18 February 2019

by Yoga Wisesa

Dari Medal of Honor Sampai Apex Legends, Bagaimana 2 Desainer Game Legendaris Merevolusi FPS

Inilah 'kisah singkat' perjalanan Vince Zampella dan Jason West merombak industri first-person shooter.

Satu fakta tak terbantahkan: battle royale merombak jalannya industri gaming. Demam yang dicetus oleh PUBG itu diteruskan Fornite. Dalam waktu singkat, para publisher dan developer ternama segera mengadopsi formula populer ini ke seri shooter kebanggaan mereka, misalnya Call of Duty dan Battlefield. Langkah serupa juga diambil oleh Respawn Entertainment melalui Apex Legends.

Apex Legends adalah game terbaru dari studio pimpinan Vince Zampella yang digarap untuk memuaskan dahaga akan battle royale. Menariknya, game sengaja diracik sebagai ekstensi franchise andalan Respawn. Pada dasarnya, Apex Legends mengambil latar belakang dunia yang sama dengan Titanfall. Kabar gembira bagi Respawn, game FPS tersebut sukses besar, berhasil menghimpun 25 juta pemain hanya dalam waktu seminggu.

Media dan gamer memuji banyak aspek di Apex Legends, dari mulai betapa mudah diaksesnya permainan (bahkan buat orang yang tadinya kurang menggemari battle royale) hingga sistem ping revolusioner yang memungkinkan kita berkomunikasi tanpa perlu bicara langsung. Banyak orang juga terkejut pada kualitasnya. Dengan begitu kayanya konten serta nilai produksi tinggi, sebetulnya dapat dimaklumi jika Apex Legends disuguhkan sebagai produk berbayar. Nyatanya, ia adalah game free-to-play.

Keberhasilan Apex Legends menyegarkan kembali ranah battle royale yang mulai terasa jenuh adalah buah dari pengalaman sang studio dalam menggarap game. Bagi khalayak umum, Respawn Entertainment terkenal karena dua game Titanfall. Namun sebetulnya, kemahiran tim meramu shooter datang dari reputasi sang nahkoda, Vince Zampella yang telah berkiprah di industri sejak lebih dari 15 tahun silam. Nama Zampella sendiri sulit dipisahkan dari rekan seperjuangannya, Jason West.

Jason West (kiri) dan Vince Zampella (kanan) | Eurogamer

Untuk mengetahui besarnya jasa Jason West dan Vince Zampella, kita harus mundur mengarungi lorong waktu lebih dari dua dekade ke belakang. Siapkan secangkir kopi jika perlu, karena ini akan jadi satu cerita yang panjang.

 

Awal mula

Saat itu tahun 1997. Sutradara Steven Spielberg baru saja merampungkan pengerjaan film Saving Private Ryan. Di rumah, ia melihat putranya sibuk menikmati GoldenEye 007 di Nintendo 64. Tema Perang Dunia kedua masih membekas di benaknya. Dan hal tersebut memberi sang sutradara ide: bagaimana jika latar belakang PD2 dituangkan dalam permainan video? Inilah momen lahirnya seri Medal of Honor.

Dalam melakukannya, didirikanlah sebuah studio bernama DreamWorks Interactive yang merupakan joint venture antara DreamWorks and Microsoft. Pengembangan Medal of Honor dilakukan selama kurang lebih dua tahun bersama produser Peter Hirschmann dan dibantu oleh Dale Dye sebagai penasehat militer. Di tahun 1999, Medal of Honor pertama dilepas untuk PlayStation, dipublikasikan oleh Electronic Arts.

Medal of Honor ternyata berahasil memukau gamer dan media. Penjualannya pun terbilang tinggi, sehingga memberi kepercayaan diri serta modal bagi DreamWorks Interactive untuk mengerjakan sekuelnya. Melihat adanya potensi besar menunggu di balik IP ini, EA membeli DreamWorks Interactive beberapa bulan sebelum permainan kedua di seri ini - Medal of Honor: Undergrounds - dilepas.

Untuk game ketiganya, Electronic Arts punya ambisi yang lebih besar. Mereka ingin meluncurkannya di lebih banyak sistem. Dalam penggarapannya, sang publisher menunjuk studio asal Amerika, 2015, Inc., mengandalkan Steven Spielberg buat menulis cerita dan mempercayakan dua orang developer sebagai ujung tombak proyek ini. Kedua talenta itu adalah para pahlawan kita, Vince Zampella dan Jason West.

Medal of Honor: Allied Assault merupakan game dengan skor tertinggi di franchise ini, mencetak angka 91 di situs agregat Metacritic, 91,05 persen di Game Rangkings, dan memenangkan beberapa penghargaan Game of the Year 2002. Dalam enam bulan selepas pendaratannya, permainan terjual lebih dari 900 ribu kopi dan menghasilkan pemasukan senilai US$ 34.2 juta. Jumlah yang tergolong banyak waktu itu.

Allied Assault ialah salah satu permainan shooter yang paling berkesan buat saya. Selain menyajikan perlengkapan dan kendaraan perang paling autentik di masanya, di sebuah level, untuk pertama kalinya sebuah game mampu mensimulasikan kacau dan mengerikannya pendaratan pasukan infantri Amerika di sektor Omaha, pantai Normandia, Perancis. Pengalamannya mirip seperti adegan pembuka di film Saving Private Ryan.

 

'Panggilan tugas' baru

Tapi cuma sampai di sana saja perjalanan Vince Zampella dan Jason West bersama Electronic Arts (setidaknya buat sementara waktu). Di tahun perilisan Medal of Honor: Allied Assult, kedua sahabat ini memutuskan untuk mendirikan studio baru bernama Infinity Ward. Di awal kelahirannya, Infinity Ward hanya diisi oleh 21 orang developer. Meski jumlah talentanya tidak banyak, mayoritas dari mereka ialah project lead Allied Assault.

Semangat PD2 masih bergelora di hati West dan Zampella. Mereka berambisi buat menggarap game shooter bertema perang dengan skala yang lebih besar serta lebih dramatis. Dibantu oleh Activision di sisi pendanaan, terperciklah konsep pembuatan Call of Duty. Game ini dirancang untuk membawa pemain merasakan versi virtual di sejumlah medan tempur di kawasan Atlantik dan melihat konflik dari perspektif berbeda lewat tiga opsi campaign; yaitu Amerika, Inggris dan Soviet.

Call of Duty dibangun menggunakan engine id Tech 3 yang menjadi basis Quake III: Arena. Tentu saja Infinity Ward juga manfaatkan beragam teknologi baru agar game lebih realistis, misalnya lewat sistem animasi skeletal 'Ares' agar gerakan tokoh-tokoh game terlihat nyata, serta melalui penerapan AI paling revolusioner saat itu. Kecerdasan buatan di sana mampu beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya serta dibekali oleh teknologi pathfinding mutakhir.

Kombinasi dari semua itu memungkinkan para NPC yang jadi rekan Anda beraksi layaknya prajurit sejati. Mereka bisa membantu pemain dengan tembakan perlindungan, melompat melewati jendela, menyingkirkan penghalang, menyelinap mendekati lawan, hingga menghindari granat. Semuanya diintegrasikan dalam mode single-player. Ketika mayoritas shooter saat itu masih bersandar pada momen-momen 'scripted', Call of Duty dapat memberikan pengalaman berbeda ketika Anda mengulang sebuah level.

Berbekal terobosan canggih ini, Call of Duty sukses menyabet berbagai penghargaan, termasuk memenangkan sejumlah gelar Game of the Year di 2003. Tapi, inovasi teknologi hanyalah satu dari banyak aspek yang diapresiasi gamer. Banyak pula di antara kritikus yang memuji komposisi musik serta desain suaranya.

Sehari setelah Call of Duty dirilis, Activision membeli seluruh aset Infinity Ward.

 

Bersama Activision

Activision melihat potensi besar bersembunyi di balik Call of Duty. Bermaksud memperluas konten game ini, sang publisher memerintahkan studio Gray Matter Interactive (waktu itu juga baru diakuisisi) buat mengerjakan expansion pack United Offensive. Di saat yang hampir bersamaan, mulai bermunculan rumor yang menyatakan bahwa Infinity Ward tengah menggarap sekuelnya.

Barulah pada bulan April 2005, Infinity Ward resmi mengumumkan Call of Duty 2. Zampella menjadi produser, lalu rekannya West diberi tanggung jawab sebagai sutradara. Di game kedua itu, mereka ingin perang terasa lebih autentik lagi, caranya ialah dengan mempertahankan elemen-elemen terbaik di Call of Duty serta memoles hal-hal yang dikeluhkan pemain. Tim bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya mengunjungi lokasi pertempuran bersejarah untuk mendapatkan bayangan langsung mengenai konflik yang pernah terjadi di sana.

Detail merupakan aspek yang jadi perhatian utama Infinity Ward, mendorong studio untuk mengusung teknologi-teknologi paling mutakhir - baik dari sisi engine, visual maupun suara. Developer mengandalkan engine IW 2.0 buatan sendiri agar permainan mampu menampilkan efek partikel detail dan cuaca (badai pasir serta salju), lalu memberikan dukungan audio 5.1. Selanjutnya, tim mengembangkan efek post-war, sehingga meski kontak senjata telah berakhir, kita masih bisa melihat dampaknya pada medan tempur - seperti puing-puing yang berserakan hingga asap yang terus mengepul.

Gameplay-nya pun mendapat upgrade besar-besaran. Peta permainan dirancang lebih luas, dan pemain diperkenankan untuk mengerjakan misi dengan urutan yang mereka inginkan. AI juga bertambah canggih. Musuh dirancang agar aktif mengejar Anda, dan mampu bereaksi terhadap kehadiran karakter pemain secara berbeda saat letupan senjata pertama kali terdengar. Lawan yang berada jauh akan mencoba mengecek keadaan, sedangkan musuh yang mengetahui keberadaan Anda segera mencari perlindungan.

Bukan cuma lawan, tapi rekan-rekan Anda juga didesain agar beraksi secara cerdas. Setiap prajurit NPC yang bertempur di sisi Anda mampu memberi tahu di mana posisi lawan, dan akan berteriak panik jika mereka mengetahui ada musuh yang mencoba mengendap-endap ke tempat perlindungan Anda. Walaupun sedang menikmati mode single-player, Call of Duty 2 tidak membiarkan kita bermain 'sendirian'.

Oh, sedikit trivia: Call of Duty 2 ialah salah satu game yang mempopulerkan pemakaian sistem regenerasi health, sehingga pemain tak perlu mengandalkan health pack untuk bertahan hidup.

 

Medan tempur modern

Kesuksesan Medal of Honor: Allied Assault dan Call of Duty mencetus kehadiran rentetan game berlatar Perang Dunia kedua. Activision sendiri tak mau buru-buru mengucapkan selamat tinggal pada konflik yang berlangsung antara tahun 1939 sampai 1945 itu, dan menugaskan Treyarch (studio yang mereka akuisisi di 2001) buat meracik Call of Duty 3. Berbeda dari dua game sebelumnya, Call of Duty 3 cuma disediakan untuk console.

Namun Infinity Ward menyadari, orang sudah mulai penat dengan PD2. Karena itulah, Jason West dan kawan-kawan tergelitik untuk membawa para pemain ke era baru: medan tempur modern. Dibantu tim berformasi seratus orang, dimulailah pengerjaan Call of Duty 4: Modern Warfare di tahun 2005, berlangsung sampai 2007.

Dalam prosesnya, developer bekerja sama dengan pihak Marinis AS untuk memberikan nasehat serta bantuan motion capture. Infinity Ward bahkan menghadiri sesi latihan Marinir di 29 Palms, buat membantu mereka memahami seperti apa rasanya berada di dekat tank M1 Abrams ketika sedang menembakkan peluru sabot. Tapi walaupun developer mengeker tingkat realisme tinggi, mereka tak mau narasi permainan punya kaitan dengan konflik di dunia nyata. Berbeda dari Call of Duty sebelumnya, Modern Warfare menyuguhkan kisah fiktif.

Selain single-player yang mengesankan, Modern Warfare turut dipuji karena mode multiplayer super-adiktif. Entah bagaimana caranya, Infinity Ward menemukan titik keseimbangan agar game bersahabat dengan para pemula tapi juga tetap sanggup memuaskan para veteran. Di sana, developer meminimalkan hal yang mengurangi keasikan ber-multiplayer, misalnya lewat menyajikan pilihan beragam senjata dari awal, sehingga waktu gamer tak terbuang hanya untuk mencari tipe pistol atau senapan tertentu.

Demi mendorong pemain buat meningkatkan kemampuannya, Modern Warfare memperkenalkan sistem kill streak: semakin banyak lawan yang Anda tumbangkan (tanpa gugur, tentu saja), maka kian tinggi pula penghargaan untuk Anda.

Lagi-lagi, karya Infinity Ward yang begitu inovatif ini memperoleh respons sangat positif dari khalayak. Kesuksesannya melahiran dua sekuel Modern Warfare serta menyulut demam 'game perang modern'. Sejumlah publisher besar lain bahkan turut terbawa arus. Misalnya EA yang termotivasi untuk meramu spin-off Battlefield: Bad Company serta me-reboot franchise Medal of Honor di tahun 2010 - kali ini menyeret pemain ke perang Afganistan.

Tiga game Call of Duty: Modern Warfare boleh dikatakan sebagai trilogi game shooter tersukses sepanjang masa. Berdasarkan perhitungan kasar yang saya lakukan, jumlah penjualan ketiga permainan itu (per tahun 2013) minimal mencapai 64,9 juta kopi.

(Sebelum melanjutkan, saya berikan Anda kesempatan untuk membuat secangkir kopi lagi karena petualangan West dan Zampella masih cukup panjang.)

 

Perseteruan dengan Activision dan kelahiran Respawn Entertainment

Sayangnya, bahkan sebelum Modern Warfare 3 dirilis, semua orang sudah mengetahui gejolak di tubuh Infinity Ward. Di bulan Maret 2010, Activision melaporkan pemecatan dua developer seniornya, Vince Zampella dan Jason West, dengan alasan 'pelanggaran kontrak dan pembangkangan perintah'. Agar Modern Warfare 3 bisa selesai tepat waktu, sang publisher menurunkan Sledgehammer Games dan Raven Software untuk membantu pengembangannya.

Sejak saat itu, dimulailah periode perseteruan yang berkepanjangan. Atas pemutusan hubungan kerja sepihak, Zampella dan West menggugat Activision, meminta mereka membayarkan uang senilai US$ 36 juta sebagai ganti rugi bonus yang tak pernah cair. Pihak Activision pun menuntut balik keduanya atas alasan percobaan 'pembajakan' tim Infinity Ward. Tidak jelas siapa yang akhirnya memenangkan perkara tersebut, atau apakah masalah ini benar-benar selesai, tapi kejadian itu menandai sebuah era baru bagi kedua pihak.

Tak lama setelah pemecatan itu, Zampella dan West segera mendirikan studio baru: Respawn Entertainment. Karena terbatasnya dana, keduanya mencoba menghimpun modal lewat program EA Partners. Kesepakatannya ialah sebagai berikut: Respawn berhak memegang franchise game yang mereka ciptakan di waktu ke depan, dengan syarat permainan dirilis di platform pilihan Electronic Arts.

Di pertengahan tahun 2010, 38 dari 46 mantan staf Infinity Ward memilih untuk bergabung ke Respawn.

 

Titanfall

Eksistensi Titanfall sempat di-tease oleh presiden EA Games Label Frank Gibeau di tahun 2011. Waktu itu, ia bilang bahwa Respawn sedang mengerjakan permainan shooter bertema fiksi ilmiah yang memungkinkan studio berkompetisi dengan seri Gears of War dan Halo. Namun baru di E3 2013 Titanfall resmi diumumkan. Dan di sana, gamer menjadi saksi bagaimana Respawn mencoba menggabungkan gameplay ala Call of Duty dengan pertempuran berbasis robot raksasa.

Hingga kini, hampir tidak ada yang bisa menandingi keunikan Titanfall. Game menghidangkan aksi tembak menembak bertempo cepat, dipadu parkour dan kejar-kejaran seru, serta partisipasi mecha ala MechWarrior. Hal paling brilian dari Titanfall adalah, para 'pilot' tidak pernah tak berdaya ketika berhadapan dengan robot raksasa. Berbekal manuver lincah, kerja sama, serta taktik yang tepat, sangat mungkin bagi pilot tanpa Titan menundukkan mecha lawan.

Sayang sekali, minimnya modal memang memengaruhi konten. Respawn pada akhirnya tak pernah berkesempatan untuk membubuhkan mode single-player. Sebagai jalan keluarnya, mereka mengintegrasikan campaign di multiplayer. Narasi disajikan lewat sesi intro sebelum pertandingan dimulai, serta melalui cutscene via jendela kecil saat match masih berlangsung. Tentu saja metode ini tidak optimal buat menyampaikan cerita, dan tak semua orang menyukainya. Saya baru benar-benar paham soal apa yang terjadi setelah menamatkannya sebanyak enam kali.

Walaupun gamer mengapresiasi keputusan Respawn untuk tidak menyertakan microtransaction, developer salah langkah dalam menyajikan add-on serta season pass. Akibat dari sulitnya membeli DLC dan hanya sejumput orang yang memiliki Deluxe Edition, komunitas jadi terbagi dua. Masalah ini menggerus populasi pemain, dan Respawn akhirnya tergerak buat menggratiskan seluruh konten tambahan yang pernah mereka rilis. Sebuah langkah yang dipuji gamer, tapi juga mengesalkan para pemilik Deluxe Edition. Kata mereka, "Buat apa kami beli versi deluxe mahal-mahal?"

Terlepas dari sejumlah kekurangannya, mayoritas media dan gamer tetap mengakui bahwa Titanfall merupakan sebuah terobosan di segmen first-person shooter. Fitur seperti wall-running (kemampuan pilot untuk berlari di tembok) bahkan diadopsi oleh Treyarch di Call of Duty: Black Ops III serta studio lama Zampella dan West, Infinity Ward di Call of Duty: Infinite Warfare. Berdasarkan data IGN, Respawn berhasil menjual 10 juta kopi permainan di bulan Oktober 2015 - meski informasinya tak pernah dikonfirmasi oleh pihak EA.

Respawn banyak belajar dari pengalaman itu, dan mereka terlihat bersemangat untuk terus mengekspansi franchise Titanfall ke lebih banyak platform hiburan. Setelah mengonfirmasi pengembangan sekuelnya, developer juga mengabarkan kolaborasi bersama Nexon buat menciptakan sejumlah spin-off, di antaranya permainan card battle mobile bertajuk Titanfall: Frontline dan Titanfall Online yang disajikan secara gratis khusus di wilayah Asia.

Namun karena alasan berubahnya iklim industri game online, pengerjaan dua spin-off itu dibatalkan. Berita baiknya, waktu yang dihabiskan Respawn bermitra dengan studio dan publisher lain tidak sepenuhnya terbuang sia-sia. Developer sempat meluncurkan permainan real-time strategy Titanfall: Assault di Android serta iOS.

 

Kepergian Jason West

Setiap cerita pasti ada akhirnya, dan begitu pula kolaborasi dua developer shooter legendaris ini. Pada bulan Maret 2013 - di bulan yang sama Titanfall meluncur - Zampella membenarkan pengunduran diri rekan seperjuangannya itu. Menurut keterangannya, Jason West pensiun dari ranah pengembangan permainan video karena ingin mengurus keluarga. Mereka berpisah tanpa masalah, meski ada desas-desus yang menyatakan sebaliknya.

Terkait hal ini, saya memilih untuk membayangkan kedua sahabat itu mengucapkan selamat tinggal sambil melambaikan tangan, dengan Zampella menyaksikan West berjalan ke arah matahari terbenam.

 

Titanfall 2 dan berakhirnya status 'indie' Respawn

Belajar banyak dari pengalaman sebelumnya, Respawn bersungguh-sungguh untuk menambal segala kekurangan di Titanfall dan menyuguhkan game keduanya sesempurna mungkin. Titanfall yang cukup sukses secara finansial memberikan studio modal serta kemampuan untuk menyewa tenaga kerja lebih banyak. Vince Zampella menyerahkan pucuk kepemimpinan proyek pada sutradara Steve Fukuda. Ia bertanggung jawab atas tim berisi 90 orang.

Pengerjaan Titanfall 2 dimulai tahun 2014. Dengan menargetkan jendela rilis antara 2016 sampai 2017, Respawn  bertekad menghidangkannya sebagai 'game kelas blockbuster tulen' yang dilengkapi campaign single-player dan mode multiplayer terpisah. Fukuda membebaskan tim untuk bereksperimen serta menciptakan beberapa purwarupa sebelum masuk pada tahap pembuatan cerita. Penyusunan ceritanya sendiri terinspirasi dari film-film bertema buddy cop seperti Lethal Weapon dan Beverly Hills Cop, serta anime Gargantia on the Verdurous Planet.

Hampir semua orang memuji campaign Titanfall 2. Walaupun durasinya tidak terlalu lama, petualangan di sana terasa beragam dan tak membosankan. Permainan menyuguhkan aksi baku tembak, pertempuran robot, puzzle, dan momen-momen hening yang esensial untuk penyampaian cerita secara seimbang. Variasi dan pengalaman berbeda di sana membuat para gamer veteran membanding-bandingkannya dengan Half-Life. Level favorit saya pribadi bernama Effect and Cause, melibatkan aksi di dua garis waktu berbeda.

Lagi-lagi waktunya trivia! Huruf BT di nama robot BT-7274, yang jadi rekan seperjuangan pilot Jack Cooper merupakan singkatan dari 'Buddy Titan'. Nama ini dicemooh oleh tim, tapi Steve Fukuda bersikeras untuk mempertahankannya.

Untuk multiplayer, studio telah mengidentifikasi dua masalah besar di Titanfall pertama: game terasa terlalu kacau, kemudian kontennya belum cukup banyak untuk memuaskan pemain. Sebagai jalan keluar kendala pertama, Respawn memperlambat tempo permainan demi memberikan waktu lebih banyak pada gamer dalam membuat keputusan sehingga mereka tak hanya sekadar mengandalkan refleks. Solusi problem kedua ialah dengan melepas seluruh konten pasca rilis secara gratis.

Saat meluncur, Titanfall 2 mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak - baik gamer, sesama developer serta media. Ia masuk dalam sejumlah daftar nominasi Game of the Year, serta membawa pulang banyak sekali penghargaan 'game shooter terbaik' di 2016. Tetapi Dewi Fortuna ternyata belum berpihak pada Zampella, Fukuda dan rekan-rekan. Karena waktu perilisannya diapit oleh Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, penjualan Titanfall 2 tidak sebaik yang Respawn harapkan.

Walaupun sama sekali belum bisa dibuktikan, banyak orang menduga langkah ini merupakan kesengajaan dari pihak EA selaku publisher. Para fans menuduh Electronic Arts 'menyabotase' peluncuran Titanfall 2 untuk melemahkan Respawn dari sisi keuangan, sehingga dapat lebih mudah diambil alih. Dan yang ditakutkan akhirnya terjadi. Di bulan November 2017, EA mengakuisisi Respawn senilai US$ 400 juta.

Berbicara kepada VentureBeat, Zampella menjelaskan alasan mereka setuju untuk jadi bagian dari EA: karena studio membutuhkan sumber daya lebih banyak demi menciptakan permainan yang lebih besar.

 

Respawn masa kini dan masa depan

Ada keheningan panjang yang cukup mengkhawatirkan sesudah pengambil-alihan oleh EA. Sejak momen itu, tim berhenti memberikan update buat Titanfall 2, menyebabkan populasi pemainnya menyusut. Lalu status proyek lain yang tengah mereka kerjakan - contohnya game shooter VR untuk Oculus Rift serta permainan petualangan di jagat Star Wars - juga lama tak terdengar. Baru di E3 2018, ketika Zampella duduk di tengah kerumunan penonton, sang CEO mengungkap judul game Star Wars anyar tersebut, Jedi: Fallen Order.

Kira-kira tujuh bulan selepas pengumuman Star Wars Jedi: Fallen Order, Respawn Entertainment kembali menyingkap kejutan. Setelah menjaga ketat status pengembangannya, developer secara tiba-tiba mengumumkan dan meluncurkan Apex Legends. Respawn mengakui, ide penggarapannya disulut oleh PUBG yang sukses mengangkat ketenaran genre battle royale. Sejak saat itu, tim mulai berdiskusi serta melakukan pengujian buat menggabungkan konsep Titanfall dan struktur last man standing.

Respawn menyadari, gagasan ini ternyata sangat menarik, tetapi tentu saja developer tidak bisa menyertakan Titan di sana karena akan sangat merugikan pemain yang tak memilikinya. Selain itu, studio ingin agar permainan tersebut dalam waktu singkat mampu merangkul gamer sebanyak-banyaknya dan memanfaatkan sistem monetisasi yang menguntungkan developer di waktu ke depan tanpa merusak keseimbangan. Akhirnya, dipilihlah penyajian free-to-play dengan in-app purchase yang menawarkan item-item kosmetik.

Apex Legends merupakan spin-off sekaligus ekspansi dunia Titanfall. Game di-setting 30 tahun setelah kejadian di Titanfall 2 usai. Kata Apex diambil dari nama faksi tentara bayaran di game keduanya, Apex Predators. Dan jika Anda teliti, sesi intro permainan dinarasikan oleh Blisk, tokoh antagonis pemimpin Apex Predators asal Afrika Selatan yang berhasil melarikan diri di akhir Titanfall 2.

Lalu bagaimana dengan Titanfall 3? Inilah pertanyaan yang banyak diajukan para penggemarnya. Mereka cemas kesuksesan Apex Legends akan menunda atau malah menghentikan pengerjaan permainan ketiga seri shooter tersebut. Tak usah galau. Via tweet di tanggal 5 Februari kemarin, Vince Zampella menyampaikan bahwa timnya sedang menggodok proyek lain terkait jagat Titanfall, akan disingkap di tahun ini juga.

Mari kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing agar proyek itu adalah Titanfall 3...

-

Catatan: Gambar-gambar diambil dari material promo dan sumber resmi lain, di antaranya situs official game, Steam dan EA Origin. Foto Vince Zampella dan Jason West berasal dari artikel Eurogamer.