Startup insurtech Fuse hari ini (13/12) mengumumkan tambahan pendanaan dalam putaran seri B+ dengan total nilai lebih dari $25 juta (sekitar 363 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh investor global spesialis penggelontor dana untuk fintech dengan identitas dirahasiakan, serta dukungan dari investor sebelumnya seperti East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, dan EMTEK.
Selama enam bulan ini, Fuse telah menutup tiga putaran pendanaan Seri B dengan total perolehan lebih dari $50 juta (sekitar 725 miliar Rupiah). Dengan kata lain, mengokohkan posisi Fuse ke dalam jajaran startup centaur. Dana segar yang didapat perusahaan akan digunakan untuk membawa platform Fuse ke lebih banyak negara di Asia Tenggara. Perusahaan saat ini memiliki lebih dari 460 pegawai, dengan kantor cabang di Indonesia, Vietnam, dan Tiongkok.
Founder & CEO Fuse Andy Yeung menuturkan, rasa senangnya karena Fuse mendapat pengakuan dari investor fintech skala global di tengah pesatnya persaingan insurtech di Asia Tenggara. Pihaknya bersemangat untuk mendapatkan akses dan wawasan dari perusahaan portofolio fintech dan insurtech lainnya di jaringan global ini.
“Minat yang kuat dari investor global, bersama dengan prestasi terbaru kami masuk daftar World’s Top 100 Insurtechs 2021 yang diterbitkan oleh Sønr Global dan Ernst & Young, menegaskan kembali pendekatan ekosistem kami saat ini. Platform teknologi yang dikembangkan Fuse membuat asuransi lebih mudah diakses oleh masyarakat di Asia Tenggara,” ucap Yeung dalam keterangan resmi.
Dia melanjutkan, menurut laporan yang ia kutip, pada tahun ini kelas menengah Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh menjadi 350 juta konsumen dengan pendapatan $300 miliar dan semakin melek digital. Menurutnya, Fuse berada di posisi yang tepat untuk memasuki pasar asuransi besar yang kurang terpenetrasi ini melalui platform teknologi uniknya, yang menghadirkan kanal-kanal distribusi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan konsumen.
“Dengan kepercayaan dari investor, perusahaan asuransi, partner bisnis dan end-customer, Fuse akan terus berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan produk asuransi yang paling terjangkau dan sesuai kebutuhan. Kami sangat percaya bahwa transformasi asuransi digital dapat membantu lebih banyak orang mendapatkan proteksi asuransi, dan semoga tingkat penetrasi asuransi dapat meningkat secara substansial di tahun-tahun mendatang di Indonesia maupun Asia Tenggara.”
Sejak beroperasi di 2017, Fuse mengambil pendekatan aplikasi untuk memungkinkan penjualan asuransi dengan model bisnis B2A (Business to Agent/Broker). Perusahaan memiliki bisnis model yang komprehensif, yakni B2A, B2C comparison, B2B2C (asuransi mikro dan financial institute), yang memungkinkan untuk membantu partner mendistribusikan produk asuransi dengan biaya operasional yang terjangkau kepada end-customer.
Terdapat lebih dari 60 ribu tenaga pemasar/partner yang menggunakan aplikasi Fuse Pro untuk memasarkan produk asuransi. Fuse juga bekerja sama dengan lebih dari 40 perusahaan asuransi, mulai dari perusahaan asuransi umum hingga perusahaan asuransi jiwa, yang mendukung Fuse untuk menyediakan lebih dari 300 produk asuransi bagi end-customer.
Sejak kuartal ketiga 2021, Fuse telah resmi ditunjuk oleh Tokopedia sebagai mitra insurtech strategis untuk menyediakan semua produk asuransi umum bagi user Tokopedia. Pada September lalu, pendapatan premi bruto (Gross Written Premium/ GWP) Fuse telah melampaui Rp1 triliun, yang menjadikan Fuse sebagai perusahaan insurtech terbesar di Indonesia.
Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yeung memaparkan bahwa agen/broker memainkan peran penting dalam rantai penjualan asuransi dan mereka tidak akan terganggu teknologi dalam waktu dekat. Akhirnya diputuskan untuk membangun aplikasi Fuse Pro untuk mengaktifkan dan mendukung agen/broker dalam digitalisasi. Sekaligus, membantu mereka mengubah bisnis offline menjadi online.
“Dengan kata lain, kami ‘menggeser asuransi yang ada’ ke online, daripada mencoba ‘menciptakan’ pasar asuransi baru seperti asuransi mikro. Itu sebabnya kami fokus pada model bisnis agen/broker ini terutama sejak hari pertama,” ujarnya.
Peran vital keagenan
Sebenarnya, startup insurtech saat ini juga memiliki layanan keagenan untuk mendongkrak penjualan produk asuransi lewat agen (B2B) selain kanal ritel (B2C). PasarPolis punya PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan kedua segmen bisnis ini karena semangat sama, yakni ingin meningkatkan penetrasi produk asuransi di Indonesia.
Agen adalah garda terdepan perusahaan asuransi dalam memacu bisnis. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jalur ini memberikan kontribusi terhadap 36,1% dari total pendapatan premi asuransi jiwa hingga kuartal III 2020. Kemudian, disusul jalur bancassurance 46,95% dan jalur telemarketing 1,88%, dan lainnya 15,06%. Secara total, jumlah agen asuransi berlisensi naik 2,1% menjadi 635.326 orang dalam periode tersebut.
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. “Harap dicatat bahwa tidak semua perusahaan asuransi jiwa menggunakan agency sebagai kanal distribusinya. Jadi hal ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agen sebagai tenaga penjual,” ucapnya seperti dikutip dari Kontan.