Esports diperkirakan akan menjadi industri bernilai US$1,8 miliar pada 2022. Meskipun begitu, hingga saat ini, belum ada peraturan yang pasti untuk meregulasi industri tersebut. Inilah yang mendorong diselenggarakan Esports Regulatory Congress. Acara yang akan diadakan pada 23-24 September di Barcelona, Spanyol itu diklaim sebagai konferensi regulasi esports internasional pertama di dunia.
Acara tersebut akan mengundang lebih dari 30 pembicara. Beberapa pembicara yang akan hadir antara lain Managing Director of Rogue Sports Europe, Anna Bauman, CEO of British Esports, Chester King dan CEO of Esports Middle East, Saeed Sharaf. ERC akan diadakan selama dua hari, yaitu pada 23 dan 24 September. Pada hari pertama, beberapa topik yang akan diangkat adalah masa depan esports, pengakuan pemerintah akan esports, investasi esports, tanggung jawab atlet esports dan para influencer, serta kolaborasi dengan publisher game.
Esports kini memang mulai diakui sebagai olahraga. Pada tahun lalu, Asian Games menjadikan esports sebagai pertandingan eksibisi. Sementara pada tahun ini, esports akan masuk menjadi salah satu cabang olahraga dalam SEA Games. Pemerintah Indonesia juga mengatakan bahwa mereka ingin mendukung pengembangan industri gaming dan esports. Anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarepan bahkan rela “bergabung” dengan Genflix Aerowolf untuk bisa memahami industri game dan esports di Indonesia.
https://www.youtube.com/watch?v=QLFKmE3GeYw
Menurut laporan Esports Insider, pada hari kedua dari Esports Regulator Congress, topik yang diangkat akan sedikit berbeda. Kali ini, sisi monetisasi esports yang akan dibahas, seperti tentang sponsorship dan iklan di esports. Sekarang, sponsorship memang masih menjadi sumber pendapatan utama bagi pelaku industri esports. Namun, hak siar media menjadi pendapatan dengan pertumbuhan paling tinggi. Karena itu, diharapkan, di masa depan, industri esports bisa menjadikan hak siar media sebagai sumber pemasukan utama.
Regulasi dalam sebuah industri memang penting. Namun, jika regulasi yang ada terlalu ketat, ini justru akan membuat industri tak bisa berkembang. Menurut VentureBeat, jika esports hendak diregulasi, salah satu masalah yang harus bisa diselesaikan adalah match-fixing atau manipulasi hasil pertandingan. Sayangnya, match-fixing memang merupakan masalah di ekosistem esports. Pada akhir Agustus lalu, enam orang ditangkap karena hendak sengaja membuat timnya kalah dalam turnamen CS:GO demi memenangkan taruhan.
Tanpa regulasi yang jelas pun, sebenarnya para pelaku industri telah berusaha untuk mengatasi masalah ini. Pada tahun 2015, Esports Integrity Coalition (ESIC) didirikan dengan tujuan untuk menjaga integritas esports. Untuk mencegah match-fixing, mereka bekerja sama dengan sejumlah situs judi dan pihak berwajib lokal. Selain itu, mereka juga berusaha untuk mencegah penggunaan software untuk bermain curang.
Tak hanya manipulasi hasil pertandingan, masalah lain yang harus bisa diatasi di esports adalah penggunaan doping. Walau pemain esports hanya duduk di hadapan layar saat bertanding, mereka juga bisa menggunakan doping untuk meningkatkan refleks dan konsentrasi mereka. Karena itu, para pemain esports profesional harus bisa dipastikan tidak menggunakan doping. Salah satu cara mencegah hal ini adalah dengan melakukan tes secara random. Electronic Sports League (ESL) telah melakukan ini pada para peserta dari turnamen yang mereka selenggarakan.
Masalah terakhir adalah tentang data. Dengan semakin bertumbuhnya industri esports, data para pemain — mulai dari nama, julukan yang digunakan, performa, sampai biometrik — juga akan semakin bernilai. Mengingat esports belum memiliki sistem monetisasi, penyelenggara liga dan turnamen bisa menjual data para pemain ke pihak ketiga untuk mendapatkan pendapatan ekstra.
Industri esports masih relatif muda. Di Indonesia, regulasi terkait esports masih belum ada. Jika pemerintah memang ingin mengembangkan ekosistem esports, mereka harus bisa membuat regulasi yang tepat, cukup ketat untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, tapi juga tidak sangat ketat sehingga menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan industri esports itu sendiri.
Sumber header: Esports Insider