Beberapa hari yang lalu, jagat dunia lelembut, eh, maya dihebohkan dengan gugatan RCTI dan iNEWS ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memasukkan setiap tayangan video di media sosial diatur dalam undang-undang penyiaran.
Jujur saja dari awal saya katakan bahwa saya sendiri juga tidak setuju jika gugatan ini dikabulkan. Meski begitu, saya percaya betul bahwa orang yang kritis adalah mereka yang mampu melihat setiap fenomena dalam perspektif berbeda yang bertentangan.
Makanya, saya ingin menuliskan dampak positif dan negatif yang mungkin bisa didapatkan jika gugatan tadi disetujui.
Sebelum kita masuk ke pembahasannya, ada dua hal yang ingin saya sampaikan sebelumnya. Pertama, Hybrid memang media game dan esports namun pembahasan kali ini mungkin tak akan spesifik di ranah ini karena memang dampaknya akan dirasakan di semua industri.
Kedua, artikel ini juga sebagian besar adalah pendapat saya, berdasarkan dari pengalaman saya berkarier di industri media sejak tahun 2008 — saat saya mengawali karier saya di media cetak.
Dampak Positif dari Masuknya Tayangan di Internet ke Undang-Undang Penyiaran
Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, meski saya tidak setuju bukan berarti saya tidak bisa melihat sisi positifnya. Saya kira hal ini penting disadari karena saya tahu bahwa kebanyakan orang memang terjebak dengan yang namanya bias kognitif.
Sisi positif pertama yang bisa saya lihat adalah soal penerimaan pajak dari para pembuat konten di dunia maya… Saya tahu mungkin pajak tak bisa dipandang sebagai hal yang positif buat kaum bebal… Wakwkakwkkakwa… Namun, semakin besar pajak sebuah industri, lebih besar juga kemungkinan industri tersebut mendapatkan leverage dalam hal kebijakan negara. Selain soal bertambahnya pendapatan negara dari sektor pajak.
Jika gugatan RCTI tadi dikabulkan, pihak-pihak yang diperbolehkan melakukan penyiaran di platform media sosial harus berupa lembaga penyiaran yang memiliki izin. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Katanya, dikutip dari Kompas.com, “definisi perluasan penyiaran kan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin.”
Dengan berubahnya setiap pembuat konten di dunia maya menjadi lembaga penyiaran yang berizin, harusnya, pengawasan soal perpajakan dari lembaga-lembaga tersebut jadi lebih mudah.
Saat ini, jujur saja, saya tidak yakin ada banyak kreator konten dari Indonesia di Facebook, Instagram, YouTube, dan kawan-kawannya yang membayar pajak meski mereka mendapatkan keuntungan/pendapatan dari sana. Jika semuanya diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang berizin, mereka bisa dipaksa untuk memberikan laporan bukti pajak untuk bisa terus melakukan penyiaran.
Sisi positif yang kedua adalah soal kredibilitas dan akuntabilitas. Media-media ‘tradisional’ seperti media cetak, radio, ataupun televisi memang bisa dibilang lebih unggul dalam hal kredibilitas dan akuntabilitas — umumnya — ketimbang mereka-mereka yang mengungah konten di platform media sosial. Padahal, faktanya, faktor anonimitas adalah salah satu faktor terbesar di jejaring dunia maya yang bisa disalahgunakan untuk menghindar dari konsekuensi perilaku negatif. Contoh paling mudah adalah soal faktor anonimitas yang membuat banyak gamer jadi toxic saat bermain online.
Meski demikian, hal ini juga bisa diperdebatkan karena kegaduhan di dunia maya belakangan ini juga datang dari figur publik — bukan dari akun media sosial yang tak jelas siapa saja orang-orang yang berada di belakangnya. Misalnya seperti soal teori konspirasi pandemi ataupun soal mendatangkan narasumber yang bahkan tak jelas kredibilitasnya.
Berbicara soal kredibilitas/akuntabilitas dan aturan yang lebih ketat juga, harusnya, juga bisa berarti lebih memberikan penekanan pada konten-konten yang memang memiliki manfaat ketimbang yang sekadar mencari sensasi dan membuang-buang waktu. Sayangnya, menurut saya, lagi-lagi hal ini juga bisa didebat…
Izinkan saya bertanya, apakah semua konten di media-media ‘tradisional’ (TV, radio, media cetak) saat ini juga sudah bisa dibilang sepenuhnya berfaedah? Apakah tidak ada satupun konten di media-media yang berizin itu yang hanya sekadar mencari sensasi atau berupa konten picisan? Atau, apakah ada media-media tradisional yang digunakan untuk kepentingan politik golongan tertentu? Saya hanya bertanya ya… Silakan dijawab sendiri… Awawkoakoakwaokaowa…
Jujur saja, setelah 2 hari 2 malam saya mencari sisi positif dari dikabulkannya gugatan itu, saya hanya bisa menemukan soal penerimaan pajak yang (menurut saya) sepenuhnya positif. Meski begitu, menurut saya, harusnya ada cara yang lebih bijak dalam meningkatkan penerimaan pajak dari kreator konten.
Jika Anda bisa menemukan argumentasi lain yang mendukung gugatan ini, kita bisa berdiskusi lebih lanjut soal itu.
Dampak Negatif dari Masuknya Tayangan di Internet ke Undang-Undang Penyiaran
Saya masih ingat betul ketika saya masih menangani sebuah majalah cetak dulu. Kala itu, media memang menjadi salah satu dari segelintir pihak yang bisa mengatur arus informasi.
Sebagai seorang penulis, saya tahu betul betapa berharganya informasi itu. Pemilik bisnis juga tahu betul bahwa informasi memang mahal harganya. Karenanya, anggaran belanja iklan itu biasanya juga tidak kecil buat mereka-mereka yang ingin cepat dikenal masyarakat luas.
Sekarang, semua orang bisa menyebarkan informasi (baik yang positif ataupun negatif, baik yang benar ataupun yang salah) lewat platform apapun yang diinginkan. Ada beberapa orang yang menyebutkannya dengan istilah demokratisasi informasi. Selain semua orang bisa menjadi sumber atau penyebar informasi, masyarakat luas juga jadi penentu informasi seperti apa yang lebih nyaring terdengar…
Memang, nyatanya, demokrasi itu juga punya kekurangan besar — setidaknya menurut Socrates. Popularity contest itu juga tidak selalu lebih positif ketimbang curator-based contents. Salah satu contohnya adalah seperti soal drama di seputar komunitas esports dan game jadi lebih ramai ketimbang hal-hal yang bermanfaat — karena memang sebagian besar orang nyatanya lebih suka dengan hal-hal yang banal. Hal ini jugalah yang membuat internet sepertinya lebih banyak menawarkan konten negatif ketimbang yang positif.
Namun demikian, saya tahu tidak sedikit juga para kreator konten yang memang memiliki keinginan untuk menyebarkan hal-hal positif ataupun yang bermanfaat ketimbang yang hanya sekadar sensasional ataupun mencari keuntungan materiil. Karena itu, sekarang, keputusan untuk mencari konten positif ataupun negatif — konten bermanfaat ataupun konten sampah — ada di tangan Anda sebagai konsumen. Saya, misalnya, jadi bisa memilih untuk menghabiskan waktu menonton video-video dari Wisecrack, The Royal Institution, Economics Explained, Kurzgesagt, dan kawan-kawannya.
Jika kita kembali ke zaman dulu, saat arus informasi dikuasai oleh segelintir orang tadi, kita sebagai konsumen tak lagi bisa jadi penentu konten seperti apa yang ingin kita konsumsi.
Sekali lagi, saya juga tidak menyangkal bahwa ada buanyaaaaaaaaaaak sekali konten negatif di dunia maya dan media sosial. Namun, saat ini, saya sendiri yang bisa memilih apakah saya ingin menggunakan waktu luang saya dengan tontonan bermanfaat atau membodohi diri sendiri. Pilihan itu ada di tangan saya, bukan di segelintir orang yang tentunya punya agenda ataupun tujuannya masing-masing (meski bisa positif ataupun negatif juga)…
Dampak negatif yang kedua adalah soal keruwetan yang bisa diakibatkan dari keharusan masuknya kreator konten di media sosial menjadi lembaga penyiaran yang berizin. Misalnya saja seperti ini, jika memang semua kreator konten asal Indonesia di media sosial diharuskan berizin, bagaimana dengan kreator konten dari luar Indonesia?
Apakah mereka juga harus mengantongi izin? Dari data 2019, ada lebih dari 31 juta kanal yang tersedia di YouTube. Saya tidak tahu ada berapa persen dari semua kanal tersebut yang kreator kontennya berasal dari Indonesia. Namun saya tidak yakin jumlahnya sampai 10% dari total jumlah keseluruhan. Apakah puluhan juta kanal lainnya juga harus mengantongi izin penyiaran? Jika mereka tidak memiliki izin, apa yang terjadi?
Angka tadi masih menghitung jumlah kanal dari YouTube… Belum Facebook, Instagram, TikTok, NimoTV, ataupun yang lainnya. Selain keruwetan yang harus dijalani untuk mengurus itu semua, waktu yang dibutuhkan juga pasti tidak sedikit. Apalagi jika kita melihat tak sedikit lembaga negara yang lebih fokus mengurus soal moral ketimbang hal-hal praktis, mungkin tidak ada waktu lagi yang tersisa untuk mengurus izin penyiaran ataupun izin pendirian lembaga yang berbadan hukum.
Selain itu, dampak negatif terakhir adalah soal industri-industri baru yang akan tersandung dan terhambat dengan adanya aturan baru ini seperti misalnya industri esports. Bagaimanapun juga tayangan pertandingan adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dari industri esports. Dengan berlakunya aturan main tersebut, akan ada banyak sekali pihak yang jadi kesulitan untuk menayangkannya. Misalnya pun sejumlah perusahaan mungkin bisa mendapatkan izinnya, tentu saja proses tersebut akan memakan waktu… Apakah semua kompetisi jadi harus tertunda sementara proses perizinan sedang berjalan?
Saya yakin hal ini juga akan menghambat industri-industri lain di luar game dan esports. Faktanya, Indonesia saat ini juga sudah tertinggal dibandingkan dengan banyak negara lain dalam hal industri kreatif. Apakah terhambatnya industri kreatif tanah air memang layak dikorbankan demi memuaskan segelintir orang?
Akhir kata…
Akhirnya, saya tahu saya juga tidak mungkin menuliskan semua kemungkinan positif dan negatif yang bisa terjadi. Seperti misalnya matinya ruang berkreasi, meski hal tersebut sebenarnya juga tercakup dalam konsep demokratisasi konten/informasi — ketika setiap orang bisa menyuguhkan sekaligus memilih konten untuk dikonsumsi.
Di sisi lain, saya yang sudah bekerja di media dari 2008 juga tahu betul jika demokratisasi konten ini membuat media juga kehilangan banyak pengaruh dan juga pendapatan. Media tradisional tak hanya harus bersaing untuk mendapatkan anggaran belanja iklan dengan Google dan Facebook, tetapi juga dengan para konten kreator (baik siapapun atau apapun bentuknya).
Namun demikian, saya juga tahu bahwa menerima kenyataan dan beradaptasi dengan perubahan zaman itu sebenarnya lebih mudah dan menguntungkan ketimbang tak mampu beranjak dari masa lalu…
Feat Image: via Medium