Minggu lalu, FaZe Clan baru saja melakukan penawaran saham perdana (IPO) di Nasdaq. Mereka bisa melakukan IPO setelah merger dengan B. Riley Principal 150 Merger Corp., sebuah Special-Purpose Acquisition Company (SPAC). Sesuai namanya, SPAC adalah perusahaan yang bisnisnya fokus pada mengakuisisi perusahaan privat dan membantunya untuk melakukan IPO.
Hanya saja, SPAC memiliki reputasi yang buruk. Di Amerika Serikat, keberadaan SPAC begitu kontroversial sehingga regulator mulai mempertimbangkan untuk meniadakan SPAC. Reputasi buruk SPAC muncul karena kebanyakan perusahaan yang melakukan IPO dengan bantuan SPAC biasanya memiliki keuangan yang buruk. Pasalnya, perusahaan-perusahaan itu biasanya menawarkan saham mereka dengan harga yang lebih tinggi dari seharusnya, seperti yang disebutkan oleh PC Gamer.
Asal Mula dan Strategi Bisnis FaZe Clan
Ketika berdiri pada 2010, FaZe Clan hanyalah sekelompok pemain Call of Duty yang menjadi populer karena kemampuan mereka untuk melakukan trickshot. Perlahan tapi pasti, FaZe berubah menjadi perusahaan esports dan media gaming. Sekarang, FaZe mempekerjakan lebih dari 100 orang. Kebanyakan dari karyawan FaZe merupakan atlet esports dan kreator konten. Tapi, FaZe juga melibatkan sejumlah selebritas, seperti Lil Yachty dan Snoop Dogg, yang duduk di dewan direksi FaZe.
Saat ini, FaZe memiliki lebih dari 11 tim esports yang berlaga di berbagai game, seperti Counter-Strike: Global Offensive, Fortnite, PUBG, dan VALORANT. Namun, mereka tak ingin hanya dikenal sebagai organisasi esports, tapi juga sebagai brand lifestyle. Karena itulah, FaZe tidak melulu fokus pada sisi kompetitif dari industri gaming, tapi juga pada bisnis pembuatan konten. FaZe juga memiliki toko merchandise sendiri. Tak berhenti sampai di situ, pada April 2020, mereka mengumumkan keberadaan FaZe Studios. Melalui studio ini, FaZe ingin untuk mencoba membuat film dan serial TV orisinal.
CEO FaZe Clan, Lee Trink, mengatakan bahwa mereka ingin mendakatkan diri dengan fans mereka di luar Amerika Serikat. Dia mengungkap, walau 50% audiens FaZe berasal dari luar AS, kontribusi para fans tersebut sangat kecil, hanya 5% dari total pemasukan FaZe.
Sejauh ini, salah satu model bisnis yang FaZe sudah coba adalah model subscriptions. Selain itu, Trink mengatakan, FaZe tengah berdiskusi dengan perusahaan-perusahaan Web3 tentang potensi kerja sama. Web3 adalah konsep internet yang terdesentralisasi menggunakan teknologi blockchain dan cryptocurrency. Jika internet telah memasuki era Web3, Trink berharap, FaZe akan bisa mensponsori developer untuk membuat game Play-to-Earn. Selain itu, dia juga ingin menggunakan teknologi Web3 untuk memberikan konten pada audiens FaZe secara langsung, tanpa media sosial sebagai perantara.
“Menjadikan komunitas kami sebagai komunitas Web3 memungkinkan kami untuk terhubung secara langsung dengan fans kami,” kata Trink, dikutip dari The Washington Post. “Dengan begitu, kami bisa menjadi pemilik dari hubungan kami dengan audiens. Hal ini akan memberikan kebebasan pada kami untuk membuat cara berinteraksi yang berpusat pada hubungan tersebut. Kami juga bisa membuat konten yang inginkan dengan cara apapun.”
Tantangan untuk IPO
FaZe Clan pertama kali mengumumkan rencana mereka untuk melakukan IPO pada Oktober 2021. Ketika itu, mereka mengungkap, tujuan mereka melakukan IPO adalah untuk memperkuat reputasi mereka di luar Amerika Serikat dan mencari sumber pemasukan baru. Dalam sebuah wawancara, Trink mengatakan bahwa sebagian besar audiens FaZe adalah Gen Z. Karena itulah, dia yakin, FaZe akan sukses sebagai perusahaan publik.
“Kami merupakan salah satu perusahaan terbaik yang memahami budaya anak muda,” kata Trink. “Dan sekarang, kami ingin fokus untuk memonetisasi audiens kami. Saya rasa, hal itu punya peran sangat penting dalam rencana kami untuk menjadi perusahaan publik.”
FaZe Clan is officially a publicly traded company. $FAZE pic.twitter.com/QjrOhJ9ffx
— FaZe Clan (@FaZeClan) July 20, 2022
Sayangnya, usaha FaZe Clan untuk menjadi perusahaan publik tidak selalu mulus. Salah satu masalah yang mereka hadapi adalah valuasi FaZe sebagai perusahaan ketika mereka IPO hanya mencapai US$725 juta. Padahal, ketika mereka pertama kali mengungkap rencana mereka untuk melakukan IPO pada Oktober 2021, mereka mengatakan bahwa target valuasi mereka adalah US$1 miliar. Memang, setelah melakukan merger dengan B. Riley Principal Commercial Capital, valuasi FaZe turun menjadi US$713 juta. Tak hanya itu, pada April 2022, total nilai saham FaZe juga sempat turun, menjadi US$650 juta, menurut laporan Sports Business Journal.
Walau kucuran dana yang FaZe dapatkan saat IPO lebih besar dari valuasi perusahaan pada April 2022, nilai saham mereka juga langsung turun 25% pada hari pertama setelah mereka melakukan IPO. Seolah hal itu tidak cukup buruk, FaZe juga memperkirakan, performa keuangan perusahaan akan mengalami penurunan turun karena “tren pasar saat ini”. Dan meski FaZe memiliki audiens yang luas — total pengikut akun-akun media sosial mereka mencapai 500 juta orang — hal ini tidak melindungi FaZe dari kritik karena menggunakan SPAC untuk IPO.
“Saya mengerti mengapa perusahaan-perusahaan lain dikritik karena melakukan IPO melalui jalur SPAC,” kata Trink kepada CNBC. “Tapi, untuk kami, metode ini sangat masuk akal. Saya rasa, kami adalah perusahaan Gen Z native pertama yang melakukan IPO. Saya yakin, kami juga merupakan perusahaan yang fokus pada kreator konten pertama yang melakukan IPO.”
Sementara itu, alasan FaZe melakukan merger dengan B. Riley Principal Commercial Capital adalah karena mereka membutuhkan pinjaman dana sebesar US$20 juta. Alasan FaZe meminjam uang tersebut adalah karena mereka memang belum balik modal. Pada 2021, pemasukan FaZe mencapai US$50 juta. Dan pada 2022, angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$90 juta. Hanya saja, pada 2021, FaZe justru mengalami kerugian sebesar US$19 juta.
Setelah menjadi perusahaan publik, FaZe kini harus menunjukkan rencana mereka pada para investor. Salah satu pertanyaan yang mereka harus bisa jawab adalah tentang bagaimana cara mereka memonetisasi audiens mereka, yang 80%-nya ada di rentang umur 13-34 tahun.
“Gen Z tidak peduli dengan merek yang digunakan oleh orang tua mereka,” kata Trink. “Gen Z ingin bisa merasa dekat dengan brands. Dan kami akan menjadi jembatan bagi brands untuk menjangkau Gen Z, karena kami tahu caranya mendekati mereka.”
Sumber header: Twitter