Dark
Light

Peran Baru Edward Tirtanata: Jadi “Angel Investor” Lewat Kenangan Kapital

3 mins read
December 3, 2020
Selain mengejar "passion", Edward Tirtanata ingin berkontribusi lebih banyak ke sektor "consumer tech" Indonesia melalui angel fund Kenangan Kapital
Edward Tirtanata menjajal pengalaman baru menjadi angel investor / Kopi Kenangan

Startup new retail Kopi Kenangan telah menuai banyak sorotan berkat bisnis coffee chain Indonesia yang memperoleh pendanaan besar dari sederet VC ternama, termasuk Sequoia Capital dan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin.

Menjulangnya bisnis ini tak lepas dari upaya para pendirinya, Edward Tirtanata dan James Prananto. Kini Kopi Kenangan telah menjelma menjadi salah satu brand minuman kopi terkuat, terutama di kalangan anak muda di Indonesia.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Edward Tirtanata, bukan sebagai pendiri bisnis, melainkan pengalaman barunya sebagai angel investor melalui Kenangan Kapital. Bagaimana Edward memaknai peran barunya ini?

Passion di bidang kewirausahaan

Kiprah Edward menjadi angel investor sebetulnya telah berlangsung sejak setahun terakhir. Melalui angel fund miliknya (dengan nama dana kelolaan Kenangan Investment Fund), ia telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, antara lain BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Medigo (Klinik Pintar).

Sejak awal, ia mengaku sangat menekuni bidang enterprenuership. Hal ini terbukti dari upayanya membangun Kopi Kenangan. Namun,  kesuksesannya membangun bisnis tak ingin berhenti sampai di situ saja.

Baginya, kewirusahaan dapat diibaratkan sebagai “a good wealth management” yang mana melibatkan asset class yang berbeda. Artinya, apabila ingin melakukan pembedaan, ia tak ingin berinvestasi pada aset bagus (blue chip) atau deposit saja.

A good investor itu harus bisa diversify. Asset class angel investing, dalam satu tahun naik sepuluh kali lipat itu normal. Buat saya itu menarik,” ujar Edward.

Lewat Kenangan Kapital, ia berharap dapat berkontribusi lebih terhadap industri startup Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Edward untuk menjajal pengalaman baru dengan terlibat dalam pendanaan startup.

Ketertarikan ke sektor consumer tech

Consumer tech merupakan salah satu vertikal bisnis yang dilirik investor. Produk consumer yang dipadukan dengan teknologi menjadi alasan mengapa bisnis ini dapat di-scale up dengan mudah.

Contoh paling lekat adalah menjamurnya startup yang masuk ke bisnis tradisional dan memanfaatkan teknologi dengan pendekatan direct-to-consumer (DTC). Produk kacamata atau kecantikan kini bisa dipasarkan tanpa perlu membangun jalur distribusi.

Menyadari tren ini, Edward mengaku tertarik bermain lebih banyak pada sektor consumer tech lewat Kenangan Kapital. Ia menilai masih ada missing gap di consumer tech Indonesia.

Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak mengingat produk/layanan yang menyasar segmen consumer masih terbilang underrated dari sisi teknologi. Di sisi lain, Edward ingin melihat sejauh mana vertikal ini membawanya kepada pengalaman baru dalam berwirausaha.

Hal ini tercermin dari sejumlah portofolionya yang rata-rata bergerak di segmen B2C. Hipotesis yang agak berbeda diambil ketika berinvestasi ke Medigo.

Model bisnis yang diusung Medigo dinilai dapat memberikan impact terhadap segmen consumer. Klinik merupakan pilar utama ekosistem kesehatan di Indonesia. Saat ini, masih banyak klinik yang belum tersandarisasi, sedangkan biaya perawatan di rumah sakit masih terbilang mahal dan belum dapat menjangkau segmen grassroot.

We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” ungkap Edward.

Tantangan

Di luar fokus utamanya di consumer tech, Edward mengungkap ia tidak menetapkan berapa target portofolio yang akan dikejar di tahun 2021. Demikian pula target range investasi yang akan dikucurkan Kenangan Kapital.

Menurutnya, angel investor tidak memiliki pressure tertentu dalam memberikan pendanaan. Hal ini berkebalikan dengan cara kerja VC yang punya KPI tersendiri. Ia cenderung memilih berinvestasi jika melihat peluang yang ada di depan mata.

“Saya pikir menjadi angel investor tidak harus punya target investasi [yang dikeluarkan]. Semua tergantung dari deal per deal. Tentu saja jika ada pengecualian untuk perusahaan tertentu, saya bisa investasi sebanyak mungkin,” paparnya.

Meskipun tidak memiliki KPI tertentu, Edward menekankan bahwa hal terpenting dalam mengikuti pertumbuhan bisnis portofolionya adalah product to market fit. Apabila startup mendulang traksi organik, paling tidak metrik yang ia ukur adalah customer acquisition cost (CAC).

Kendati demikian, Edward mengakui bahwa tantangan menjadi angel investor sebetulnya tak jauh berbeda dengan venture capitalist. Yang paling umum adalah perihal menyeleksi portofolio. Ia cenderung memilih founder yang dapat menjalankan/menemukan bisnis yang tepat.

“Banyak good founder, tapi tak banyak good founder yang pick a good business. Lebih baik berinvestasi di bisnis yang oke meski founder-nya mediocre. Yang utama buat saya sih conviction. Artinya, no matter what happens, mereka tetap bertahan and make the best out of it. Istilahnya ada determination,” tuturnya.

Menjadi CEO dan investor sekaligus

Lalu bagaimana Edward mengelola perannya menjadi CEO dan angel investor seiring berkembangnya jumlah portofolio Kenangan Kapital di masa depan?

“Pertama, saya perlu menegaskan bahwa full time job utama saya adalah sebagai CEO Kopi Kenangan. Saya tidak ingin passion saya untuk membantu para entrepreneur justru menganggu pekerjaan utama saya di Kopi Kenangan,” ucapnya.

Kedua, ia menilai tidak baik bagi setiap pebisnis untuk terlalu bergantung pada investor mereka dalam jangka waktu lama. Idealnya, para founder ini diharapkan bisa menjadi independen dan fokus terhadap bisnisnya dalam tiga hingga enam bulan.

“Karena Kenangan Kapital itu seperti family office atau tidak ada investor luar, saya tidak ada pressure untuk deploy modal seperti halnya private equity atau VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” ungkapnya.

Justru ia mengaku senang apabila portofolionya ada yang bergabung di program akselerator ternama. Menurut Edward, itu dapat berarti mereka tidak bakal memerlukan keterlibatannya lebih banyak di bisnis.

Mengakomodasi ekosistem angel investor

Tak dimungkiri bahwa ekosistem angel investor di Indonesia terbilang tak terdengar gaungnya. Padahal angel investor berperan besar dalam memberikan pendanaan startup di fase awal.

Menurut Edward, eksistensi angel investor di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Negara kiblat industri startup ini memiliki platform database yang menjaring ribuan angel investor di sana. Dengan begitu, startup bisa mendapatkan akses langsung dan lebih mudah mencari pendanaan ke angel investor.

“Di sini akses ke angel investor agak sulit, makanya mereka cenderung cari opsi pendanaan ke keluarga. Makanya, ini yang membuat mereka juga ga bisa kasih pengalaman [yang relevan] ke startup yang diinvestasi karena investor-nya bukan dari background startup,” jelas Edward.

Ia memahami situasi ini. Menurutnya fenomenanya sama ketika industri VC baru bermunculan dan populer beberapa tahun belakangan. Seiring berkembangnya industri, ia berharap ekosistem angel investor bakal ikut berkembang juga nanti.

Previous Story

Zens Modular Adalah Satu Set Wireless Charger yang Dapat Menampung Hingga Enam Perangkat Sekaligus

DigiResto
Next Story

MCAS Luncurkan DigiResto, Bantu Bisnis F&B Hadirkan Sistem Pemesanan Online

Latest from Blog

Don't Miss