Di bulan Januari lalu kami sempat menyinggung bahwa Pendiri CekAja J.P. Ellis sedang dalam tahapan untuk menginisiasi sebuah asosiasi yang dapat berperan sebagai wadah para praktisi finansial dan para stakeholder untuk merumuskan suatu visi dan misi untuk dunia finansial di Indonesia agar dapat menjadi lebih baik. Tak menunggu waktu lama, pada hari Kamis kemarin (12/2) dalam sebuah acara diskusi “Financial Technology Startup Ecosystem in Indonesia” yang berlangsung di Comma, J.P. Ellis pun mengumumkan soft launch FinTech Indonesia yang merupakan sebuah Asosiasi Penyelenggara Teknologi Jasa Finansial.
“Di Indonesia ada banyak asosiasi yang berkaitan dengan finansial, misalnya AKKI (Assosiasi Kartu Kredit Indonesia), AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia), AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia), dan lainnya. Alasan yang sama dari berdirinya asosiasi tersebut adalah lembaga finansial yaitu bank, lalu kami berpikir ‘Kenapa FinTech tidak ada asosiasinya?’,” ujar Ellis menjelaskan alasan sederhananya mengapa asosiasi FinTech Indonesia coba dibentuk.
Apa sebenarnya FinTech itu?
Menurut National Digital Research Centre (NDRC), FinTech adalah sebuah istilah untuk “inovasi dalam jasa finansial”, baik itu produk baru dari sebuah startup atau adopsi pendekatan baru dari pemain yang ada di mana teknologi adalah kuncinya. Istilah yang merupakan gabungan dari kata Financial dan Technology ini sendiri sudah mulai banyak digunakan untuk aplikasi yang lebih luas dalam ruang teknologi — untuk produk front-end konsumen hingga paradigma baru seperti Bitcoin.
Ellis juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi finansial yang cukup baik. Secara demografis, kini banyak anak muda yang bergabung dalam ekonomi kelas menengah (55 juta), masyarakat Indonesia sendiri sudah lebih banyak yang mulai online (80 juta). Ellis mengungkapkan bahwa pertumbuhan pinjaman dengan sistem gadai di Indonesia kini mencapai 35 persen. Pengguna kartu kredit untuk transaksi juga tumbuh mencapai 22 persen, belum lagi pertumbuhan pengguna jasa asuransi premium yang menunjukkan pertumbuhan mencapai 24%.
Dari sisi e-commerce dan transaksi online sendiri, pasar Indonesia masih hijau. Ellis menjelaskan bahwa di Indonesia toko ritel yang merambah dunia online masih 1%. Sedangkan di pasar yang sudah matang, toko ritel yang merambah dunia online sudah mencapai 20%.
Ellis mengatakan, “FinTech di wilayah ini, di negeri ini khususnya (Indonesia), tidak hanya jadi ‘kendaraan pembawa amal’ tetapi juga merupakan pilar tertentu yang dapat diambil oleh suatu produk sebagai pemecah masalahnya. Misalnya untuk market development dan untuk sistem pembayaran seperti online payment, sehingga dapat mengukuhkan posisi (produk), dikenal lebih banyak orang, dan dapat memperluas jaringan.”
Ellis pun menegaskan bahwa sejatinya asosiasi ini masih belum benar-benar terbentuk dan masih butuh pembahasan dan diskusi lebih jauh terutama untuk regulasi-regulasinya. Meskipun demikian, para pelaku jasa finansial, baik itu lembaga, startup finansial, ataupun para pemangku kebijakan, sudah ada yang diajak untuk bergabung. Di antara institusi finansial tersebut yaitu BNI, Bank Mandiri, Bank Danamon, BII, ANZ, AXA, Allianz, OJK, AAJI, Bank Indonesia, CekAja, mimopay, Veritrans, Ruma, dan DOKU.
Ellis berharap ke depannya asosiasi ini dapat menjadi wadah para praktisi kegiatan finansial dan para stakeholder untuk merumuskan suatu visi dan misi agar dunia finansial di Indonesia dapat menjadi lebih efisien, transparan, dan aman melalui pemanfaatan platform digital atau online.