Lelaki ini pernah memiliki pekerjaan sesuai bidang dikuasai, gaji cukup, namun tetap saja dia merasakan ada sesuatu yang kurang. Parahnya, kalau ditanya pun dia tak tahu apa yang kurang dalam hidupnya saat itu. CEO Bilna Ferry Tenka yang pernah merasakan hal itu.
Setelah lulus dari Purdue University dengan jurusan Electrical Engineering, ia bekerja di SanDisk, sebuah perusahaan data storage terkemuka di Silicon Valley.
“Jam kerja teratur, gaji bagus, hidup nyaman, Sabtu Minggu libur. Namun saat itu saya merasa hidup di Silicon Valley menjadi monoton. Saya merasa masih muda dan ingin achieve sesuatu yang lebih. Pada saat itu saya juga tidak tahu mau ngapain,” ujar Ferry membuka pembicaraan.
Kegelisahannya ini membuatnya kembali ke Indonesia. Saat kembali, ia bertemu dengan Jason Lamuda teman kuliah dulu di Purdue. Setelah berbincang-berbincang, mereka pun sepakat untuk mendirikan sebuah usaha berbasis Internet.
Pertama, mereka mendirikan sebuah situs yang dinamai CitZle, “Kepanjangan dari City Puzzle, situs City Guide tentang rekomendasi restoran yang review-nya berdasarkan dari pengguna. Saat itu user generated content masih sangat baru, dan review yang diberikan pengguna hanya ‘enak’, atau ‘tempatnya oke’. Sulit membuat mereka menuliskan review yang berguna untuk pembaca,” tutur Ferry.
Untuk menghasilkan uang, Ferry sempat berencana untuk menawarkan iklan kepada pemilik-pemilik restoran. ”Ini sulit, waktu itu pemilik restoran masih enggan mengeluarkan uang untuk beriklan di digital,” ujar Ferry.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pivot dan mendirikan DisDus, situs daily deals. Hasil pivot ini justru mendapatkan sambutan yang baik dari ritel dan restoran. “Mereka lebih terbuka kepada konsep ini, karena untuk mereka risikonya lebih kecil. Mereka tidak perlu membayar kami kalau promosi diskonnya yang ditawarkan di Disdus tidak dibeli. Lagipula ada semacam kompetisi antara satu restoran dengan lainnya, mereka berlomba-lomba membuat promo,” kenang Ferry.
Tak lama setelah itu Groupon, situs daily deals terkemuka asal Amerika Serikat, masuk ke Indonesia dan mengakuisisi DisDus. Selama satu tahun lebih setelah akuisisi tersebut Ferry masih bekerja di Groupon Indonesia, namun akhirnya ia memutuskan untuk keluar dan memulai bisnis baru.
“Kami masih memiliki saham di sana dan duduk sebagai komisaris, namun tidak berurusan lagi dengan operasional. Padahal mereka inginnya kita di sana sampai lima tahun. Tetapi saya ingin melakukan sesuatu kembali. Lalu kami memutuskan untuk mencari CEO baru. Saya dan Jason mulai mendirikan startup baru.”
Ferry akhirnya memutuskan untuk mendirikan Bilna. “Saat menjalankan DisDus, saya meihat meski member kami lebih banyak laki-laki namun yang lebih banyak membeli perempuan. Perempuan mempunyai daya beli lebih kuat. Maka saya putuskan untuk menggarap pasar ini dan mendirikan Bilna,” ujar lelaki kelahiran Bandung ini.
Ferry mengatakan tahun pertama Bilna cukup berat, sebab ia harus memulai dari awal dan harus berurusan dengan merchant dan jenis bisnis yang berbeda. “Apalagi saat mulai usaha dari awal, segalanya menjadi lebih terbatas. Sana terbatas dan sumber daya juga terbatas,”ujarnya.
Namun satu tahun dijalani dengan kerja keras membuahkan hasil. Bilna kini telah memiliki 150 staf dan mendapatkan investasi.
Ferry mengatakan bahwa ia tidak menyesal meninggalkan kenyamanannya sebagai pegawai dengan jam kerja dan penghasilan tetap. Setelah menjadi pengusaha justru bukannya makin santai tetapi jam kerjanya makin panjang. Sabtu dan Minggu saat semua orang bisa menikmati libur ia kadang masih harus mengerjakan sesuatu atau meeting.
“Bilna kan punya beberapa investor dari luar, dengan perbedaan waktu, kadang bisa meeting jam 11 malam baru mulai. Jam kerjanya otomatis jadi lebih panjang. Sekarang hidup saya hanya untuk bekerja dan keluarga,” ujarnya.
Tetapi ia justru merasa lebih bahagia dengan kesibukannya karena telah menemukan passion-nya. “Mumpung masih muda, fisik juga masih kuat. Kalau masih muda paling saat lelah, istirahat cukup juga hilang. Jadi bekerja keras selagi muda, tua tinggal menikmati,” kata Ferry yang berencana untuk pensiun dini dan memuaskan hasrat traveling-nya nanti.
Sebagai pelaku yang telah sukses, Ia tak punya saran apa-apa untuk pelaku startup. Hal yang menjadi perhatiannya di Indonesia adalah tingkat pengangguran yang tinggi dan bagaimana para pelaku startup bisa berkontribusi untuk meringankan masalah ini.
“Tingkat pengangguran kita lumayan tinggi sekitar sepuluh persen, dan orang kita kayaknya terima saja. Bandingkan dengan Amerika Serikat, tingkat pengangguran mereka tiga persen saja sudah teriak-teriak. Jadi saya justru inginnya orang-orang yang masih bekerja tetapi punya keinginan berbisnis cuma masih ragu, untuk jangan takut memulai. Sebaiknya terjun saja langsung mengejar passion-nya, dan daripada berlomba-lomba mencari pekerjaan, kenapa tidak menciptakan lapangan pekerjaan baru? Di Indonesia banyak sekali yang bisa digarap, dan kita sedang berkembang,” sarannya mantap.
Misalnya, ia mencontohkan, untuk e-commerce produk bayi saja ada banyak peluang, mulai dari toko online yang kecil-kecil hingga yang besar. Tetapi di bisnis ini dengan kompetitor justru bukan saling memakan, justru malah bersama-sama membuat orang berbelanja online, dan bersama-sama mengedukasi pasar. Dengan begitu semakin banyak pemain, ekosistemnya makin matang.
Ia juga mengatakan bahwa menjadi pengusaha tidak bisa setengah-setengah, harus “kecebur” sekalian dan dijalankan. “Saya mulai dari Citzle dan tidak berhasil kemudian pivot menjadi Disdus, sekarang Bilna. Tidak ada jalan tengah apalagi pintas,” tegasnya.
Saat ini Ferry masih tetap ingin membesarkan Bilna dan ingin terus menggarap pasar perempuan, ”Bilna nantinya tidak hanya memenuhi kebutuhan ibu dan bayi, tetapi semua kebutuhan perempuan.”