Indosat diberitakan bakal mengikuti jejak pesaingnya untuk melakukan ujicoba teknologi Long Term Evolution (LTE) dan bakal dilakukan di frekuensi 1800 MHz dan 2100 MHz. Selain Indosat, Telkomsel dan XL sudah lebih dulu melakukan langkah yang sama. Meskipun jajal menjajal teknologi sudah kerap dilakukan, LTE sendiri masih jauh perjalanannya untuk diimplementasikan secara publik di Indonesia. Belum lagi benturan regulasi yang masih carut-marut tentang frekuensi LTE yang dialokasikan. Saya pribadi berharap bahwa operator menghentikan buang duit untuk LTE dan fokus ke infrastruktur 3G yang ada terlebih dahulu.
Pertama mari kita bahas soal LTE. Kita tentu boleh saja bermimpi LTE hadir di Indonesia, karena kita sudah capek berharap untuk memiliki jaringan Internet yang kondusif. Karena Internet broadband atau kabel tidak mampu gerak cepat memberikan paket Internet cepat dengan harga terjangkau di berbagai lokasi di negara ini, konsumen beralih ke teknologi seluler yang memiliki coverage area yang lebih luas. LTE menawarkan kecepatan yang luar biasa (untuk standar konsumen Indonesia) dan bisa jadi solusi jangka menengah (untuk 5-10 tahun ke depan) bagi kebutuhan Internet cepat.
Sayangnya, regulasi pemerintah masih belum pro ke penerapan teknologi LTE. Paling cepat mungkin kita bisa menikmati LTE di tahun 2014, tapi frekuensi yang direncanakan, yaitu 2300 MHz, bukanlah frekuensi yang populer untuk implementasi LTE. Setidaknya iPhone dan beberapa handset Android high end belum ada yang mendukung frekuensi ini. Hal ini menjadi semakin sulit jika pemerintah masih kekeuh melarang operator untuk mengkonversikan bandwidth yang dimilikinya di frekuensi populer (900 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz) ke teknologi yang lebih maju.
Bagaimana seharusnya prioritas jangka pendek (dalam jangka waktu 1-5 tahun ke depan) yang menjadi fokus oleh operator? Berkaca dari pengalaman saya di Amerika Serikat, di mana AT&T dan Verizon Wireless sudah memiliki jaringan LTE, seharusnya operator menitikberatkan pada optimalisasi infrastruktur 3G baik secara coverage maupun secara kualitas.
Mari kita kunokan teknologi 2G, kalau bisa dipunahkan dari Indonesia, sehingga frekuensi 900 MHz semakin lowong. Sementara frekuensi 1800 MHz dan 2100 MHz (dan mungkin 2600 MHz?) bisa dioptimalkan untuk pemanfaatan HSPA+ dan DC-HSPA+ (H+, di Amerika Serikat bahasa pemasarannya 4G) yang lebih baik lagi. Harus ada SLA yang jelas untuk tiap teknologi, misalnya mencapai kecepatan downlink 1-3 Mbps untuk kualitas 3G standar dan >5 Mbps untuk yang sudah menggunakan H+. Operator juga bisa bekerja sama dengan pembuat smartphone lokal (atau internasional) untuk mem-bundling lebih banyak lagi smartphone yang mendukung teknologi H+ dengan harga lebih terjangkau. Penyebarannya pun harus merata dari Sabang sampai Merauke dan di sini biaya lebih efektif dikeluarkan.
Setelah semuanya terlingkupi saya pikir langkah menuju LTE (atau bahkan teknologi yang lebih baru) semakin mudah mengingat frekuensi rendah seperti 900 MHz seharusnya paling optimal (dari sisi teknologi dan biaya) untuk dikonversikan ke LTE.