London.

Sejak studio di Manchester didirikan, Sony tidak pernah memberikan penjelasan detail tentang proyek yang dikembangkan di studio tersebut. Sony bahkan baru mengumumkan keberadaan studio Manchester pada Mei 2015. Alasannya, fans menemukan lowongan pekerjaan dari Sony, yang mencari developer di kawasan Manchester. Walau Sony mengatakan bahwa mereka akan memberikan informasi lebih lengkap akan studio baru mereka di Manchester, informasi tentang studio itu hanya bisa didapat dari lowongan kerja yang Sony buat. Dari lowongan itu, diketahui bahwa Sony Manchester bertugas untuk membuat game AAA untuk PlayStation VR.

Menurut narasumber Polygon, salah satu game yang dibuat oleh Sony Manchester dinamai CSAR: Combat, Research, and Rescue, yang sering disingkat sebagai Rescue. Game itu didasarkan pada Desert Strike, game action klasik yang diluncurkan pada 1992 untuk Sega Genesis. Hanya saja, kali ini, Sony Manchester akan membuat game Rescue dengan teknologi yang lebih modern. Konsep untuk membuat Rescue sebenarnya datang dari Evolution Studios, yang membuat game racing DriveClub.

Sama seperti di Desert Strike, dalam Rescue, para pemain akan terbang menggunakan helikopter untuk menembaki musuh dan melakukan tugas penyelamatan. Selain itu, pemain juga akan didampingi oleh seorang kopilot dan mendapatkan akses ke kapal induk yang berfungsi sebagai markas utama. Di kapal induk, para pemain akan bisa memilih misi yang akan mereka jalankan berikutnya.

Masalah Kepemimpinan Sony Manchester

Salah satu masalah yang dihadapi Sony Manchester adalah proses pengembangan game yang berjalan dengan sangat lambat. Menurut beberapa mantan karyawan, hal ini disebabkan oleh model kepemimpinan Matthews dan Green, yang cenderung melakukan micromanagement.

Tim Sony Manchester akan menghabiskan waktu sekitar 6-12 bulan untuk membuat game dengan desain yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, para pemimpin proyek lakukan akan meminta tim developer untuk mengubah sesuatu, mulai dari artstyle yang “terlalu biru” sampai posisi NPC. Dan hal ini menyebabkan para developer harus mengulang pekerjaan mereka. Jadi, tidak heran jika Sony Manchester menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk membuat prototipe.

Walau kantor utama Matthews dan Green di London, mereka pergi Manchester seminggu sekali. Saat berkunjung ke Manchester, mereka biasanya turun tangan langsung pada proses pengembangan game. Dan hal ini justru menjatuhkan moral sebagian karyawan. Alasannya, mereka merasa seolah-olah mereka tidak dipercaya untuk menyelesaikan tugas mereka. Ketika Polygon mencoba untuk mengonfirmasi hal ini pada Matthews dan Green, Matthews tidak memberikan respons dan Green memutuskan untuk tidak mmeberi komentar.

Matthews dan Green mengunjungi Sony Manchester seminggu sekali. | Sumber: KitGuru

“Komunikasi jadi masalah,” kata salah satu mantan karyawan Sony Manchester. “Eric dan Mark sama sekali tidak terbuka pada ide yang diajukan oleh anggota tim.” Dia menjelaskan, sebagian besar ide yang diajukan oleh tim Sony Manchester ditolak. Kecuali jika ide itu memang sama seperti apa yang Matthews dan Green ingin lakukan.

“Kami punya seorang produser. Namun, dia tidak bisa melakukan tugasnya karena Eric dan Mark tidak menyukai rencana yang mendetail,” ujar sang mantan pegawai. Dia bercerita, proses untuk membuat satu musuh baru bisa memakan waktu selama berbulan-bulan. Padahal, musuh yang dibuat masih dalam tahap pra-produksi.

Jauh di Mata, Jauh di Hati

Masalah lain yang dihadapi oleh studio Manchester adalah sikap tidak acuh dari Sony. Jika dibandingkan dengan studio internal Sony yang lain, jumlah staf studio Manchester memang tidak banyak, tidak lebih dari 30 orang. Alhasil, Sony seolah-olah melupakan keberadaan studio Manchester. Lebih dari satu mantan karyawan Sony Manchester bahkan menganggap studio itu sebagai proyek sampingan untuk Matthews.

Mantan pegawai Sony Manchester juga merasa mereka tidak bekerja untuk studio internal Sony. Pasalnya, kantor mereka tidak memiliki branding Sony sama sekali. Selain itu, mereka juga harus berbagi kantor yang mereka gunakan dengan perusahaan lain. Padahal, mereka seharusnya dipindahkan ke tempat lain yang memang memiliki branding Sony dan bisa mereka gunakan tanpa harus berbagi dengan perusahaan lain. Lagi, hal ini menjatuhkan semangat para karyawan Sony Manchester.

Tiga narasumber mengatakan, saat baru diterima di Sony Manchester, para staf biasanya punya semangat tinggi. Mereka bangga karena mereka bisa bekerja untuk studio internal Sony, mengembangkan game baru. Namun, setelah mereka bekerja di sana selama beberapa bulan, mereka akan sadar bahwa kenyataan jauh berbeda dari harapan mereka.

Tugas Sony Manchester adalah membuat game AAA untuk PSVR. | Sumber: The Verge

Sony Manchester tidak memiliki banyak staf. Walau ditugaskan untuk membuat game AAA, jumlah pegawai di sana tidak pernah melebihi 30 orang. Mereka juga sering membuka lowongan kerja. Namun, para petinggi studio enggan untuk menambah karyawan, terutama ketika mereka masih ada di fase pra-produksi. Mereka berencana untuk menambah pegawai ketika proyek pengembangan game sudah masuk fase produksi, yang terus tertunda.

Pada 2016, sejumlah staf Sony Manchester memutuskan untuk meninggalkan studio itu. Salah satunya adalah Gary Napper, yang menjabat sebagai Lead Designer. Pada Juni 2016, dia pindah ke Supermassive Games. Selain itu, Richard Heasman, yang menjabat sebagai Principal VFX Artist, dan Amrish Wadekar sebagai Principal Environment Artist, juga memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan Codemasters. Bahkan Sam Coates, yang menjabat sebagai Studio Director, akhirnya keluar pada Juli 2016 dan bergabung dengan Lego Group.

Setelah kepergian Coates, Matthews dan Green harus mengisi posisi yang kosong di Sony Manchester. Akhirnya, Matthews menduduki posisi Studio Director dan Green menjadi Creative Director. Meskipun begitu, keduanya tetap bekerja dari London. Mereka sempat menambah jumlah staf Sony Manchester dengan merekrut mantan developer dari Ubisoft Reflections, Sony Liverpool, Sony XDev, dan Electronic Arts. Sayangnya, perekrutan karyawan baru tidak mempercepat proses pengerjaan game di Sony Manchester.

Pada akhir 2018, Matthews dan Green sempat memindahkan tim desain Sony Manchester ke London. Harapannya, hal ini akan membuat mereka bekerja dengan lebih cepat. Namun, keputusan tersebut justru membuat komunikasi antara tim Manchester dan London menjadi semakin buruk.

Tutupnya Sony Manchester

Ada banyak perubahan yang terjadi pada Sony di 2019. Pada November 2019, mereka menunjuk Head of Worldwide Studios baru, yaitu Hermen Hulst. Tugasnya adalah untuk mengatur tim developer internal Sony. Perubahan lainnya adalah Shuhei Yoshida melepaskan jabatannya sebagai President of Worldwide Studios dan menjadi Head of Independent Developer Initiatives.

Restrukturisasi ini membuat Sony meninjau kembali proyek mereka yang tengah berjalan, termasuk Sony Manchester. Studio itu kini mendapatkan tekanan dari Sony untuk menunjukkan hasil dari kerja mereka selama beberapa tahun terakhir. Dan pada akhirnya, tim Sony Manchester mulai menunjukkan hasil. Sayangnya, hal itu tidak menyelamatkan mereka. Sony tetap memutuskan untuk menutup studio di Manchester. Hulst mengunjungi studio Manchester untuk mengumumkan hal ini pada para staf di Februari 2020.

Sejak saat itu, banyak mantan pekerja Sony Manchester yang pindah ke studio lain yang juga bermarkas di Manchester, seperti Firesprite dan Lucid Games. Kedua studio itu juga merupakan rekan Sony dalam membuat The Persistence VR dan Destruction AllStars. Setelah Sony Manchester dibubarkan, Matthews lalu menjabat sebagai Head of Game Development di TT Games, sementara Green menduduki posisi Director of Game Development di perusahaan yang sama.

Sumber header: Dual Shockers

WeWork Growth Campus
Previous Story

Kondisi dan Strategi Bisnis WeWork Menghadapi Perubahan Gaya Kerja Akibat Pandemi

DailySocial mewawancarai Anang Samsudin dari Treasury / DailySocial
Next Story

[Video] Melihat Tren Investasi Emas Digital di Indonesia

Latest from Blog

Don't Miss

Kamera-Mirrorless-Flagship-Sony-A1-II-Diperkenalkan,-Ini-Fitur-Unggulannya

Kamera Mirrorless Flagship Sony A1 II Diperkenalkan, Ini Fitur Unggulannya

Sony telah mengumumkan kamera mirrorless flagship terbarunya, Sony A1 II,

Realme 13 Pro Series 5G Segera Hadir di Indonesia, Usung Dual Sony Lenses

Realme kembali ingin mencuri perhatian anak muda dengan menghadirkan gebrakan