Fujifilm baru saja memperkenalkan kamera mirrorless baru, X-E3. Tidak seperti X-E2S yang cuma membawa pembaruan minor, X-E3 merupakan suksesor sejati dari X-E2 yang diumumkan menjelang akhir tahun 2013. Hampir semua bagian X-E2 telah disempurnakan di sini, termasuk desain bergaya rangefinder-nya.
Yang paling utama adalah penggunaan sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel seperti yang terdapat pada Fujifilm X-Pro2, X-T2 dan X-T20. Kualitas gambarnya pun meningkat drastis, dengan sensitivitas ISO 200 – 12800 (bisa di-expand hingga 100 – 51200), terutama dalam kondisi low-light seperti yang sudah dibuktikan oleh X-Pro2.
Akan tetapi yang tidak kalah penting juga adalah opsi perekaman video 4K 30 fps yang dipelopori oleh X-T2. Saya sendiri sampai sekarang masih menggunakan X-E2, dan saya hampir tidak pernah memakainya untuk merekam video dikarenakan hasilnya bahkan lebih jelek dari kamera smartphone – ya, sebelum ada X-T2, kualitas video kamera mirrorless Fuji memang seburuk itu.
Semuanya sudah berubah sekarang. Fujifilm tak lagi payah untuk urusan video. Review X-T2 membuktikan kalau hasil rekaman videonya bisa sama bagusnya seperti hasil fotonya, dan pengguna bahkan dapat mengaktifkan efek Film Simulation selagi perekaman berlangsung. Ini saja sebenarnya sudah bisa menjadi indikasi betapa signifikannya kualitas video yang ditawarkan X-E3 dibanding pendahulunya.
Kualitas gambar dan video telah ditingkatkan, demikian pula untuk performa kamera secara keseluruhan. X-E3 mengemas sistem autofocus 325 titik yang sangat cekatan dalam mengikuti objek bergerak. Fujifilm bahkan mengklaim X-E3 bisa mengunci fokus pada objek yang bergerak dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya berkat penerapan algoritma baru, sedangkan dalam mode burst X-E3 dapat menjepret tanpa henti dalam kecepatan 8 fps.
Soal penampilan, sepintas X-E3 tampak mirip seperti pendahulunya tapi dengan dimensi yang sedikit lebih ringkas dan bobot lebih ringan. Panel atasnya hampir tidak berubah, terkecuali ada tuas untuk mengaktifkan mode Auto serta hilangnya pop-up flash – jangan khawatir, Fuji menyertakan flash eksternal yang bisa dipasang di hot shoe pada paket penjualannya.
Hand grip-nya telah disempurnakan, dan tepat di atasnya kini terdapat sebuah dial ekstra. Beralih ke belakang, Anda akan menjumpai layout tombol yang sangat rapi dan minimalis. Begitu minimalisnya, tombol empat arah di sisi kanan sudah tidak ada lagi di sini. Sebagai gantinya, X-E3 dapat dioperasikan menggunakan layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot.
Swipe ke atas, bawah, kiri dan kanan dapat menggantikan fungsi yang sebelumnya muncul ketika pengguna menekan tombol empat arah pada X-E2, dan semuanya dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan. Menetapkan titik fokus dengan menyentuh layar seperti pada smartphone juga mungkin dilakukan di sini.
Fuji tidak lupa menyematkan joystick kecil yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur titik fokus bagi mereka yang lebih memilih kontrol bergaya konvensional. Di atas layar, viewfinder elektronik beresolusi 2,36 juta dot siap ditugaskan kapan saja pengguna membutuhkannya.
Selain Wi-Fi, X-E3 rupanya turut mengemas konektivitas Bluetooth LE yang memungkinkannya untuk terus terhubung ke smartphone atau tablet sehingga proses memindah gambar bakal terasa jauh lebih mudah. Di bagian samping, terdapat port micro-HDMI dan mikrofon, namun sayang tidak ada jack headphone.
Fujifilm X-E3 dijadwalkan tiba di pasaran mulai bulan September ini juga dalam pilihan warna hitam atau silver, dan dalam tiga konfigurasi: $900 untuk bodinya saja, $1.300 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4, atau $1.150 bersama lensa XF 23mm f/2 R WR.
Sumber: DPReview.